Otoritas Palestina Persempit Ruang Kritik Daring

Ilustrasi: tentara Israel memantau Facebook aktivis Palestina. (Foto: Sebastian Scheiner/AP)

 

Pada tanggal 3 Juni 2017, seorang pejabat senior di (PA) dan juga tokoh gerakan Fatah bernama Jibril Rajoub, berbicara di sebuah saluran televisi Israel tentang masa depan Kompleks Masjid Al-Aqsha atau Al-Haram Al-Sharif.

Inti dari pandangan Pemimpin Asosiasi Sepak Bola Palestina itu adalah “jika terjadi kesepakatan politik antara Israel dan Palestina, orang-orang Israel akan menguasai Tembok Barat, sementara warga Palestina akan menguasai kompleks Masjid Al-Aqsha.”

Keesokan harinya, seorang aktivis berusia 23 tahun bernama Nassar Jaradat di Ramallah, mengirim pesan di Facebook yang menyatakan bahwa Jibril Rajoub tidak memiliki hak untuk membuat konsesi atas nama rakyat Palestina.

Status yang diunggah itu mendapat beberapa ratus “like” dan beberapa komentar.

Namun, beberapa hari kemudian, tepatnya pada dini hari tanggal 7 Juni, saat Jaradat menghabiskan waktu bersama teman-teman di Birzeit, dia menerima telepon dari ayahnya yang ketakutan.

Ayahnya mengabarkan bahwa petugas keamanan Otoritas Palestina telah datang ke rumah keluarga Beitunia untuk menangkap Jaradat. Pemuda itu pun memutuskan pulang ke rumahnya dan menemui petugas yang menunggunya. Segeralah ia dibawa ke markas besar keamanan di Tepi Barat untuk diperiksa.

Pada tanggal 23 Juni, Jaradat dibebaskan dengan membayar jaminan setelah menghabiskan 15 hari di dalam penjara.

Ketika bertemu dengan wartawan Al Jazeera pada suatu pagi musim panas di sebuah kafe Ramallah, Jaradat ingin menunjukkan unggahan Facebook-nya yang membuat ia masuk penjara.

“Saya belum menghapus unggahan yang menyebabkan saya ditahan, masih ada di halaman Facebook saya,” katanya.

Namun, perkataannya terbantahkan. Melalui ponsel pintarnya yang usang, ia tidak bisa menemukan lagi unggahannya tersebut.

Ketika Jaradat diinterogasi oleh keamanan Otoritas Palestina, unggahan Facebook pemuda itu telah dicetak dan ditunjukkan.

Ia ditanya: Apakah itu miliknya atau orang lain yang mengunggah?

“Saya mengatakan itu milik saya, saya menulisnya,” kata Jaradat meniru jawabannya saat ia diinterogasi.

Ketika keamanan kembali bertanya apakah dia merasa bersalah, Jaradat menjawab bahwa ia tidak merasa bersalah.

Pengakuan itu membuat interogasi meluas. Keamanan mempertanyakan unggahan-unggahan sebelumnya dan hubungan si pemuda dengan gerakan Youth Pulse Forum. Jaradat terkadang mengunggah status di halaman Facebook organisasi itu.

Youth Pulse Forum bertujuan memberi panggung untuk diskusi bebas bagi pemuda Palestina mengenai isu sosial dan politik. Organisasi ini juga menyelenggarakan acara di seluruh Tepi Barat yang diduduki, termasuk ceramah dan proyek masyarakat. Selama aksi mogok makan oleh lebih seribu tahanan Palestina di penjara-penajara Israel pada musim semi 2017, puluhan pemuda Palestina menanggapi seruan Youth Pulse Forum untuk berdemonstrasi di Lapangan Manara di Ramallah.

Nassar Jaradat. (Foto: Nigel Wilson/Al Jazeera)

“Interogasi itu bukan hanya untuk bermain-main dengan saya atau membuang waktu saya. Mereka ingin mengetahui, siapa di kelompok ini yang paling berpengaruh. Siapa yang bisa membuat banyak orang pergi berdemonstrasi,” kata Jaradat.

Jaradat didakwa melakukan dua pelanggaran, yaitu menghasut konflik sektarian dan menghina pejabat senior pemerintah. Ia kemudian dibebaskan setelah membayar jaminan sebesar US$ 1.400. Ia akan menghadapi pengadilan berikutnya pada tanggal 18 September 2017.

“Ini adalah pesan yang jelas bahwa Anda harus berhenti menulis unggahan. Jika saya melakukannya, mereka akan datang menangkap saya dan saya harus membayarnya,” kata Jaradat.

Namun, sebagai seorang aktivis, ia bertekad untuk terus mengekspresikan pandangannya, tapi tidak dengan cara yang bisa membuat Otoritas Palestina menuduhnya melanggar hukum.

“Saya akan berusaha lebih berhati-hati dan mempertimbangkan sisi hukumnya,” katanya.

Kelompok hak asasi manusia Palestina dan internasional telah memperingatkan Otoritas Palestina atas tindakan kerasnya terhadap aktivis sosial dan wartawan dalam dua tahun terakhir. Kebijakan pemerintah Palestina itu telah membatasi kebebasan berekspresi secara daring.

Kelompok kebebasan media Palestina MADA mencatat, jumlah kasus Otoritas Palestina di Tepi Barat dan Hamas di Jalur Gaza melanggar kebebasan berekspresi wartawan, total sebanyak 134 kasus pada tahun 2016.

Komisi Independen untuk Hak Asasi Manusia mencatat, ada 17 penangkapan oleh Otoritas Palestina di Tepi Barat dan Gaza terkait dengan unggahan mengkritik di media sosial sepanjang tahun 2016, dibandingkan dengan 24 penangkapan di tahun 2015.

Nadim Nashif, salah seorang pendiri sebuah kelompok hak digital Palestina bernama 7amleh, mengatakan bahwa Otoritas Palestina secara tidak adil mentargetkan individu yang mengekspresikan kritik terhadap politisi.

“Dalam satu atau dua tahun terakhir, Otoritas Palestina telah menjadi kurang toleran. Setiap kritik terhadap kepemimpinan Palestina di Tepi Barat tidak dapat ditolerir sama sekali,” kata Nashif.

Selama Jaradat berada di penjara, Otoritas Palestina terlibat dalam pertarungan baru mengenai kebebasan berekspresi. Mereka memblokir 11 situs berita Palestina yang populer.

Kesebelas situs tersebut diduga berafiliasi dengan Hamas yang menguasai Jalur Gaza dan Mohammed Dahlan, seorang politisi Fatah yang diasingkan dan kritis terhadap pemerintah di Ramallah. Langkah pemblokiran situs itu dikecam oleh kelompok hak asasi manusia, termasuk MADA dan 7amleh.

Nashif menggambarkan perkembangan itu “mengganggu” dan “menyedihkan”.

“Saya pikir mereka (Otoritas Palestina) mengambil legitimasi dari apa yang terjadi di kawasan ini, karena ini menjadi standar di semua negara Arab, untuk memblokir situs. (Abdel Fattah) Al-Sisi melakukannya kepada hampir 70 situs. Ada banyak di Yordania. Ini terjadi di banyak negara Arab, tapi di tingkat Palestina ini adalah pertama kalinya,” ujar Nashif. (RI-1/P2)

 

Sumber: tulisan Nigel Wilson di Al Jazeera

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)