Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Munculnya video di YouTube berisi rekaman pembunuhan seorang perwira polisi oleh seorang pria bersenjata selama penembakan kantor majalah satir Charlie Hebdo, Paris, memicu perdebatan dan sebagian meyakini serangan itu adalah operasi “false flag” (bendera palsu).
Para ahli telah mengatakan kekhawatirannya dalam diskusi, terutama di media sosial dan online tentang pembantaian Charlie Hebdo, di mana kedua pelaku penyerangan – Said Kouachi (34) dan Cherif Kouachi – namanya sudah lama terdaftar di intelijen Inggris dan Amerika Serikat (AS).
Perdebatan tentang motif serangan dan kekhawatiran kemungkinan “orkestrasi”, diintensifkan pada Selasa (13/1), sehari setelah cerita di halaman web BBC mempertanyaan keaslian video penyerangan.
Kekhawatiran jika serangan itu adalah “false flag” kian meningkat setelah media Eropa melaporkan, pelaku Cherif dan Said Kouachi, sebelumnya telah diidentifikasi sebagai orang yang berpotensi sebagai ancaman teror.
Inggris telah melarang kedua bersaudara itu melakukan penerbangan ke Inggris pada 2010.
Harian Inggris The Guardian melaporkan, Kouachi bersaudara telah ditandai dalam data base AS sebagai “tersangka teroris” dan dilarang terbang ke Amerika setelah mereka diidentifikasi sebagai bagian dari sel kelompok Al-Qaeda.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Kekhawatiran tentang operasi False Flag juga terkait dengan sifat dan arah pimpinan AS dalam “perang melawan teror”.
Meski sebelumnya Al-Qaeda di Semenanjung Arab (AQAP), Yaman, telah mengklaim bertanggung jawab atas serangan itu, mantan anggota Kongres AS Ron Paul mengatakan, penembakan mematikan di kantor majalah Charlie Hebdo adalah operasi False Flag seperti serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat.
“Masalah Charlie Hebdo memiliki banyak karakteristik dari operasi False Flag,” tulis Paul dalam sebuah artikel yang diterbitkan di Ron Paul Institute.
“Serangan terhadap kantor kartunis adalah serangan profesional yang sangat rapi dari jenis yang berhubungan dengan pasukan khusus yang sangat terlatih, namun tersangka yang kemudian dikepung dan dibunuh tampak kikuk dan tidak profesional. Hal ini seperti dua set dari orang-orang yang berbeda,” tambahnya.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Dalam pelariannya, kedua tersangka dengan gegabah meninggalkan identitasnya di mobil curian selama dalam pengejaran polisi Paris.
Aktivis kemanusiaan terkemuka dan pengamat Zionisme asal Indonesia, Joserizal Jurnalis, mengatakan, umat Islam telah masuk dalam jebakan, terkait penembakan kantor Majalah Charlie Hebdo.
Anggota Presidium lembaga medis dan kemanusiaan internasional MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) itu menulis dalam akun Facebook-nya, Jumat malam 9 Januari, kondisi umat Islam di Eropa dalam posisi dilematis.
“Penghina nabi sangat jelas hukumannya mati. Tapi ada JEBAKAN untuk umat Islam BEREAKSI sehingga timbul KONFLIK,” tulis Joserizal.
Menurut dokter bedah yang pernah berulang kali memasuki daerah konflik di dalam maupun di luar negeri sebagai relawan kemanusiaan ini, pihak yang menginginkan umat beragama saling konflik adalah jaringan Novus Ordo Seclorum (NOS) Zionis.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
“Apakah NOS ini bekerja sendirian dan terjun langsung? Jelas tidak! Mereka mendorong orang lain untuk pekerjaan menjelek-jelekkan agama, tokoh, kitab suci dll. Mereka juga mendorong yang dihina untuk bereaksi,” tulisnya.
Joserizal juga menilai, Pemerintah Perancis “didorong” untuk membiarkan Charlie Hebdo menghina siapa saja asalkan tidak menghina Zionisme, Yahudi dan mempertanyakan Holocaust.
“Pemerintah Perancis juga didorong untuk membiarkan serangan terjadi. Apa untungnya bagi Pemerintah Perancis? Menekan kelompok-kelompok agama sehingga makin mempertegas posisi Perancis sebagai negara SEKULAR yang merupakan amanat dari Revolusi Perancis dan mungkin juga untuk CONDITIONING agar bisa menyerang negara tertentu,” papar Joserizal.
Dalam waktu beberapa hari pasca serangan terhadap kantor majalah penghina Nabi Muhammad, Charlie Hebdo, yang menewaskan 12 orang, kepolisian Paris menangkap sekitar 12 tersangka yang terkait dengan serangan. Sementara tiga tersangka penyerangan tewas ditembak mati di lokasi pengepungan. Isteri tersangka mendiang Amedy Coulibaly (32) yang bernama Hayat Boumeddiene (26), telah pergi ke Suriah sebelum serangan, dan kini menjadi wanita paling diburu oleh kepolisian Perancis.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Dan kurang dari sepuluh hari pasca serangan di Paris, kepolisian Belgia dan beberapa negara Eropa Barat telah “memanen” puluhan orang yang diduga bagian dari kelompok teror bersenjata, dalam pengerebekan yang dilancarkan Jumat, 16 Januari 2015.
Polisi Belgia, Perancis, Jerman, dan Irlandia setidaknya menangkap 30 tersangka serta ditahan di balik jeruji besi.
Di Brussel, pihak berwenang mengatakan, setidaknya 13 tersangka ditangkap dan empat senapan serbu Kalashnikov, senjata tangan dan bahan peledak pun telah disita.
Beberapa set seragam polisi juga ditemukan, yang menurut pihak berwenang Belgia, komplotan berniat menyamar sebagai polisi.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Jaksa mengatakan, polisi Belgia menggagalkan plot untuk membunuh polisi di jalan umum dan di kantor.
Dua tersangka ditembak mati dalam baku tembak salah satu penggerebekan polisi di kota timur Verviers pada Kamis malam (15/1).
Namun, Perdana Menteri Perancis Manuel Valls membantah “hubungan langsung” antara serangan anti-teror di Belgia dan serangan pekan lalu di Paris.
Jerman juga melakukan serangkaian penggerebekan di Berlin dan menangkap dua orang karena dicurigai merekrut pejuang dan mendanai kelompok bersenjata Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Setidaknya 11 lokasi digerebek oleh 250 petugas polisi di ibukota Jerman.
Meski bukan negara Eropa, tapi AS tidak mau ketinggalan.
FBI menangkap seorang mualaf yang diduga pendukung ISIS, karena diduga merencanakan menyerang gedung Capitol AS dan membunuh pejabat pemerintah.
Pria Ohio, Christopher Cornell (20) ditangkap dan didakwa pada Rabu, 14 Januari dengan mencoba membunuh seorang petugas pemerintah AS dan kepemilikan senjata api.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Menurut dokumen pengadilan, FBI mengatakan Cornell melakukan riset pembuatan bom pipa, membeli senjata dan 600 butir amunisi, serta membuat rencana melakukan perjalanan ke Washington guna melakukan serangan.
Profil Twitter Cornell bersimpati kepada ISIS, juga melakukan kontak dengan informan FBI melalui situs media sosial dan kemudian mengembangkan rencana untuk menyerang gedung kongres dengan bom pipa.
“Cornell memberikan pernyataan yang bertentangan menurut dokumen pengadilan, pada satu titik dia mengklaim Al-Qaeda di Semenanjung Arab (AQAP) dan Anwar Al-Awlaki telah menandatangani rencana serangan, dan kemudian mengklaim ISIS mendukungnya,” lapor wartawan Al Jazeera, Patty Culhane, dari Washington.
Ayah tersangka, John Cornell, mengatakan kepada wartawan, anaknya dipaksa melakukan itu.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Dia mengatakan, anaknya mungkin telah memposting pesan marah tentang jihad, tapi ia tidak akan mampu melakukan serangan, sebab anaknya baru memeluk Islam setelah mentalnya anjlok di sekolah tingginya. (T/P001/P2)
Disari dari berbagai sumber.
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)[highlight][/highlight][highlight][/highlight]
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat