Pelajaran dari Pilkada Jakarta dan Aceh

Azwir Nazar. (PPI Turki)

Azwir Nazar, alumnus Komunikasi Politik UI sedang kuliah Doktoral di Hacettepe University, Ankara

Indonesia sebagai negara mayoritas muslim dan demokrasi terbesar ketiga di dunia baru saja menyelenggarakan Pilkada serentak di 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota pada 15 February 2017. Ketujuh provinsi tersebut yaitu Aceh, Bangka Belitung, , Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat.

Aceh merupakan daerah yang paling banyak menggelar pilkada pada 2017, yakni satu pemilihan gubernur dan 20 pemilihan bupati dan wali kota.

Sementara Pilkada Jakarta menjadi pergelaran paling sexy dan pusat perhatian. Kasus penistaan agama yang melilit calon petahana Ahok-Djarot telah menyulut energi besar bangsa hingga berujung aksi bela Islam I, II, dan III di Ibukota Jakarta. Disisi lain kemunculan paslon Agus Yudhoyono yang di usung Demokrat, PAN, dan PPP dengan meninggalkan dunia militer dinilai sebagai pertaruhan berani yang menyita perhatian publik.

Banyak pendapat muncul sesungguhnya Pilkada Jakarta menjadi pertarungan dan gengsi antara Megawati yang menyokong Ahok-Djarot, Prabowo yang berada di balik Anies-Sandi, serta SBY yang mengorbankan karir putra sulungnya sebagai paslon ber pasangan dengan Silvy.

Keputusan politik ketiga tokoh tersebut telah mempengaruhi berbagai konstelasi politik tanah air kekinian. Tak sampai disitu, malah berujung dan merembes ke ranah hukum, saling tuding hingga curhat di media sosial. Catatan peristiwa para paslon, dan partai pendukung tersebut hari ini, Rabu (15/2) mencapai klimaksnya disertai dengan pemungutan suara.

Sejumlah hasil yang dirilis lembaga survey menunjukkan Agus Yudhoyono bertengger di urutan ketiga dengan peròlehan sekitar 16-17 persen suara. Sementara kubu Ahok-Djarot dan Anies-Sandi dipastikan melaju keputaran kedua usai mengantongi masing masing 41-42 persen dan 39-40 persen suara.

Dengan demikian, Agus-Silvy dipastikan tersingkir. Sisi menarik yang sempat viral justru konferensi pers yang digelar kubu Agus-Silvy yang dipuji sebagai sikap ksatria yang secara terbuka mengakui kekalahan.

Tak lama berselang, paslon Walikota Banda Aceh Iliza-Farid juga mengikuti jejak Agus-Silvy dengan mengakui kemenangan untuk lawan politiknya melalui akun media sosial secara resmi. Sebuah tradisi dan pelajaran demokrasi dari dua ibukota yang berharga. Walau di berbagai daerah lain klaim kemenangan antar pasangan dan tim sukses tak terelakkan.

Memang Pilkada demokratis sekalipun tak dapat menjamin dan berkorelasi langsung dengan kesejahteraan rakyat. Namun demokrasi saat ini dipercayai menjadi jalan dan pilihan terbaik dalam dunia modern untuk memilih pemimpin dalam mensejahterakan rakyat. Meski obsesi demokrasi sendiri terlalu tinggi dan cenderung mengangkangi hati nurani.

Hanya pemimpin yang amanah, takut pada Tuhan, memiliki track record bagus yang dapat diharapkan tutur kata, janji kampanye dapat sesuai dengan aksi nyata tatkala menjadi pemimpin. Maka sepatutnya sebagai rakyat untuk tetap mengawal kepemimpinan tersebut dengan terus menjalin persaudaraan dan menjaga persatuan. Walau pilihan politik dapat berbeda satu sama lain.

Seringkali kisruh politik yang terjadi menjelang Pilkada atau pemilu pemicu dan pelopor utamanya adalah para elit yang berusaha menyendera demokrasi. Alih alih demi kepentingan rakyat, para politisi busuk seringkali melakukan politic game untuk merebut kekuasaan. Tak tanggung tanggung mereka akan mengorbankan rakyat demi pemenuhan birahi politiknya.

Bagi masyarakat pemilih, menebar kebencian, berita hoax, fitnah, kebohongan hanya merugikan diri sendiri. Dalam politik, tiap langkah, strategi hingga memilih pasangan akan sangat mempengaruhi hasil. Ceruk pasar yang digarap antar satu kandidat terdapat strategi dan skenario yang berbeda. Hanya pemilih yang rasional yang tak mudah terkecoh dan tertipu.

Seyogyanya di tiap pergulatan Pilkada atau pemilu masyarakat pemilih dapat memetik hikmah dan pelajaran sebagai pendidikan politik. Bagaimanapun pemimpin yang akan hadir merupakan “mirror” masyarakatnya. Rekam jejaknya dapat ditelusuri baik berupa integritas, moral maupun komitmennya sebagai pemimpin. Disini tantanganya bagaimana mimpi bersama yang baik ditransformasikan dengan cara baik, komunikasi yang elegan serta efektif hingga hasilnya akan baik pula. Seperti kata Presiden Jokowi sudah seharusnya pesta itu kita bersenang senang dan bahagia. Inilah Pilkada sebagai ruang demokrasi dan pesta rakyat.

Pelajaran Dua Ibukota

Agus sebagai pendatang baru dalam dunia politik telah menginvestasikan dirinya untuk masa depan politik Indonesia. Dalam pidato politik kekalahannya di Wisma Proklamasi (15/2), dia menyebut generasi muda dan Indonesia emas 2045. Ada tatapan dan harapan di masa depan yang ingin dia sasar di hadapan. Tentu dengan tiket kendaraan politik yang dia miliki sebagai putra pendiri Demokrat bukan tidak mungkin pada Pileg 2019 akan dapat berbuat lebih banyak.

Sementara bagi Jakarta yang patut kita tunggu dalam dua bulan kedepan manuver Amien Rais cs sebagai sejawat sepadan Megawati, Prabowo maupun SBY beserta partai pendukung Agus. Benarkah isu ‘islam’ yang selama ini masif dibangun dan dikendarai oleh para politisi yang sengaja mengambil keuntungan dari aksi umat Islam soal penegakan hukum bagi Ahok, atau justru akan menampakkan wajah asli ambisi politik untuk meraup keuntungan kelompok. Pilkada putaran kedua Jakarta dia bulan mendatang akan menjadi pertaruhan sikap dan konsistensi partai pendukung kandidat.

Sekali lagi, dalam pandangan dan kalkulasi para elit semua bisa terjadi. Berulang kali praktik demikian bagi mereka sudah lumrah sebab tak ada musuh abadi, yang ada hanya kepentingan. Bila ‘sihir’ dan rayuan Megawati lebih menggiurkan tak mustahil ada partai pendukung Agus yang kemarin mencerca habis Ahok-Djarot akan berubah haluan menjadi pembela Ahok pada putaran kedua.

Sementara kekalahan paslon Walikota Banda Aceh sebagai jawaban dari gagalnya petahana memenuhi kebutuhan riil warga kota terutama persoalan air bersih yang kerap dikeluhkan. Disamping dalam berbagai Pilkada masyarakat pemilih selalu menginginkan pasangan baru lahir untuk memimpin. Adapun isu agama dan pemimpin perempuan bagi masyarakat yang memilih dengan pendekatan psikologis serta sosiologis sedikit banyak masih mempengaruhi pilkada di Banda Aceh. Walau di kedua Ibukota pemilih dengan pendekatan rasional jauh lebih banyak dan signifikan.

Yang pasti baik Agus-Silvy di Jakarta maupun Iliza-Farid di Banda Aceh telah memberi pelajaran berharga bagi kita semua. Secara cepat dan terbuka dengan mengakui kekalahannya dan mengucapkan selamat bagi lawan politik telah memberi dampak positif bagi masyarakat pemilih. Hal yang jarang kita saksikan belakangan terjadi di tanah air. Semoga semakin dewasanya dua paslon tersebut dan menginspirasi paslon lain untuk belajar menjadi negarawan sejati yang pada akhirnya akan mendatangkan ketentraman dan kesejahteraan bagi masyarakat pemilih. (R01/P02)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.