Oleh: Illa Kartila – Redaktur Senior Miraj Islamic News Agency/MINA
Di saat publik belum lagi lepas dari keterkejutannya atas skandal Padepokan Gatot Brajamusti, muncul pula kasus yang tak kalah menggegerkan – terbongkarnya praktek-praktek kejahatan dan penipuan di Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Kedua padepokan itu sama-sama menggunakan “kedok agama” untuk melakukan kegiatan yang menjurus ke tindak kriminal.
Gatot selama ini dikenal sebagai guru spiritual para selebritas dan pengusaha. Beberapa artis sempat menjadi muridnya di Padepokan Brajamusti. Setelah tertangkapnya Gatot untuk kasus penggunaan narkotik oleh Kepolisian Resor Mataram, terungkap pula dugaan praktek-praktek mesum yang dilakukannya selama ini.
Dimas Kanjeng dituduh melakukan penipuan uang dan pembunuhan santrinya. Modus penipuan yang dilakukannya adalah penggandaan uang. Kepada polisi, Taat mengaku bisa menggandakan uang dengan ilmu yang dimilikinya. Namun, dia gagal menunjukkan keahlian itu di depan polisi, sebab jin yang membantunya telah pergi karena terkena gas air mata yang ditembakkan polisi.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Menurut akademisi dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, maraknya kasus dugaan penipuan dan pelecehan berkedok agama, seperti yang dilakukan Gatot Brajamusti dan Dimas Kanjeng Taat Pribadi, merupakan sebuah gejala kultus “yang dipimpin penipu – orang yang menyalahgunakan kepercayaan orang lain kepadanya.”
Pengkultusan, katanya, masih terjadi di masyarakat karena terjadi krisis karakter. Banyak orang menempuh jalan instan dalam menyelesaikan masalah, seperti utang piutang, ambisi politik, dan jabatan. Penipu itu membangun karisma melalui penampilan, kepintaran berbicara, dan retorika menggunakan argumentasi agama.
“Mereka membuat orang-orang percaya akan hal-hal yang too good to be true, seperti menggandakan uang,” ujarnya sambil menambahkan, solusi untuk menangani penipuan ini adalah penindakan hukum terhadap pemimpin kultus. Juga, pendidikan karakter sejak dini yang dimulai dari keluarga untuk pemahaman agama yang benar tentang apa yang perlu diimani.
Taat dan Gatot atau para pengikutnya mengaku keduanya memiliki ilmu sakti mandraguna, Taat untuk melakukan penipuan pengadaan dan penggandaan uang dan Gatot barangkali untuk memikat wanita-wanita yang diinginkannya. Bahkan keduanya mengaku berkawan akrab dengan jin. Gatot misalnya, mengaku ia kadang-kadang adalah jin.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Kedua orang itu sama-sama memiliki pengikut yang fanatik dan yang mengherankan di antara mereka ada orang-orang yang terkenal dan tokoh masyarakat. Pada kasus Taat, ada Marwah Daud Ibrahim yang merupakan doktor lulusan Amerika Serikat, mantan anggota DPR serta pernah aktif di HMI dan ICMI. Pada kasus Gatot, ada dua artis terkenal.
Keduanya juga menggunakan modus mengecoh yang membuat sebagian orang terjerat. Taat, yang mengaku memiliki ilmu untuk menggandakan uang, menggunakan sistem multilevel
Marketing dan setiap orang harus menyetor Rp25 juta. Sedangkan Gatot menggunakan narkoba, sebagai makanan jin atau aspat, untuk memikat hati dan mengikat para pengikutnya.
Seorang sosiolog di Universitas Airlangga, Hotman Siahaan menganalisis praktik penipuan ini mampu melibatkan ribuan orang, karena sebagian masyarakat masih bersikap irasional dan terperdaya budaya ‘ingin cepat kaya’. Juga walaupun temuan polisi menyimpulkan ada dugaan penipuan yang melibatkan Taat, sebagian pengikutnya tetap yakin dia tidak melanggar hukum.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Taat Pribadi, 46 tahun, juga diduga terlibat pembunuhan atas dua orang bekas anak buahnya, yaitu Abdul Ghani dan Ismail Hidayah. Mereka dibunuh karena khawatir akan membocorkan dugaan praktik penipuan penggandaan uang, kata Kahumas Polda Jawa Timur, Kombes Argo Yuwono di Probolinggo.
Dalam perkara penipuan, Polda Jatim menyebut telah menerima laporan empat orang yang mengaku ditipu oleh Taat Pribadi. “Jumlah kerugian mereka sekitar Rp2,2 miliar. Mereka mengaku dijanjikan uangnya akan berlimpah apabila bersedia menyetor uang yang disebut sebagai mahar, tetapi janji ini tidak pernah direalisasikan,” katanya.
Marwah pilih “setia” pada Taat
Salah seorang yang meyakini bahwa Taat mampu mengadakan uang adalah Marwah Daud, politikus Partai Gerindra dan anggota Dewan pakar ICMI serta sebagai Ketua Komisi Perempuan Remaja dan Keluarga MUI. Wanita yang juga adalah Ketua Yayasan Dimas Kanjeng ini percaya Taat tidak melakukan penipuan seperti dituduhkan polisi berdasarkan laporan sejumlah orang.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
“Ini tidak ilmiah. Bukan dimensi (ilmiah) yang kita pakai. (Tapi) Dimensi yang kita lihat dan Anda yakin. Tidak ada yang lain, kecuali kuasa Allah. Faktanya begitu,” kata Marwah. “Jangan kriminalisasi … tidak ada (penipuan),” kata Marwah.
Hotman mengaku heran atas keterlibatan sosok Marwah yang meyakini praktik penipuan Taat sebagai ‘semacam sulap-sulapan’. “Beliau ini intelektual, akademisi yang terkenal, lalu tiba-tiba sangat irasional melihat perkara ini dan begitu membela Kanjeng Dimas. “Kemampuan akademis dan pemikiran intelektualnya hilang, karena (apa yang diklaim Taat) dianggap benar.”
Marwah tetap menilai baik sosok sang guru. Di matanya, Dimas Kanjeng termasuk orang istimewa yang dianugerahi ilmu dan karomah. Menurut dia, tidak sembarang orang bisa memiliki kemampuan seperti Dimas Kanjeng. Sebelum memutuskan bergabung dan menjadi ketua yayasan, Marwah mengaku sudah melakukan istikharah dan perenungan panjang.
Wanita itu lantas membandingkan B.J. Habibie dengan Dimas Kanjeng karena keduanya dianggap memiliki kemampuan luar biasa di sisi berbeda. “Saya lihat, kalau Pak Habibie diberi kemampuan luar biasa dari sisi ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan beliau (Dimas Kanjeng) ini diberi karomah yang luar biasa.”
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Sebagai ketua yayasan, Marwah meyakinkan aktivitas yang dijalankan pria itu bukan sesuatu yang menyesatkan. Setelah beberapa kali memberikan penjelasannya soal keberadaan padepokan tersebut, Marwah kemudian melayangkan surat pengunduran diri dari MUI. Marwah lebih memilih membela padepokan Dimas Kanjeng.
“Marwah Daud Ibrahim mengundurkan diri per 3 Oktober meski secara tertulis lewat pesan elektronik WhatsApp kami terima tanggal 4 Oktober. Nanti menyusul surat resmi,” kata Wakil Sekjen MUI Najamuddin Ramly, di Jakarta sambil menambahkan bahwa alasan pengunduran dirinya karena yang bersangkutan memilih untuk tetap menjadi Ketua Yayasan Kanjeng Dimas.
Ajaran sesat
MUI Pusat telah melakukan kajian terkait ajaran Dimas Kanjeng dan pengikutnya di padepokan yang ia pimpin. Ketua umum MUI Pusat, KH. Ma’ruf Amin mengatakan, keputusan fatwa terkait ajaran Dimas ini akan keluar dalam waktu dekat, namun bisa dipastikan ada indikasi sesat. “Secara umum bisa disimpulkan, Dimas sudah melakukan tindakan kesesatan dari segi akidah.”
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Hal ini, kata Rais Am PBNU itu, karena Dimas menyampaikan ajaran bahwa dirinya menampilkan menisbahkan diri sebagai tokoh yang ‘Kun fa Yakun‘. “Artinya lambang sebagai yang bersifat Tuhan.”
Karena itu, MUI pusat dalam waktu dekat akan mengeluarkan fatwa terkait hal ini. Termasuk fatwa model padepokan yang menjurus ke arah penyimpangan ajaran Islam, seperti yang terjadi pada padepokan Gatot Brajamusti di Jawa Barat.
MUI pun meminta kepada pemerintah dan aparat berwajib mengusut tuntas aksi kriminalitas yang ada di dalamnya. Sekaligus mendesak dibongkarnya jaringan penipuan berkedok penyimpangan ajaran Islam seperti ini di berbagai wilayah Indonesia. Karena, menurutnya tidak mustahil ada aktor intelektual di balik semua ini.
“Padepokan Dimas Taat Pribadi agar segera ditutup, dan pemerintah harus melakukan rehabilitasi terhadap para korban dari kegiatan ini, pemikirannya serta aspek ekonominya yang terpuruk, karena mereka bagian dari anak bangsa,” katanya.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Menurut Ketua Umum MUI Jatim, KH Abdus Shomad Buchori, investigasi tim MUI Jatim menyimpulkan, padepokan ini menjadi sindikat penipuan berkedok agama. “Seperti membuat istighotsah dengan doktrin dan wirid-wirid khusus yang banyak menyimpang. Padepokan ini juga bukan pondok pesantren. Dimas Kanjeng itu bukan Kiai dan pengikutnya bukan santri.”
Pernyataan Abdus Shomad ini diperkuat oleh cendikiawan muslim Mahfud MD yang mengaku pernah satu kali berkunjung ke padepokan itu. Pertama kali bertemu Mahfud langsung mendapatkan kesan tidak enak. “Saat saya datang ke padepokan ternyata yang menyambut itu Taat Pribadi. Kemudian saya diperkenalkan sebagai santri dia. Kan kurang ajar.”
Dia juga sejak awal merasa tak begitu suka pada sosok Taat Pribadi. Mahfud yang sejak kecil nyanteri dan akrab dengan dunia pesantren sungguh mengenal betul bagaimana seorang kyai biasanya bersikap dan itu tidak ditemukan pada sosok Taat Pribadi. “Ini orang besar (sombong) sekali.”
“Orang bilang dia (Taat) hebat, bisa mengadakan dan mengandakan uang. Kalau betul maka yang menyaksikan juga terlibat dan harus diperiksa, ini kan melanggar UU perbankan,” ujarnya.
Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital
Sebaran ajaran Kanjeng Dimas juga ditemukan di Samarinda. Padepokan di sana dipimpin Sultan Agung Sumaryono (44), bekas tukang reparasi barang elektronik. Pada gapura padepokan yang terletak di Jl. Ir Sutami itu, tertulis Majelis Talim Daarul Ukhuwah. Namun belakangan, nama YPDK singkatan dari Yayasan Padepokan Dimas Kanjeng, dilepas dari gapura.
Suyamto, seorang warga menjelaskan, padepokan di seberang rumahnya itu sudah ada sejak 2011. Saat itu hanya menjadi tempat pengajian biasa hingga dua tahun kemudian bernama YPDK Majelis Taklim Daarul Ukhuwah. Juga terpasang wajah Dimas Kanjeng pada dinding padepokan. Pengikutnya juga terus bertambah.
Menag minta pendapat ulama
Menurut Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, pihaknya tidak berhak menentukan menyimpang-tidaknya ajaran Padepokan Kanjeng Dimas. “Guru besar” padepokan tersebut, Taat Pribadi, kini ditahan di Polda Jatim karena terlibat pembunuhan dan dugaan penipuan penggandaan uang.
Baca Juga: Amerika itu Negara Para Pendatang!
“Soal keabsahan ajarannya, itu tentu kewenangan ulama, bukan domain Kemenag,” kata Lukman sambil menambahkan, pemerintah meminta pandangan sejumlah lembaga agama, seperti MUI, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah, untuk mengidentifikasi ajaran sesat di padepokan tersebut. “Kalau dari sisi hukum, polisi yang sedang mengusut.”
Lukman menyebutkan, pihaknya aktif memantau perkembangan kasus Taat Pribadi yang ditangkap pada 22 September lalu. “Kami juga dapat masukan dan keluhan dari sebagian masyarakat yang resah.”
MUI menilai kasus Dimas Kanjeng sebagai kejahatan murni yang berkedok agama. Padepokan Dimas Kanjeng tak mengajarkan nilai agama kepada para pengikutnya. “Perkumpulan itu memotivasi pengikutnya untuk mengejar kepentingan materi semata,” ujar Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa’adi.
Najamiah, warga Makassar misalnya, telah menyetor uang senilai Rp202 miliar kepada Dimas Kanjeng. Dia ingin uang dengan nilai fantastis itu digandakan. Uang itu diserahkan secara bertahap selama dua tahun sejak 2013 hingga tahun 2015.
Baca Juga: Indonesia, Pohon Palma, dan Kemakmuran Negara OKI
Menurut Kapolda Sulselbar, Irjen Anton Charliyan, uang miliar rupiah itu diserahkan dengan cara ditransfer. Ada pula secara tunai dengan rincian Rp 9 miliar melalui transfer perbankan dan sisanya Rp 193 miliar secara tunai dibawa ke Probolinggo. Uang itu kemudian dikembalikan Taat Pribadi dengan batangan emas totalnya seberat 500 kg yang diduga palsu.
Tiba-tiba saja, pimpinan Padepokan Dimas Kanjeng yang dinggap sakti oleh para pengikutnya itu, ditangkap polisi dan kemungkinan harus hidup di balik jeruji besi dalam tempo yang cukup lama atas perbuatan jahatnya – menipu dan membunuh orang. (R01/P001)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)