DALAM lorong-lorong gelap dan sunyi di bawah tanah Gaza yang diblokade, tersimpan kisah kemanusiaan yang mengguncang nurani. Ketika dunia membisu atas penderitaan rakyat Palestina, para pejuang Gaza tetap menunjukkan jiwa besar yang luar biasa.
Mereka membagi sesuap makanan kepada para sandera Israel, meskipun mereka sendiri tak tahu apakah esok akan bisa makan atau tidak.
Brigade Izzuddin Al-Qassam, sayap militer dari Gerakan Perlawanan Islam (Hamas), baru-baru ini menayangkan rekaman seorang tawanan Israel dalam keadaan kurus dan lemah. Rekaman itu memperlihatkan betapa kelaparan tidak pandang bulu: rakyat Gaza dan para tawanan yang mereka tahan merasakan penderitaan yang sama, akibat blokade dan serangan brutal dari penjajah Zionis Israel.
Dalam rekaman itu, seorang tawanan bernama Abitar David terlihat dalam kondisi sangat berbeda dibanding saat pertama kali ditahan. Wajahnya pucat, tubuhnya ringkih, tetapi ia tetap duduk dengan tenang menyaksikan kilasan momen pembebasan rekan-rekannya dalam pertukaran tawanan yang lalu. Semua dalam diam yang menyayat hati, seolah mewakili kesunyian panjang yang harus ia hadapi jauh dari keluarganya.
Baca Juga: Pejuang Palestina Rilis Rekaman Serangan terhadap Pasukan Israel
Satu adegan menunjukkan sang tawanan hanya bisa memandangi sebuah meja kecil bertuliskan jumlah hari yang telah ia lalui dalam penahanan. Tak ada kata. Tak ada keluhan. Hanya angka yang terus bertambah, pertanda waktu yang berlalu dalam keterasingan dari dunia luar. Namun di balik penderitaan itu, terdapat pesan mendalam tentang perlakuan manusiawi yang masih dipegang oleh para pejuang Gaza.
“Mereka makan apa yang kita makan, dan minum apa yang kita minum.” Kalimat penutup dalam video itu bukan sekadar narasi, melainkan pernyataan sikap. Sebuah deklarasi diam-diam bahwa meskipun Gaza terkepung dan kelaparan merajalela, prinsip kemanusiaan tidak pernah mereka tanggalkan. Bahkan terhadap mereka yang dahulu datang untuk memerangi.
Kontras antara gambar tawanan yang sedang meminum air dan anak-anak Palestina yang kekurangan susu bayi begitu menyayat. Penderitaan yang tak terlukiskan menyelimuti keduanya, namun hanya satu pihak yang tetap bersikeras menjaga nilai kemanusiaan di tengah kekacauan dan kehancuran.
Rekaman itu juga disertai kutipan dari pejabat tinggi Israel, seperti Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir yang tanpa ampun berkata, “Yang seharusnya dikirim ke Gaza adalah bom.” Sementara Perdana Menteri Netanyahu memilih meminimalkan bantuan kemanusiaan sebagai strategi militer.
Baca Juga: Media Iran Laporkan Kota-Kota Israel Dilanda Kebakaran dan Ledakan Listrik
Apa yang diperlihatkan dalam rekaman itu bukan hanya gambaran kondisi tawanan, tetapi juga representasi penderitaan kolektif rakyat Gaza. Kekurangan makanan, air bersih, obat-obatan, dan tempat tinggal yang layak telah menjadi keseharian mereka. Namun dari reruntuhan dan kesempitan itu, mereka masih mampu memikirkan kebutuhan sesama, termasuk musuh yang ditawan.
Pejuang Gaza, dalam segala keterbatasannya telah memberikan pelajaran agung tentang etika perang dan kemanusiaan. Di saat kekuatan dunia menggunakan senjata untuk membungkam, mereka membalas dengan roti dan air untuk menegaskan nilai luhur yang mereka junjung.
Kemurahan hati mereka bukan karena memiliki berlebih, tapi karena kekuatan iman dan harga diri yang tak bisa dibeli. Mereka menunjukkan bahwa bahkan dalam kondisi perang yang tidak adil, masih ada ruang untuk perikemanusiaan dan belas kasih. Dan justru dari pihak yang dizalimi itulah cahaya kemanusiaan itu muncul paling terang.
Sementara para pemimpin Israel bersikeras pada jalur militer dan mengabaikan permintaan keluarga para sandera, para pejuang Gaza tetap teguh dengan prinsip: hanya kesepakatan yang adil dan menyeluruh yang akan membawa pembebasan. Mereka tak meminta lebih dari sekadar keadilan dan kebebasan yang telah dirampas puluhan tahun lamanya.
Baca Juga: Dalam Dua Hari, Tentara Israel Bunuh 100 Warga Gaza Pencari Bantuan Kemanusiaan
Bagi dunia yang menyaksikan, ini seharusnya menjadi momentum untuk merefleksi ulang: siapa sebenarnya yang lebih manusiawi dalam peperangan ini? Siapa yang benar-benar memperjuangkan keadilan dan siapa yang menyebarkan kebencian atas nama keamanan?
Dalam hiruk pikuk informasi dan manipulasi narasi, sering kali yang luput adalah sisi kemanusiaan dari para pejuang yang kerap dicap teroris. Namun dari Gaza yang terkepung dan dilanda kelaparan, mereka justru memperlihatkan laku hidup para pejuang sejati yang menempatkan nilai-nilai Islam dan kemanusiaan di atas segalanya.
Kisah ini membuka hati yang tertutup, menggetarkan nurani yang beku, dan membangkitkan solidaritas umat Islam serta seluruh pencinta keadilan di dunia.
Gaza mungkin dikepung, tapi hati mereka lapang. Dan dari kelapangan itulah kita belajar, bahwa kekuatan sejati bukan pada senjata, tapi pada kemurahan hati di saat sempit. []
Baca Juga: Tiga Warga Gaza Syahid Akibat Kelaparan Dalam 24 Jam Terakhir
Mi’raj News Agency (MINA)