SULTAN ABDUL HAMID II merupakan salah satu dari Pemimpin Turki Utsmaniyah (Ottoman) yang dikenal dalam menjaga warisan umat Islam, tanah Palestina. Ia bisa disebut sebagai benteng terakhir Turki Utsmani dalam upaya menjaga persatuan dunia Islam.
Sultan Abdul Hamid II dilahirkan di Istanbul Turki, pada tanggal 21 September 1842 (meninggal 10 Februari 1918). Nama lengkapnya adalah Abdul Hamid bin Abdul Majid bin Mahmud bin Abdul Hamid bin Ahmad. Ayahnya adalah Sultan Abdul Madjid. Ibunya meninggal saat Sultan Abdul Hamid II masih berusia tujuh tahun. Selepas kepergian ibunya, Abdul Hamid kecil diasuh ibu tirinya.
Di lingkungan tempat tinggalnya, Abdul Hamid kecil dianggap sebagai anak yang lemah dan sering jatuh sakit. Namun dirinya cerdas dan senang mempelajari segala macam disiplin ilmu.
Di bawah didikan ayahnya langsung, ia tumbuh menjadi remaja yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata.
Baca Juga: Investasi Abadi: Menabung Kebaikan, Menuai Surga
Ia sudah mampu menguasai sai berbagai bahasa pada usia muda. Di sisi lain, ia dikenal senang membaca dan bersyair.
Sultan Abdul Hamid II dikenal sebagai sosok yang sangat cerdas dan peduli sesama. Ia menjadi Khalifah Turki Utsmani menggantikan pamannya, Abdul Aziz, yang bergelar Murad VI pada tahun 1876.
Selama pemerintahan, sejumlah capaian-capaian diraih Sultan Abdul Hamid II, seperti membangun universitas, akademi seni rupa, sekolah keuangan dan pertanian. Selain itu, ia membuka banyak sekolah dasar, sekolah menengah atas, sekolah untuk kaum difabel, juga membangun Rumah Sakit Sisli Etfal dengan uangnya sendiri. Dia juga memprakarsai pembangunan jembatan di dua tepi selat Bosphorus serta rel kereta api.
Sultan Abdul Hamid II menekankan tentang pentingnya melakukan gerakan menumbuhkan kembali nilai ukhuwah Islamiah di antara kaum Muslim di dunia, baik Cina, India, Arab, Afrika, dan tempat-tempat lain. Sultan Abdul Hamid II menegaskan keyakinannya tentang kemungkinan lahirnya kesatuan dunia Islam.
Baca Juga: Ayo Ramaikan IIBF 2025, Surga Buku dan Inspirasi dari Berbagai Negara
Ia mengatakan, umat Islam wajib memperkuat ikatan persaudaraan di belahan bumi lain. Satu dan lainnya wajib saling mendekat dan merapat dalam intensitas yang sangat kuat. Tidak ada harapan lagi untuk kebangkitan dan kejayaan di masa depan kecuali dengan persatuan umat Islam.
Kepemimpinan Sultan Abdul Hamid II menghadapi tentangan kuat dari kaum Zionis Yahudi yang berusaha keras menembus dinding Kesultanan Turki Utsmani, agar mereka dapat memasuki kawasan Palestina, tempat Masjidil Aqsa berdiri.
Langkah-langkah Zionis Yahudi dalam menembus dinding Kesultanan Turki Utsmani, antara lain:
Pertama, pada tahun 1892, sekelompok Yahudi Rusia mengajukan permohonan kepada Sultan Abdul Hamid II, untuk mendapatkan izin tinggal di Palestina. Permohonan itu dijawab Sultan dengan ucapan, ”Kesultanan Utsmaniyyah memberitahukan kepada segenap kaum Yahudi yang ingin hijrah ke Turki, bahwa mereka tidak akan diizinkan menetap di Palestina”.
Baca Juga: Harapan Sekjen PBB: Pilih Perdamaian dan Kerja Sama daripada Kekacauan
Kedua, Theodor Hertzl, Bapak Zionis Internasional dan penggagas berdirinya Negara Yahudi, pada tahun 1896 memberanikan diri menemui langsung Sultan Abdul Hamid II sambil meminta izin mendirikan bangunan di kawasan Kota Al-Quds (Yerusalem).
Permohonan itu pun dijawab Sultan, ”Sesungguhnya Daulah Utsmaniyah ini adalah milik rakyatnya. Mereka tidak akan menyetujui permintaan itu. Sebab itu simpanlah kekayaan kalian itu dalam kantong kalian sendiri”.
Ketiga, mereka kemudian mengadakan Konferensi Zionis I di Basel, Swiss, pada tanggal 29-31 Agustus 1897 untuk merumuskan strategi baru menghancurkan Khilafah Utsmaniyyah.
Menghadapi gencarnya aktivitas Zionis Yahudi, Sultan Abdul Hamid II pada 1900 mengeluarkan keputusan pelarangan atas rombongan peziarah Yahudi ke Palestina untuk tinggal di sana lebih dari tiga bulan, dan paspor Yahudi harus diserahkan kepada petugas Turki Utsmani. Berikutnya, tahun 1901 Sultan mengeluarkan keputusan mengharamkan penjualan tanah kepada Yahudi di Palestina.
Baca Juga: Surat Terbuka untuk Presiden Prabowo Subianto: Jangan Pernah Akui Kedaulatan Zionis Israel
Keempat, pada tahun 1902, Theodore Hertzl kembali menghadap Sultan Abdul Hamid II. Kedatangannya kali ini untuk menyuap sang pemimpin Utsmani tersebut. Di antara sogokan yang disodorkan Hertzl adalah: uang sebesar 150 juta poundsterling khusus untuk pribadi Sultan, melunasi semua hutang pemerintah Utsmaniyyah yang mencapai 33 juta poundsterling, membangun kapal induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta frank, memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga, serta membangunkan Universitas Utsmaniyyah di Palestina.
Namun, kesemuanya ditolak Sultan. Sultan tetap teguh dengan pendiriannya untuk melindungi tanah Palestina dari kaum Yahudi. Bahkan Sultan tidak mau menemui Hertzl, dan hanya diwakilkan kepada salah satu menterinya Tahsin Basya.
Abdul Hamid II hanya menitipkan pesan, ”Katakan kepada Hertzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam (fahiya laysat milku yamiinii, bal milkul ummatul islamiyyah). Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka.”
Sultan juga mengatakan, ”Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika suatu saat kekhilafahan Turki Utsmani runtuh, kemungkinan besar mereka akan bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.”
Baca Juga: Mengukur Realitas Solusi Dua Negara Palestina-Israel
Kelima, inilah strategi akhir Zionis, yaitu mereka memasukkan gerakan Zionismenya dengan melancarkan gerakan untuk menumbangkan Sultan. Dengan menggunakan jargon-jargon kebebasan, kemerdekaan, dan menyebut Abdul Hamid II sebagai absolut.
Tidak bisa berhadapan satu lawan satu, maka dicarilah celah dari dalam Turki sendiri. Salah satunya, menurut sejawaran adalah memasukkan nama Musthafa Kemal Pasha yang dikader di komunitas Yahudi Dunama.
Freemasonry, organisasi Zionis Internasional, ikut andil meruntuhkan daulah Turki Ustmani. Gerakan ini antara lain menjalin hubungan yang sangat kuat dengan organisasi Turki Ittihat ve Terrakki (al-Ittihad wa at-Taraqqi atau persatuan dan kemajuan) yang berkembang sangat pesat di Salonika, Yunani, bagian dari Turki, tempat kelahiran Musthafa Kemal.
Di sinilah Musthafa bersama anggota-anggota komite persatuan dan kemajuan, yang dikenal sebagai kelompok Turki Muda (young Turks), yang diketahui sangat dekat dengan militer, menjalankan roda organisasi. Rata-rata anggota kelompok ini adalah orang-orang Yahudi dari Cryto Jews Salonika. Mereka mendapatkan dukungan finansial dari orang-orang Dunama, yaitu sekelompok Yahudi yang masuk Islam, namun secara diam-diam tetap mempertahankan keyahudian mereka.
Baca Juga: Ketika Para Pemimpin Dunia Berbicara tentang Palestina di PBB
Secara bertahap, tahun 1908, Turki Muda yang berpusat di Salonika, pusat komunitas Yahudi Dunamah, melakukan pemberontakan. Gerakan pemberontakan itu didukung Inggris dan Prancis. Hingga kemudian tanggal 18 Juni 1913, pemuda-pemuda Arab mengadakan kongres di Paris dan mengumumkan Gerakan Nasionalisme Arab.
Perang Dunia I tahun 1914 dimanfaatkan oleh Inggris untuk menyerang Istanbul, dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah, kampanye Dardanelles yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kemal Pasha, yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan dalam Perang Ana Forta, tahun 1915.
Sejarah kemudian mencatat, Kemal Pasha, akhirnya menjalankan agenda Inggris, melakukan revolusi untuk menghancurkan Turki Utsmani. Hal itu diawali dengan perjanjian yang melahirkan “Persyaratan Curzon” pada 21 November 1923. Isinya, Turki harus menghapuskan khilafah Islamiyah, mengusir khalifah, dan menyita semua harta kekayaannya.
Persyaratan tersebut diterima oleh Mustafa Kemal atas nama gerakan pemuda turki dan dilakukan perjanjian yang ditandatangani pada 24 Juli 1923.
Baca Juga: Membungkam Suara Gaza: Serangan Israel terhadap Jurnalis sebagai Senjata Perang
Delapan bulan setelah itu, tepatnya 3 Maret 1924, Musthafa Kemal Pasha yang meniti karier melalui jalur militer dan organisasi, melalui Dewan Perwakilan Nasional mengumumkan pemecatan khalifah, pembubaran sistem khilafah, mengusir khalifah ke luar negeri, dan menjauhkan Islam dari negara.
Tanggal 23 Maret 1924, atau 92 tahun lalu, itu detik-detik terakhir keruntuhan sentral kepemimpinan Turki Usmaniyyah.
Palestina Terjajah
Sejak 1924 itulah, kaum Muslimin di dunia hidup tanpa naungan sentral kepemimpinan, hingga terpecah belah menjadi sekitar 60-an negara nasionalis, walau sebagian dengan sebutan negara Islam, tapi tidak ada ikatan satu sama lain dengan kesatuan Islam.
Baca Juga: Pacaran Bikin Gelisah, Nikah Mendatangkan Berkah
Adanya adalah ikatan nasionalisme, kebangsaan, masing-masing, sehingga kaum Muslimin di suatu negara begitu mudah umat Islam dihinakan, wilayahnya diduduki penjajah, darahnya ditumpahkan, kehormatannya dilecehkan, dan agamanya dinistakan. Tanpa sokongan berarti dari tetangganya sesama negeri Muslim.
Hingga yang terkini, negeri Syam termasuk di dalamnya adalah Palestina, menjadi satu-satunya negeri Muslim terjajah yang hampir tanpa perlawanan berarti dari seluruh negeri Muslimin.
Fakta membuktikan, negeri Palestina sampai kini masih dijajah oleh Zionis Israel. Darah tumpah setiap hari, anak-anak, orang-orang tua dan perempuan dibantai tiap jam, generasi muda dan tokoh-tokoh dipenjara tanpa kemanusiaan, serta Masjidil Aqsa kiblat pertama Muslimin dinodai, gerbangnya ditutup, Yahudi ekstermis bebas berkeliaran dengan pengawalan polisi, dan bahkan hendak dirobohkan secara terstruktur.
Nasib dunia Islam terbelah dan terpecah, tak kunjung usai, seperti: Irak, Afghanistan, Libya, Suriah, Yaman, dan lainnya.
Baca Juga: Semua Orang Sudah Muak dengan Perilaku Biadab Zionis Israel
Sementara kekayaan alamnya dieksploitasi untuk kepentingan Barat dan sekutunya. Lewat mekanisme utang luar negeri, mereka dijerat untuk tunduk kepada kepentingan kapitalisme Barat.
Pendidikan juga sama nasibnya. Pendidikan yang berlandaskan sekuler di negeri-negeri Islam telah mencetak generasi-generasi pemuda Islam yang jauh dari akar Islam. Pergaulan bebas, LGBT, narkoba, minuman keras menjadi bagian yang tak terpisahkan dari generasi muda saat ini. Di bidang pidana, tidak diterapkannya hukum-hukum Allah telah menyebabkan membengkaknya perkara-perkara kriminalitas seperti pemerkosaan, pelacuran, pembunuhan dan perampokan.
Kini, tentu menjadi tugas dan tanggung jawab kita semua umat Islam untuk mengembalikan kejayaan kaum Muslimin secara bersatu padu (berjama’ah). []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Suara dari Gaza: “Kami Manusia, Masih Layak Hidup”