Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA
Sabra dan Shatila adalah salah satu pembantaian paling mengerikan yang dilakukan dalam krisis Lebanon, konflik yang dikenal karena kebrutalannya.
Shatila, adalah sebuah kamp pengungsi Palestina, dan lingkungan Sabra yang berdekatan terletak di barat daya Ibu Kota Lebanon, Beirut.
Para pengungsi adalah korban dari Nakba 1948, atau “bencana” dalam bahasa Arab. Mereka, melarikan diri dari pembersihan etnis kekerasan di Palestina oleh rezim Zionis saat dibentuknya Israel.
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
Namun, antara 16 dan 18 September 1982 itu, para pengungsi, yang menetap di Shatila dan Sabra, bersama dengan warga sipil Lebanon, diserang oleh milisi Lebanon sayap kanan, berkoordinasi dengan tentara Israel. Kala itu, sekitar 2.000 dan 3.500 orang tewas.
Apa yang terjadi?
Pada bulan Juni 1982, Israel menginvasi Lebanon selama Perang Saudara 15 tahun di negara itu (1975-1990), dengan tujuan menghancurkan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang berbasis di Beirut dan meluncurkan serangan terhadap Israel dari Lebanon selatan.
Lalu, PLO menarik diri dari Lebanon pada 1 September 1982. Jaminan diberikan oleh Amerika Serikat dan pasukan multinasional bahwa pengungsi Palestina dan warga sipil yang tersisa akan dilindungi.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Dua pekan kemudian, militer Israel mengepung Sabra dan Shatila dan memberikan perlindungan bagi sekutu mereka, milisi sayap kanan Lebanon yang disebut Phalange, untuk melakukan pembunuhan massal.
Pembunuhan berlanjut selama 43 jam, dari jam 6 sore pada hari Kamis, 16 September, hingga jam 1 siang pada hari Sabtu, 18 September.
Sementara, angka akurat tentang jumlah orang yang tewas sulit dipastikan, perkiraan menyebutkan jumlah korban tewas antara 2.000-3.500 warga sipil.
Kesaksian dari pembunuhan massal menggambarkan tindakan mengerikan pembantaian, mutilasi, pemerkosaan dan kuburan massal. Gambar dari setelahnya ditayangkan di televisi di seluruh dunia dan menyebabkan kemarahan global.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Apa yang menyebabkan itu?
Lebih dari 100.000 warga Palestina, sebagian besar dari wilayah utara Palestina yang bersejarah, diusir dan melarikan diri ke Lebanon selama Nakba 1948.
PLO, payung partai politik Palestina yang dibentuk pada tahun 1964 dengan tujuan membebaskan Palestina melalui perjuangan bersenjata, memindahkan basis operasinya ke Beirut setelah didorong keluar dari Yordania pada tahun 1970.
Pada tahun 1969 perjanjian yang ditengahi Mesir antara PLO dan Tentara Lebanon, komando perjuangan bersenjata PLO mengambil alih kendali atas 16 kamp pengungsi Palestina di Lebanon, memungkinkannya untuk melakukan operasi di Israel dari Lebanon selatan.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Akhirnya, perang saudara Lebanon pecah pada tahun 1975 terutama antara Front Lebanon (LF) – koalisi sayap kanan Kristen Maronit partai yang didukung oleh Israel dan Amerika Serikat-dan Gerakan Nasional Lebanon (LNM), koalisi sekuler kiri, Pan – Arab Sunni dan Syiah Muslim, dan PLO. Suriah juga ikut menyerang kala itu.
Pasukan Israel, yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan saat itu Ariel Sharon, menginvasi Lebanon pada Juni 1982, mengepung Beirut dan membombardir kota itu, tempat markas PLO berada.
Pasukan multinasional yang tiba setelah penarikan PLO dari Beirut pada 1 September seharusnya tinggal selama 30 hari. Namun, mereka mundur lebih awal, pada 10 September.
Pada 14 September 1982, Bashir Gemayel, Presiden terpilih Lebanon dan pemimpin Pasukan Lebanon, dibunuh di Beirut oleh orang tak dikenal.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Keesokan paginya, Israel menginvasi Beirut Barat dan mencegah siapa pun keluar dari kamp-kamp pengungsi. Pasukan Israel kemudian mengizinkan Phalange, yang menyalahkan PLO atas kematian Gemayel, untuk memasuki Sabra dan Shatila dan melakukan pembantaian.
Apa yang terjadi selanjutnya?
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi yang menyatakan pembantaian itu sebagai “tindakan genosida”.
PLO lalu memindahkan kantor pusatnya ke Tunisia sebelum Perjanjian Oslo 1993 ditandatangani dengan Israel dan Otoritas Palestina (PA) dibentuk.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Pembantaian Sabra dan Shatila dikenang sebagai salah satu peristiwa paling traumatis dalam sejarah Palestina dan untuk mengingatnya diperingati setiap tahun oleh orang-orang Palestina di Lebanon dan di Palestina.
Acara ini terus menyoroti penderitaan pengungsi Palestina di Lebanon sampai hari ini, yang sekarang berjumlah 479.000, menurut PBB.
Sekitar 45 persen dari mereka tinggal di 12 kamp pengungsi di negara itu, yang menderita kepadatan penduduk, kondisi perumahan yang buruk, pengangguran, kemiskinan dan kurangnya akses ke layanan kesehatan, termasuk bantuan hukum.
Warga Palestina di Lebanon dilarang bekerja di 39 profesi, tidak diperkenankan memiliki properti, dan menghadapi banyak pembatasan lainnya.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Siapa yang bertanggung jawab?
Tidak satu pun pejuang atau pejabat Lebanon atau Israel dihukum atas kejahatan yang dilakukan.
Penyelidikan Israel mengatakan milisi pasukan Lebanon secara langsung bertanggung jawab atas pembantaian itu tetapi juga meminta Sharon “bertanggung jawab secara pribadi karena mengabaikan bahaya pertumpahan darah dan balas dendam” dan merekomendasikan pengunduran dirinya.
Sharon mengundurkan diri dari jabatannya pada 14 Februari 1983, tetapi terpilih lagi sebagai Perdana Menteri pada tahun 2001.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Pada bulan Februari 1983, Komisi PBB menemukan bahwa “otoritas atau pasukan Israel terlibat, secara langsung atau tidak langsung dalam Pembantaian [Sabra dan Shatila]”.
Pada tahun 2002, Pengadilan Belgia menolak kasus yang diajukan oleh puluhan orang yang selamat dari Sabra dan Shatila terhadap Sharon atas dasar bahwa dia tidak hadir di pengadilan, meskipun ada undang-undang tahun 1993 yang mengizinkan Belgia mengadili orang asing atas kejahatan perang yang dilakukan di luar negeri.(T/RS3/P2)
Sumber: Al Jazeera
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara