Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

PEDAGANG SHALIH YANG MENGIRIM KEKAYAANNYA KE KAMPUNG AKHIRAT

Admin - Rabu, 25 September 2013 - 08:10 WIB

Rabu, 25 September 2013 - 08:10 WIB

812 Views ㅤ

Uwaimir bin Malik al-Khazraji yang lebih dikenal dengan nama Abu Darda bangun dari tidurnya pagi-pagi sekali. Setelah itu, dia menuju berhala sembahannya di sebuah kamar yang paling istimewa di dalam rumahnya.

Abu Darda membungkuk memberi hormat kepada patung tersebut, kemudian diminyakinya dengan wangi-wangian termahal yang terdapat dalam tokonya yang besar, sesudah itu patung tersebut diberinya pakaian baru dari sutera yang megah, yang diperolehnya kemarin dari seorang pedagang yang datang dari Yaman dan sengaja mengunjunginya.

Setelah matahari agak tinggi, barulah Abu Darda masuk ke rumah dan bersiap hendak pergi ke tokonya.

Tiba-tiba jalan di Yastrib menjadi ramai, penuh sesak dengan para pengikut Nabi Muhammad yang baru kembali dari peperangan Badar. Di depan sekali terlihat sekumpulan tawanan terdiri dari orang-orang Quraisy.

Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi

Abu Darda mendekati keramaian dan bertemu dengan seorang pemuda suku Khazraj. Abu Darda menanyakan kepadanya keberadaan Abdullah bin Rawahah. Pemuda Khazraj tersebut menjawab dengan hati-hati pertanyaan Abu Darda, karena dia tahu bagaimana hubungan Abu Darda dengan Abdullah bin Rawahah.

Mereka tadinya adalah dua orang teman akrab di masa jahiliah. Setelah Islam datang, Abdullah bin Rawahah segera masuk Islam, sedangkan Abu Darda tetap dalam kemusyrikan. Tetapi, hal itu tidak menyebabkan hubungan persahabatan keduanya menjadi putus. Karena, Abdullah berjanji akan mengunjungi Abu Darda sewaktu-waktu untuk mengajak dan menariknya ke dalam Islam. Dia kasihan kepada Abu Darda, karena umurnya dihabiskan dalam kemusyrikan.

Abu Darda tiba di toko pada waktunya. Ia duduk bersila di atas kursi, sibuk jual beli dan mengatur para pelayan.

Sementara itu, Abdullah bin Rawahah datang ke rumah Abu Darda. Sampai di sana dia melihat Ummu Darda di halaman rumahnya.

Baca Juga: Dato’ Rusly Abdullah, Perjalanan Seorang Chef Menjadi Inspirator Jutawan

Assalamu’alaiki, ya amatallah,” (Semoga Anda bahagia, hai hamba Allah) kata Abdullah memberi salam.

Wa’alaikassalam, ya akha Abi Darda’”(Dan semoga Anda bahagia pula, hai sahabat Abu Darda), jawab Ummu Darda.

“Ke mana Abu Darda?” tanya Abdullah.

“Dia ke toko, tetapi tidak lama lagi dia akan pulang,” jawab Ummu Darda.

Baca Juga: Hambali bin Husin, Kisah Keteguhan Iman dan Kesabaran dalam Taat

“Bolehkah saya masuk?” tanya Abdullah.

“Dengan segala senang hati, silakan!” jawab Ummu Darda.

Ummu Darda melapangkan jalan bagi Abdullah, kemudian dia masuk ke dalam dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga serta mengasuh anak. Abdullah bin Rawahah masuk ke kamar tempat Abu Darda meletakkan patung sembahannya. Dikeluarkannya kapak yang sengaja dibawanya. Dihampirinya patung itu, lalu dikapaknya hingga berkeping-keping.

“Ketahuilah, setiap yang disembah selain Allah adalah batil!” ucapnya.

Baca Juga: Dari Cleaning Service Menjadi Sensei, Kisah Suroso yang Menginspirasi

Setelah selesai menghancurkan patung tersebut, dia pergi meninggalkan rumah Abu Darda.

Ummu Darda kemudian masuk ke kamar tempat patung berada. Alangkah terperanjatnya dia, ketika dilihatnya petung telah hancur berkeping-keping dan berserakan di lantai. Ummu Darda meratap menampar-nampar kedua pipinya.

“Engkau celakakan saya, hai Ibnu Rawahah!” ratap Ummu Darda.

Tidak berapa lama kemudian Abu Darda pulang dari toko. Ia mendapati istrinya sedang duduk dekat pintu kamar patung sambil menangis. Rasa cemas dan takut kelihatan jelas di wajahnya.

Baca Juga: Profil Hassan Nasrallah, Pemimpin Hezbollah yang Gugur Dibunuh Israel

“Mengapa engkau menangis?” tanya Abu Darda.

“Teman Anda, Abdullah bin Rawahah tadi datang kemari ketika Anda sedang di toko. Dia telah menghancurkan patung sembahan Anda. Cobalah Anda saksikan sendiri,” jawab Ummu Darda.

Abu Darda menengok ke kamar patung, dilihatnya patung itu sudah berkeping-keping, maka timbullah marahnya. Mulanya dia bermaksud hendak mencari Abdullah. Tetapi, setelah kemarahannya berangsur padam, dia memikirkan kembali apa yang sudah terjadi.

Kemudian katanya, “Seandainya patung itu benar Tuhan, tentu dia sanggup membela dirinya sendiri.”

Baca Juga: Jenderal Ahmad Yani, Ikon Perlawanan Terhadap Komunisme

Maka, ditinggalkannya patung yang menyesatkan itu, lalu dia pergi mencari Abdullah bin Rawahah. Bersama-sama dengan Abdullah, dia pergi kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan menyatakan masuk agama Allah di hadapan beliau.

Sejak detik pertama Abu Darda beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dia beriman dengan sebenar-benarnya iman. Dia sangat menyesal agak terlambat masuk Islam. Sementara itu, kawan-kawannya yang telah lebih dahulu masuk Islam telah memperoleh pengertian yang mendalam tentang agama Allah ini, hafal Al-Qur’an, senantiasa beribadah, dan takwa yang selalu mereka tanamkan dalam dirinya di sisi Allah.

Karena itu, dia bertekad hendak mengejar ketinggalannya dengan sungguh-sunggu sekalipun dia berpayah-payah siang dan malam, hingga tersusul orang-orang yang telah berangkat lebih dahulu.

Dia berpaling kepada ibadah dan memutuskan hubungannya dengan dunia, mencurahkan perhatian kepada ilmu seperti orang kehausan, mempelajari Al-Qur’an dengan tekun dan menghafal ayat-ayat, serta menggali pengertiannya sampai dalam. Tatkala dirasakannya perdagangannya terganggu dan merintanginya untuk beribadat dan menghadiri majlis-majlis ilmu, maka ditinggalkannya perusahaanya tanpa ragu-ragu dan tanpa menyesal.

Baca Juga: Hidup Tenang Ala Darusman, Berserah Diri dan Yakin pada Takdir Allah

Berkenaan dengan sikapnya yang tegas itu, orang pernah bertanya kepadanya. Maka, dijawabnya, “Sebelum masa Rasulullah, saya menjadi seorang pedagang. Maka, setelah masuk Islam, saya ingin menggabungkan berdagang untuk beribadah. Demi Allah, yang jiwa Abu Darda dalam kuasa-Nya, saya akan menggaji penjaga pintu masjid supaya saya tidak luput salat berjamaah, kemudian saya berjual beli dan berlaba setiap hari 300 dinar.” Kemudian, Abu Darda menengok kepada si penanya dan berkata, “Saya tidak mengatakan, Allah Ta’ala mengharamkan berniaga. Tetapi saya ingin menjadi pedagang, bila perdagangan dan jual beli tidak menganggu saya untuk dzikrullah (berzikir).”

Abu Darda tidak meninggalkan perdagangan sama sekali. Dia hanya sekadar meninggalkan dunia dengan segala perhiasan dan kemegahannya. Baginya sudah cukup sesuap nasi sekadar untuk menguatkan badan, dan sehelai pakaian kasar untuk menutupi tubuh.

Pada suatu malam yang sangat dingin, suatu jamaah bermalam di rumahnya. Abu Darda menyuguhi mereka makanan hangat, tetapi tidak memberinya selimut. Ketika hendak tidur, mereka mempertanyakan selimut.

“Biarlah saya tanyakan kepada Abu Darda,” kata salah satu tamu kepada temannya.

Baca Juga: Hiruk Pikuk Istana di Mata Butje, Kisah dari 1 Oktober 1965

“Tidak perlu!” kata yang lain.

Tetapi, orang yang seorang itu menolak saran temannya yang tidak setuju. Dia terus pergi ke kamar Abu Darda. Sampai di muka pintu, dilihatnya Abu Darda berbaring, dan istrinya duduk di sampingnya. Mereka berdua hanya memakai pakaian tipis yang tidak mungkin melindungi mereka dari kedinginan.

“Saya melihat Anda sama dengan kami, tengah malam sedingin ini tanpa selimut. Ke mana saja kekayaan dan harta benda Anda?” tanya tamunya kepada Abu Darda.

“Kami mempunyai rumah di kampung sana. Harta benda kami langsung kami kirimkan ke sana setiap kami peroleh. Seandainya masih ada yang tinggal di sini (berupa selimut), tentu sudah kami berikan kepada tuan-tuan. Di samping itu, jalan ke rumah kami yang baru itu sulit dan mendaki. Karena itu, membawa barang seringan mungkin lebih baik daripada membawa barang yang berat-berat. Kami memang sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa.”

Baca Juga: Inspirasi Sukses, Kisah Dul dari Rimbo Bujang Merintis Bisnis Cincau

Kemudian Abu Darda bertanya kepada orang itu, “Pahamkah Anda?”

“Ya, saya mengerti,” jawab tamu itu. (P09/R2).

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Radin Inten II Sang Elang dari Lampung, Pejuang Tak Kenal Takut

 

 

 

Rekomendasi untuk Anda