Dhaka, MINA – Pemimpin umat Katolik sedunia, Paus Fransiskus, memulai kegiatan kunjungan di Bangladesh setelah sebelumnya mengadakan kunjungan di Myanmar, termasuk bertemu dengan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi.
Ia mengucapkan terima kasih kepada Bangladesh atas respon kemanusiaan kepada pengungsi Muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar, namun kembali menghindari penggunaan istilah Rohingya.
Paus telah dikritik oleh kelompok hak asasi karena tidak menggunakan istilah tersebut saat berkunjung ke Myanmar, negara tidak mengakui Rohingya sebagai kelompok etnis, BBC melaporkannya.
Dia berbicara di Dhaka, ibu kota Bangladesh, tepat pada Jumat (1/12), ia dijadwalkan akan menemui pengungsi Rohingya.
Baca Juga: Kelelahan Meningkat, Banyak Tentara Israel Enggan Bertugas
Jumlah penganut Katolik di Bangladesh lebih sedikit daripada di Myanmar. Mereka membentuk sekitar 0,2% dari populasi negara itu, sekitar 350.000 orang, dibandingkan dengan sekitar 600.000 orang di Myanmar.
“Masyarakat Bangladesh terlihat paling jelas dalam penjangkauan kemanusiaannya terhadap arus masuk pengungsi yang besar dari Negara Bagian Rakhine, memberi mereka tempat penampungan sementara dan kebutuhan dasar manusia. Hal ini telah dilakukan tanpa pengorbanan,” kata Paus dalam pidatonya.
Tak satu pun dari kita boleh gagal dalam menyadari kegawatan situasi ini, korban yang sangat besar dari penderitaan manusia yang terbawa, dan kondisi kehidupan genting dari begitu banyak saudara dan saudari kita, yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, berkumpul di kamp pengungsi.
Paus pada masa lampau pernah menggunakan istilah “saudara laki-laki dan perempuan Rohingya”.
Baca Juga: Bahas Krisis Regional, Iran Agendakan Pembicaraan dengan Prancis, Jerman, Inggris
Vatikan membela keputusan Paus Fransiskus yang menghindari kata Rohingya saat berada di Myanmar.
Dia telah diperingatkan oleh perwakilan Katolik di negara tersebut untuk tidak menggunakan istilah tersebut karena takut mengalienasi mayoritas umat Buddha.
Pemerintah Myanmar menolak istilah Rohingya. Mereka memberi label untuk komunitas tersebut sebagai “orang Bengali” dan mengatakan bahwa mereka bermigrasi secara ilegal dari Bangladesh.
Lebih dari 620.000 orang Rohingya telah melarikan diri melintasi perbatasan sejak Agustus di tengah tindakan keras aparat keamanan Myanmar dan gerombolan umat Buddha radikal. Pemerintah Myanmar berdalih langkah itu ditujukan untuk membasmi gerilyawan Rohingya yang dituduh terlibat dalam serangan mematikan di pos-pos polisi Agustus lalu.
Baca Juga: Serangan Hezbollah Terus Meluas, Permukiman Nahariya di Israel Jadi Kota Hantu
PBB menggambarkan tindakan keras aparat keamanan Myanmar di Negara Bagian Rakhine sebagai contoh “buku teks pembersihan etnis”.
Seorang juru bicara Vatikan mengatakan walaupun diplomasi Paus “tidak sempurna”, ia tidak kehilangan “otoritas moral” dalam pendekatannya, yang dimaksudkan untuk “membangun jembatan” di Myanmar. (T/R11/R01)
Miraj News Agency (MINA)
Baca Juga: Jajak Pendapat: Mayoritas Warga Israel Dukung Gencatan Senjata dengan Lebanon