Dakar, MINA – Pakar hak asasi manusia PBB mendesak pemerintah Mali untuk menindak perbudakan turun-temurun setelah serangkaian serangan kekerasan terhadap orang-orang yang lahir dalam perbudakan.
“Perbudakan secara resmi dihapuskan sejak kolonial Mali pada 1905, tetapi sistemnya masih ada. Orang-orang dipaksa bekerja tanpa bayaran untuk keluarga yang memperbudak nenek moyang mereka,” kata kelompok pakar PBB dalam sebuah pernyataan,seperti dikutip dari swissinfo.ch, Jumat (29/10).
Kelompok pakar PBB mengatakan, hukum di Mali tidak secara khusus mengkriminalisasi bentuk perbudakan, sehingga pelaku jarang dimintai pertanggungjawaban.
Pada September lalu, sekelompok orang yang dianggap budak diserang oleh warga Mali lainnya yang keberatan dengan perayaan Hari Kemerdekaan mereka.
Baca Juga: Kota New Delhi Diselimuti Asap Beracun, Sekolah Diliburkan
Serangan berlangsung selama dua hari, menyebabkan satu orang tewas dan sedikitnya 12 orang terluka. Peristiwa itu merupakan serangan kedelapan di tahun ini di wilayah Kayes, sekitar 500 kilometer (310 mil) barat laut ibu kota Bamako.
“Fakta bahwa serangan-serangan ini begitu sering terjadi di daerah ini, menunjukkan bahwa perbudakan berbasis keturunan masih diterima secara sosial oleh beberapa politisi berpengaruh, pemimpin adat, aparat penegak hukum dan otoritas kehakiman di Mali,” kata para pakar.
“Kami telah mengutuk praktik keji ini berkali-kali sebelumnya, sekarang pemerintah Mali harus mengambil tindakan, dimulai dengan mengakhiri impunitas atas serangan terhadap ‘budak’,”tambah mereka.
Setidaknya 30 orang telah ditangkap dari kedua belah pihak dan Polisi Mali telah meluncurkan penyelidikan. Perbudakan berbasis keturunan juga dipraktikkan di negara tetangga Mali, seperti Senegal, Burkina Faso, Niger dan Mauritania. (T/RE1/RS2)
Baca Juga: Ratusan Ribu Orang Mengungsi saat Topan Super Man-yi Menuju Filipina
Mi’raj News Agency (MINA)