Jakarta, MINA – Organisasi berbasis agama perlu memiliki keberanian untuk mempunyai agenda yang sama dalam mempromosikan martabat manusia dan hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan masyarakat yang majemuk.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti, mengatakan literasi keagamaan lintas budaya menjadi jembatan untuk membangun keterlibatan organisasi-organisasi agama yang selama ini terbatas.
“Ketika kita berbicara mengenai cross the border, atau melintasi batas, maka diperlukan sebuah jembatan yang membuat kita bisa bertemu dan berinteraksi dengan kelompok-kelompok yang berbeda, baik secara agama dan budaya,” kata Abdul Mu’ti saat menjadi pembicara dalam Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya, Selasa (14/3.
Menurutnya, ada dua hal yang memampukan organisasi berbasis agama ini dalam melintasi batasnya, yaitu pertama, nilai-nilai universal antara lain nilai kemanusiaan, nilai kehidupan, nilai kebahagiaan, dan nilai kebebasan.
Baca Juga: Indonesia Sesalkan Kegagalan DK PBB Adopsi Resolusi Gencatan Senjata di Gaza
Nilai-nilai universal memampukan organisasi berbasis agama untuk memiliki empati dan simpati kepada sesama manusia, termasuk kepedulian untuk mengulurkan tangan dan memberikan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan walaupun bukan berasal dari kelompok sama.
Abdul Mu’ti mengatakan tantangan yang harus dihadapi adalah bagaimana memiliki sikap yang terbuka terhadap perbedaan.
“Kita perlu membangun relasi dan ruang inklusif. Kita perlu memperbanyak ruang, agar kita bisa saling bertemu satu dengan yang lain. Ruang dimana kita bisa bebas berbicara satu dengan yang lain, ruang dimana kita bisa menghirup udara bersama-sama dengan yang lain,” ujarnya.
Selain itu, bagaimana seluruh organisasi berbasis agama memiliki agenda bersama (common agenda) untuk bekerja bersama-sama (work together) dengan lintas agama dan budaya (cross religion and culture).
Baca Juga: Selamat dari Longsor Maut, Subur Kehilangan Keluarga
Sementara itu, Presiden Dewan Gereja-gereja Sedunia, Henriette T. Hutabarat-Lebang, mengatakan isu-isu HAM, diskriminasi sosial dan pelecehan martabat kemanusian selalu menjadi sorotan pembahasan dalam Sidang Raya Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) yang digelar setiap lima tahun sekali.
“Secara prinsip diyakini bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan. Oleh karena itu, harkat kemanusiaan itu harus dipelihara, apapun latar belakang suku latar belakang budaya dan agama dari setiap orang atau setiap komunitas,” kata Henriette yang juga Ketua Majelis Pertimbangan PGI.
Mencermati berbagai konflik yang terjadi di tengah masyarakat, PGI juga mendorong gereja-gereja untuk bekerja sama dengan umat beragama dan berkepercayaan lain untuk membela hak-hak asasi manusia dan menerapkan martabat kemanusiaan itu terutama di tengah-tengah berbagai masalah yang dihadapi,” papar Henriette.
Pelanggaran Kodrat Tuhan
Baca Juga: Terakreditas A, MER-C Training Center Komitmen Gelar Pelatihan Berkualitas
Senada dengan itu, Ketua Badan Wakaf Pesantren Tebuireng, Abdul Halim Mahfudz, mengatakan ketika Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk terbaiknya, maka ada hak-hak dasar yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari penciptaan manusia. Hak dasar yang merupakan martabat manusia itu diantaranya hak untuk hidup, hak berkumpul, hak untuk beragama, hak untuk menikmati rahmat Tuhan.
“Di balik itu semua, kita mempunyai kewajiban utama menjaga alam, hewan dan tumbuhan serta menghargai sesama manusia. Islam mengajarkan tidak boleh siapa pun mengganggu hak dasar, martabat manusia. Kalau ada orang merasa berhak untuk mengganggu, maka dia sudah berbuat pelanggaran agama dan kodrat Tuhan,” tegas Abdul Halim Mahfudz.
Direktur Eksekutif World Faiths Development Dialogue, Katherine Marshall, menambahkan komunitas-komunitas agama harus membawa pengetahuan.(R/R1/RS3)
Baca Juga: Tiba di Inggris, Presiden Prabowo Hadiri Undangan Raja Charles III
Mi’raj News Agency (MINA)