Jakarta, MINA – Kepala Organisasi Riset Energi dan Manufaktur (OREM) BRIN, Haznan Abimanyu menyampaikan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Merah putih yang berada di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang di Bekasi, Jawa Barat, menjadi PLTSa pertama di Indonesia yang beroperasi secara kontinyu.
Menurutnya, PLTSa yang di desain, konstruksi, pengoperasian oleh putra putri Indonesia.
“Performance hingga saat ini masih bagus ditandai dengan parameter-parameter desain masih terpenuhi,” ujar Hamzah dalam keterangan tertulisnya, Selasa (21/2)..
Hal itu dibuktikan dengan emisi yang masih di bawah baku mutu yang ditetapkan KLHK untuk pembakaran sampah.
Baca Juga: Peringatan Dini BMKG: Potensi Cuaca Buruk di Jakarta, Sebagian Diguyur Hujan
Dia menyampaikan, sampai saat ini PLTSa ini masih menjadi tempat untuk studi banding dari pemda lain, tempat belajar bagi mahasiswa magang, kuliah lapangan sampai dengan masyarakat DKI untuk melihat dari dekat proses pengolahan sampah secara terintegrasi.
“PLTSa utamanya adalah untuk memusnahkan sampah yang sudah tidak dapat dimanfaatkan, secara cepat dan ramah lingkungan dan Energi listrik yang terjadi merupakan bonus,” kata Hamzah.
Dia menjelaskan, PLTSa dibangun sejak 2018 dan selesai pada 2019. Pada 2019 dilakukan commissioning dan diresmikan oleh Menko Maritim Luhut B Panjaitan.
Pada 2020 sampai dengan 2022 PLTSa dioperasikan oleh DKI Jakarta cq Dinas Lingkungan Hidup dengan didampingi oleh BRIN. Jadi artinya sampai saat ini, PLTSa beroperasi sudah empat tahun lebih.
Baca Juga: 73 Kapal Bantu Korban Terdampak Erupsi Lewotobi Keluar dari Labuan Bajo
PLTSa merupakan teknologi proses termal yang dapat memusnahkan sampah secara cepat, signifikan dan ramah lingkungan serta memiliki manfaat lain dari hasil treatment di PLTSa.
Sementara TPST Bantargebang merupakan TPA milik DKI Jakarta yang berada di Kota Bekasi, Jawa Barat. TPA ini merupakan yang terbesar di Asia Tenggara, bahkan salah satu yang terbesar di dunia.
TPST Bantargebang berdiri sejak 1985 merupakan tempat pengolahan akhir sampah penduduk DKI Jakarta. Setiap hari ada lebih dari 7.500 ton sampah dibuang ke sana.
Dengan jumlah itu, diperkirakan satu orang penduduk di Jakarta menghasilkan sampah hingga 0,7 kilogram dari total penduduk DKI mencapai sekitar 11 juta jiwa.
Baca Juga: Pemerintah Berencana Bangun Sekolah Khusus Korban Kekerasan Seksual
Sebanyak 50 persen di antaranya atau sekitar 3.750 ton sampah adalah sisa makanan. Ribuan ton sampah itu setiap harinya dikirim ke TTPST Bantargebang, menggunakan 1.200 truk sampah.
“Performance hingga saat ini masih bagus ditandai dengan parameter-parameter desain masih terpenuhi,” tandasnya.
Hal itu dibuktikan dengan emisi yang masih di bawah baku mutu yang ditetapkan KLHK untuk pembakaran sampah.
Selain itu, ia menekankan PLTSa yang dipakai yang berbahan bakar sampah tidak dipilah, sangat sulit untuk menghasilkan listrik secara optimal.
Baca Juga: Respons Bahlil Usai Gelar Doktornya Ditangguhkan UI
“PLTSa yang dibangun ini adalah fasilitas untuk membakar sampah kering yang sudah dipilah,” tuturnya.
Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan menurutnya adalah mengedukasi dan menegakkan peraturan agar masyarakat memilah sampah menjadi lima bagian: sampah organik, sampah bisa didaur ulang, sampah plastik, sampah mudah terbakar nonplastik, dan sampah residu.
PLTSa ini dimanfaatkan untuk mengolah sampah mudah terbakar non-plastik.
“PLTSa di Bantargebang sudah berhasil, tapi belum optimal. PLTSa tersebut masih skala pilot plant skala kecil. Agar lebih optimal maka perlu dibangun skala besar, dan yang tak kalah penting juga masyarakat harus dilibatkan untuk melakukan memilah sampah,” imbuhya.
Baca Juga: Universitas Indonesia Tangguhkan Gelar Doktor Bahlil Lahadalia
Hamzah menjelaskan, sampah yang tercampur dengan sampah organik yang basah, sangat sulit untuk dibakar dan menghasilkan listrik. Sampah organik ini dapat dijadikan makanan maggot, dan maggot bisa dimanfaatkan untuk makanan ayam dan lele.
Menurutnya, PLTSa Bantargebang dapat diterapkan di setiap kota, yang menerapkan strategi pilah sampah. Tanpa itu, ia menegaskan, PLTSa di manapun di Indonesia sangat sulit dikembangkan secara ekonomis.
“Alam Indonesia yang berada di daerah tropis kondisinya bercurah hujan tinggi dan kelembaban tinggi, membuat sampah-sampah di Indonesia berinilai kalor rendah. Hal ini berbeda dengan sampah-sampah dari negera sub tropis yang bercurah rendah dan kelembaban yang rendah,” pungkasnya.
Selain teknologi dalam PLTSa, BRIN mengembangkan Strategy Integrated City Waste Management.(R/R1/P1)
Baca Juga: Warga Pesantren Al-Fatah Sambut Kedatangan Relawan Gaza
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: MER-C Apresiasi Pesantren Al-Fatah atas Kerja Sama dalam Misi Gaza