Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur MINA (Mi’raj Islamic News Agency)
Shalahuddin Al-Ayyubi pada tahun 1187 M dapat membebaskan Masjid Al-Aqsha dan seluruh kawasan Palestina dan sekitarnya dari penindasan kaum Salibis. Kemudian ia mengantarkan sebuah mimbar yang indah yang sebelumnya ditinggalkan di daerah Aleppo (Halab, kota terbesar kedua di Suriah setelah Damaskus) ke dalam mihrab Masjid Al-Aqsha.
Mimbar yang telah dibuat beberapa tahun sebelumnya itu merupakan sebuah simbol kekuatan visi dan cita-cita pembebasan Al-Aqsha. Mimbar memang sengaja dibuat untuk diletakkan di Masjid Al-Aqsha jauh sebelum tempat itu sendiri berhasil dibebaskan dari kekuasaan Tentara Salib.
Mimbar itu dibangun sebelum masa kepemimpinan panglima Shalahuddin Al-Ayyubi, yaitu oleh seorang sultan yang juga salih dan pemberani, yaitu Nuruddin Zanki.
Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat
Sosok Nuruddin Zanki
Nama lengkapnya dan gelarnya adalah Al-Malik Al-Adil Nuruddin Abul Qasim Mahmud bin Imaduddin Atabeg Zanki bin Aq Sunqur Al-Hajib (Gubernur Aleppo waktu itu), usia hidupnya 56 tahun (Februari 1118 – Mei 1174).
Nama panggilannya adalah Abu Qasim dan ia dijuluki Nuruddin (Cahaya Agama) dan raja yang adil (Al-Malik Al-Adil).
Ayahnya Imaduddin Zanki, adalah penguasa Aleppo dan Mosul. Ketika ayahnya meninggal dunia, Nuruddin dan kakaknya, Saifuddin Ghazi I, membagi Kerajaan Zanki tersebut menjadi dua. Nuruddin menguasai Aleppo dan kakaknya menguasai Mosul. Kedua kerajaan tersebut dipisahkan oleh sungai Khabur.
Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia
Nuruddin Zanki meninggal dunia 13 tahun sebelum berhasil mewujudkan apa yang dicita-citakannya, yakni pembebasan Al-Aqsha.
Ia memainkan peranan yang sangat penting dalam memperbaiki keadaan masyarakat Muslim di Suriah yang sebelumnya sibuk dengan konflik internal dan perselisihan mazhab. Ia merupakan seorang sultan di Suriah, dan kemudian juga di Mosul (Iraq) dan Mesir.
Ia menaklukkan warga dengan kesalehan dan nilai-nilai yang agung dari Allah. Kekuatan militernya tidak dilengkapi dengan persenjataan fisik yang hebat dan istimewa. Tetapi ia memiliki senjata yang jauh lebih menggetarkan musuh-musuhnya, yaitu kekuatan doa dan pertolongan dari Yang Maha Penolong.
Warga non-Muslim di kawasan kota tua Al-Quds bahkan mengakui hal itu. “Sesungguhnya Abul Qasim (Nuruddin) memiliki rahasia dengan Tuhannya. Tidaklah ia mengalahkan kami dengan bala tentaranya yang banyak. Akan tetapi ia menang atas kami dengan doa dan salat malamnya. Ia salat di malam hari, mengangkat tangannya kepada Allah untuk berdoa dan meminta kepada-Nya. Dan Allah mengabulkan permintaannya serta tidak menjadikan doanya sia-sia, sehingga akhirnya dia menang atas kami,” ujar warga itu.
Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia
Nuruddin Zanki memerintah wilayah Suriah Utara setelah ayahnya, Imaduddin Zanki, wafat pada tahun 1146. Usianya ketika itu 28 tahun. Ia memerintah wilayah itu dari kota Aleppo.
Ketika kakaknya Saifuddin Ghazi I meninggal dunia pada tahun 1149, ia menggabungkan Mosul di Iraq dalam wilayah kekuasaannya.
Strategi Menyusun Kekuatan
Nuruddin Zanki memiliki gaya kekuatan militer yang khas. Ia tidak tergesa-gesa dalam menghadapi pasukan lawan. Kadang saat pasukannya berada di suatu daerah dan mendengar kedatangan pasukan musuh ke tempat itu, ia akan menarik pasukannya ke tempat lain. Ia melakukan hal itu untuk menyelidiki jumlah dan keadaan pasukan lawan, sambil terus melakukan pengintaian. Setelah musuh berangkat kembali dari tempat mereka, Nuruddin akan mengikuti dan menyergap mereka dengan tiba-tiba. Dengan cara ini, ia berhasil memenangkan banyak pertempuran dan mengurangi jumlah korban dari pasukan Muslim.
Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya
Adapun terhadap tokoh-tokoh Muslim di wilayah Suriah-Palestina yang berseberangan pendapat atau bahkan menentang kebijakannya, Nuruddin Zanki lebih menghindari konflik terbuka serta pertempuran fisik dengan mereka.
Namun, ia selalu menyeru mereka untuk berjihad bersama kaum Muslimin melawan musuh bersama, yaitu kekuatan salib.
Ia dengan kebijakannya akan melakukan pendekatan persuasif dan menarik, serta mengajak para ulama di wilayah-wilayah yang dipimpin oleh para tokoh itu untuk bermusyawarah bersama.
Dengan begitu, walaupun para ulama dan masyarakat tersebut berada dalam wilayah kekuasaan yang berbeda, tetapi hati mereka bersama Nuruddin Zanki dan selalu mendoakan kemenangannya.
Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia
Kesalehan serta cara-cara yang lembut seperti inilah yang membuat Nuruddin Zanki pada akhirnya dapat menyatukan seluruh Suriah ke dalam satu pemerintahan, setelah wilayah itu tercerai-berai dan saling bermusuhan selama lebih dari setengah abad.
Kekuatan Fisik
Di samping kekuatan ruhaninya, Nuruddin Zanki juga dikenal dengan kekuatan fisiknya. Ia buktikan dengan keterampilannya yang luar biasa dalam berkuda dan memimpin secara langsung di medan tempur.
Keberaniannya di medan tempur membuat seorang ulama pada masanya, Qutb Al-Din Al-Nasawi, menasihatinya, ”Demi Allah, jangan membahayakan dirimu dan seluruh dunia Islam! Kalau Anda gugur di medan pertempuran, maka seluruh Muslim yang hidup akan dibunuh (oleh musuh).”
Baca Juga: Suyitno, Semua yang Terjadi adalah Kehendak Allah
Tapi Nuruddin Mahmud Zanki mempunyai pandangan yang berbeda. “Dan siapalah Mahmud sehingga dikatakan seperti ini? Sebelum saya lahir, sudah ada yang lain yang membela Islam dan negeri ini, yaitu Allah, yang tidak ada Tuhan selain-Nya!”
Ia sangat memperhatikan keadaan pasukannya dan selalu menjadikan mereka siap siaga dalam menghadapi pasukan musuh. Pasukannya merupakan yang paling kuat di Suriah pada masa itu.
Bukan hanya pasukannya yang dipersiapkan dengan baik dengan latihan fisik, tapi kuda-kuda pun selalu dalam keadaan terlatih.
Penyatuan Kekuatan Umat
Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi
Kekuatan yang dibangun oleh Nuruddin Zanki tersebut menjadi pondasi yang kokoh bagi pemimpin berikutnya di wilayah-wilayah itu, yaitu Shalahuddin Al-Ayyubi, menghadapi pasukan salib dalam membebaskan kawasan Al-Quds dan sekitarnya.
Kekuatan ruhani Nuruddin Zanki yang terkenal sebagai pemimpin yang saleh dan adil benar-benar dilanjutkan oleh Shalahuddin.
Mulai dari pemimpin yang selalu menjaga salat berjamaah, salat malam (Qiyamul Lail/tahajud), banyak bertadarus Al-Quran dan berpuasa sunnah. Keutamaanya dalam keilmuan Islam yang mendalam, sangat dekat dengan para ulama, dan ikut mengkaji hadits bersama mereka pun dilanjutkan.
Nuruddin juga dikenal dengan keadilan dan penegakkan syariah yang sangat menonjol dalam pemerintahannya. Ia mendorong dilangsungkannya majelis-majelis ilmu, mendirikan madrasah-madrasah, serta memberikan berbagai wakaf untuk keperluan agama dan masyarakat.
Baca Juga: Dato’ Rusly Abdullah, Perjalanan Seorang Chef Menjadi Inspirator Jutawan
Di antara sumbangan pentingnya bagi kebaikan orang ramai adalah pendirian rumah sakit untuk warga.
Begitulah, Nuruddin Zanki sebagai sosok yang sangat berjasa dalam penyatuan negara-negara muslim di kawasan Suriah dan sekitarnya dalam menghadapi tentara salib.
Akhir Hayat
Baca Juga: Hambali bin Husin, Kisah Keteguhan Iman dan Kesabaran dalam Taat
Akhir hayatnya, Imaduddin Zanki wafat pada tahun 570 H atau 1174 M, karena sakit. Kaum Muslimin di kawasan Syam (mulai dari kawasan Lebanon, Suriah, Palestina, hingga Mesir) ketika itu meminta kepada murid Nuruddin, yaitu Shalahuddin Al-Ayyubi untuk mengemban amanah menjadi Sultan di Suriah. Kelak Shalahuddin berhasil mewujudkan cita-cita Sultan Nuruddin, yakni membebaskan Al-Aqsha dari penjajahan tentara Salib.
Ia dimakamkan di wilayah dekat pasar di kota tua Damaskus, Suriah. Di samping kuburannya kemudian didirikan sebuah masjid yang dinamakan dengan namanya Masjid Jami’ Nuruddin Asy-Syahid.
Ahli Tafsir Ibn Al Katsir menyebutkan, Nuruddin Zanki adalah seorang tokoh pejuang ulung, sangat dihormati, dihargai oleh pasukannya dan orang-orang sipil lainnya serta tidak menganiaya orang-orang lemah. Ia adalah raja yang terbaik dalam kebijakan dan perilakunya. Ia sangat pemberani dan kuat dalam prinsip.
Nuruddin Zanki mampu bekerja dalam kondisi dan situasi yang paling sulit. Pada satu sisi, ia berada di tengah konflik internal yang berkecamuk di antara para penguasa dan para pangeran. Di sisi lain ia harus menghadapi kaum salibis yang kejam.
Baca Juga: Dari Cleaning Service Menjadi Sensei, Kisah Suroso yang Menginspirasi
Zanki mampu melancarkan semangat jihad dan bekerja ekstra keras di kalangan kaum Muslimin. Ia telah mempersembahkan model pemimpin dan mujahid yang berjalan di bawah bendera Islam yang mampu untuk mengembalikan harapan untuk membebaskan tanah-tanah suci milik umat Islam yang dijajah oleh para musuh di seluruh dunia. Utamanya adalah kawasan Al-Aqsha. Walaupun belum sepenuhnya. Namun dilanjutkan oleh generasi berikutnya, Shalahuddin Al-Ayyubi.
Cita-cita besarnya harus terus dilanjutkan oleh para pejuang Muslim saat ini, yaitu menyatukan seluruh potensi kekuatan kaum Muslimin dalam menghadapi musuh bersama saat ini, yakni Zionis Israel. Berbagai sumber. (P4/P001)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)