Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nyai Walidah, Lentera Perempuan, Warisan Bangsa

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 24 detik yang lalu

24 detik yang lalu

0 Views

Nyai Walidah, berbaju putih duduk di tengah (foto: ig)

DI TENGAH hiruk pikuk perdebatan tentang peran perempuan dalam pembangunan bangsa, nama Nyai Ahmad Dahlan atau Siti Walidah kembali menggema sebagai sosok pelopor yang melampaui zamannya. Lahir pada 1872 di Kauman, Yogyakarta, Nyai Walidah bukan hanya istri pendiri Muhammadiyah, tetapi juga pemikir, pendidik, dan pejuang emansipasi perempuan dalam bingkai Islam.

Saat dunia perempuan masih dibatasi oleh dinding rumah dan sekat tradisi, Nyai Walidah memberanikan diri mendobrak pakem. Ia meyakini bahwa perempuan memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dalam membangun masyarakat, tentu dalam koridor syariat Islam. Pemikirannya terwujud lewat pendirian Sopo Tresno, cikal bakal organisasi perempuan ‘Aisyiyah.

Dalam usia yang sangat muda, Nyai Walidah telah menunjukkan ketajaman berpikir dan keberanian bertindak. Ia mendidik anak-anak perempuan di rumahnya, mengajarkan membaca Al-Qur’an, ilmu agama, dan pengetahuan umum—hal yang waktu itu sangat jarang dilakukan oleh kaum ibu.

Tahun 1917 menjadi tonggak penting. Di tengah keterbatasan dan tekanan kolonial, ia mendirikan organisasi perempuan Muhammadiyah yang diberi nama ‘Aisyiyah, menjadikannya organisasi perempuan Islam pertama di Indonesia yang bergerak dalam pendidikan, sosial, dan dakwah.

Baca Juga: Abuya Syech Amran Waly al-Khalidy Ulama Tauhid Tasauf Aceh

Keberanian Nyai Walidah mendobrak batas bukanlah tanpa resiko. Banyak kalangan menudingnya telah menyalahi kodrat, bahkan dianggap terlalu “maju”. Namun ia tak goyah. Baginya, pendidikan adalah jembatan emas yang menyelamatkan perempuan dari kebodohan dan kejumudan.

Dalam kiprahnya, Nyai Walidah tak hanya bicara teori. Ia turun langsung ke lapangan, mengunjungi kampung-kampung, menyampaikan ceramah, mengadvokasi pendidikan perempuan, serta menguatkan kaum ibu agar menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya.

Dalam konteks keindonesiaan, peran Nyai Walidah bahkan diakui secara resmi. Pada tahun 1971, pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional. Namanya terukir abadi dalam sejarah bangsa sebagai perempuan pejuang yang mendidik dan mencerahkan.

Jejak langkahnya masih dirasakan hingga kini. Organisasi ‘Aisyiyah yang ia rintis kini telah memiliki jutaan anggota, dari kota hingga desa, dari kampus hingga pelosok terpencil. Mereka bergerak dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan advokasi sosial.

Baca Juga: Fatima Hassouna, Abadikan Kejahatan Israel melalui Kamera

Di tengah tantangan zaman digital dan pergeseran nilai, semangat Nyai Walidah tetap relevan. Ia adalah contoh bahwa perempuan tidak harus meninggalkan nilai agama untuk menjadi agen perubahan. Justru dengan Islam yang murni dan progresif, perempuan bisa membangun bangsa dari akar.

Tidak hanya sebagai pendidik dan organisatoris, Nyai Walidah juga seorang penulis. Ia menulis naskah-naskah pidato dan syair dakwah yang menyuarakan pembebasan perempuan dari belenggu ketidaktahuan dan subordinasi. Semangat literasinya menjadi warisan inspiratif bagi generasi penulis muslimah masa kini.

Keteladanan Nyai Walidah juga nampak dalam kehidupan keluarganya. Ia mendampingi KH Ahmad Dahlan dalam perjuangan dakwah tanpa pamrih. Ia tak hanya istri, tapi juga mitra intelektual. Hubungan mereka menjadi teladan rumah tangga ilmiah dan dakwah yang kokoh.

Saat ini, gagasan-gagasan Nyai Walidah dikaji ulang oleh para akademisi, aktivis, dan santriwati. Banyak disertasi, skripsi, hingga forum-forum diskusi yang mengangkat pemikiran dan metode dakwahnya yang berbasis kasih sayang, logika, dan kesantunan.

Baca Juga: Mahmoud Khalil Aktivis Mahasiswa Palestina yang Terancam Deportasi dari AS

Di dunia pendidikan, ratusan sekolah dan perguruan tinggi ‘Aisyiyah telah berdiri sebagai pengejawantahan misi suci Nyai Walidah. Lembaga-lembaga ini terus mengembangkan pendidikan berbasis tauhid, kemajuan, dan keberpihakan pada perempuan dan anak-anak.

Nama Nyai Walidah bahkan mulai diperbincangkan secara internasional. Beberapa peneliti luar negeri menyebutnya sebagai salah satu tokoh Muslim reformis perempuan paling berpengaruh di Asia Tenggara pada abad ke-20.

Generasi muda saat ini perlu mengenal lebih dekat sosok Nyai Walidah. Bukan semata sebagai figur sejarah, tapi sebagai teladan pemikiran progresif dalam bingkai Islam. Ia adalah simbol bahwa perempuan bisa cerdas, tangguh, dan berpengaruh tanpa meninggalkan nilai-nilai keislaman.

Banyak pesantren putri dan komunitas perempuan muslimah menjadikan Nyai Walidah sebagai inspirasi gerakan. Namanya menjadi ikon perubahan yang membawa semangat intelektualisme dan pengabdian sosial.

Baca Juga: Prof Teungku Muslim Ibrahim, Ahli Fatwa Aceh Kontemporer

Di era disrupsi dan ketidakpastian hari ini, sosok seperti Nyai Walidah dibutuhkan lebih dari sebelumnya. Ia mengajarkan bahwa keberanian, ilmu, dan keikhlasan adalah bekal utama untuk melayani umat dan membangun bangsa.

Nyai Walidah telah tiada, namun ide-ide dan semangatnya tak pernah mati. Ia adalah lentera yang terus menyala, menyinari langkah perempuan Indonesia menuju masa depan yang lebih terang, cerdas, dan berkeadaban.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Cut Nyak Dien, Pahlawan Besar dan Teladan Wanita Aceh

Rekomendasi untuk Anda

Feature