Jenewa, MINA – Serangan mematikan terhadap jurnalis di Gaza dan standar ganda serta diskriminasi terhadap mereka yang memperjuangkan hak-hak Palestina telah menciptakan krisis kebebasan berekspresi global, kata seorang pakar PBB.
Saat menyampaikan laporannya kepada Majelis Umum PBB, Kamis (17/10), Irene Khan, Pelapor Khusus tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi, menyoroti pelanggaran kebebasan berekspresi yang meluas akibat konflik di Gaza, termasuk pembunuhan jurnalis di Gaza, pembubaran aksi protes di seluruh dunia terhadap pembantaian tersebut, pembungkaman advokasi Palestina. Selain itu, ia menyoroti maraknya disinformasi, misinformasi, serta ujaran kebencian daring dan luring.
“Tidak ada perang dalam beberapa waktu terakhir yang memengaruhi kebebasan berpendapat dan berekspresi seserius atau sejauh ini melampaui batas-batasnya,” kata pakar PBB tersebut.
“Jarang sekali kita melihat pola pembatasan yang tidak sah, diskriminatif, dan tidak proporsional terhadap kebebasan berekspresi oleh negara dan aktor swasta, terutama di negara demokrasi barat,” kata Khan.
Baca Juga: Guido Crosseto: Kami akan Tangkap Netanyahu Jika Berkunjung ke Italia
“Ketika universitas dan lembaga budaya terbaik di negara barat berkolusi dengan negara mereka untuk mengintimidasi, mengisolasi, dan membungkam suara-suara yang tidak setuju tentang situasi Palestina, mereka merusak kebebasan artistik dan akademis mereka sendiri dan mengurangi semangat demokrasi mereka sendiri,” sebutnya lagi.
Dia mengatakan, pembunuhan yang ditargetkan dan penahanan sewenang-wenang terhadap jurnalis, penghancuran fasilitas dan peralatan pers di Gaza, penolakan akses ke media independen, pelarangan Al Jazeera, nampaknya menunjukkan strategi yang disengaja oleh otoritas Israel untuk membungkam pelaporan kritis dan menghalangi dokumentasi kemungkinan kejahatan internasiona.
“Mengapa negara-negara yang mempromosikan diri mereka sebagai pejuang kebebasan media tetap diam dalam menghadapi serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap jurnalis di Wilayah Palestina yang diduduki?” tanyanya.
Khan juga menekankan, penindasan media di Gaza dan Tepi Barat merupakan serangan terhadap hak atas informasi orang-orang di seluruh dunia yang ingin mengetahui apa yang terjadi di sana.
Baca Juga: Militer Israel Akui Kekurangan Tentara dan Kewalahan Hadapi Gaza
“Meskipun orang Yahudi, warga Yahudi Israel, dan Palestina semuanya telah menjadi sasaran disinformasi, misinformasi, dan ujaran kebencian di media sosial, perusahaan-perusahaan cenderung menunjukkan bias terhadap ekspresi warga Palestina dalam moderasi konten mereka,” katanya.
“Baik daring maupun luring, standar-standar internasional sedang diputarbalikkan dan disalahartikan untuk menyamakan kritik terhadap kebijakan Pemerintah Israel dan Zionisme dengan antisemitisme, yang merupakan kebencian rasial dan agama terhadap orang Yahudi dan harus dikutuk dengan tegas,” kata pakar tersebut.
“Israel adalah sebuah Negara. Zionisme adalah ideologi politik. Berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional tentang kebebasan berekspresi, tidak ada Negara atau ideologi politik yang dapat dilindungi dari kritik,” ujarnya.
Pelapor Khusus mendesak semua Negara, perusahaan, dan lembaga swasta untuk menahan diri dari diskriminasi dan menegakkan kebebasan berekspresi secara setara bagi semua orang, sesuai dengan standar internasional. Ia meminta semua Negara untuk menindaklanjuti rekomendasi konkret dalam laporannya.
Baca Juga: ICC Keluarkan Surat Perintah Penangkapan Netanyahu dan Gallant
“Kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dinikmati secara setara oleh semua pihak merupakan alat yang sangat berharga untuk melawan kebencian, mendorong rasa saling menghormati dan dialog, untuk melestarikan demokrasi di dalam negeri dan mempromosikan perdamaian di luar negeri,” kata Khan.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Trump Disebut Menentang Rencana Israel Aneksasi Tepi Barat