Pembunuhan, Pria Bertopeng Misterius Teror Kamp Pengungsi Rohingya di Bangladesh

Pengungsi Muslim hidup tidak layak di kamp pengungsian . (Foto: dok. RVisiontv)

Ketika umat Muslim bergembira merayakan akhir Ramadan di penghujung bulan Juni lalu, Noor Ankis dan tetangganya menguburkan mayat suaminya di kamp pengungsian di Bangladesh tempat dia tinggal bertahun-tahun.

Jasad Mohammed Ayub – dalam keadaan tenggorokan terkoyak dan tangannya terikat di belakang punggungnya – ditemukan dibuang di sebuah sudut terpencil kamp pengungsi Muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar.

Ayub, yang berusia 30 tahun, adalah satu dari tiga pria Rohingya yang mayatnya ditemukan dalam beberapa pekan terakhir, Channel NewsAsia melaporkannya pada Jumat (14/7).

Para pekerja bantuan dan penduduk mengatakan bahwa insiden tersebut, bersamaan dengan insiden penusukan pemimpin masyarakat, meningkatkan jumlah kasus kekerasan terburuk di kamp itu sejak orang Rohingya melarikan diri dari Myanmar lebih dari seperempat abad yang lalu.

Pengungsi, yang jumlahnya telah membengkak sejak bentrokan akhir tahun lalu di Rakhine, Myanmar, juga melaporkan tentang orang-orang bertopeng berkeliaran di jalan-jalan gelap kedua kamp di Kutupalong saat malam hari.

Polisi Bangladesh dan pekerja bantuan mengatakan bahwa persaingan dalam mengendalikan pasokan ke kamp-kamp itu berada di balik kekerasan tersebut.

“Mereka memukul saya dan saudara perempuan saya dan menyeretnya keluar rumah,” kata Ankis kepada Reuters, saat anak-anaknya yang berusia 7 dan 3 tahun tidur dengannya di lantai yang baru disemen.

“Para penculik menghubungi saya via nomor teleponnya dan mengancam akan membunuh saya juga. Saya juga mendapat ancaman atas nama al-Yaqin.”

Dia merujuk pada kelompok militan Harakah al-Yaqin, atau ‘Gerakan Iman’, yang menyerang pos polisi perbatasan Myanmar pada Oktober. Penyerangan itu mendorong pasukan keamanan Myanmar melancarkan operasi militer masif yang diduga diikuti aksi pembunuhan dan pemerkosaan terhadap warga sipil Rohingya.

Polisi mengatakan tidak jelas apakah kelompok pemberontak tersebut, yang sekarang ingin dikenal sebagai Arakan Rohingya Salvation Army, terlibat dalam kekerasan di kamp-kamp itu atau apakah orang lain menunggangi namanya untuk mengintimidasi pengungsi.

Kelompok tersebut, yang pemimpinnya berbicara kepada Reuters dalam sebuah wawancara di bulan Maret, tidak menanggapi email yang berisi permintaan komentar.

Kesenjangan Sumber Daya

Lebih dari 75.000 orang Rohingya telah melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine, Miyanmar, ke Bangladesh dalam beberapa bulan terakhir, bergabung dengan puluhan ribu orang yang telah lebih dahulu menetap di sana.

Militer dan pemerintah Myanmar telah menolak hampir semua tuduhan kekejaman yang melibatan aparat keamanan mereka.

Sementara pemerintah mengumumkan berakhirnya operasi kontrapemberontakan pada bulan Februari, ketegangan di Myanmar telah meningkat lagi dalam beberapa hari terakhir setelah pejabat desa dibunuh dan tentara membunuh tiga orang saat menyisir sebuah kamp Rohingya.

Warga di kamp resmi dan darurat di Kutupalong, sekitar 400km tenggara Dhaka, ibu kota Bangladesh, telah membengkak menjadi sekitar 86.000, dari 49.000, sejak eksodus Oktober, menurut sebuah dokumen pemerintah Bangladesh yang dilihat oleh Reuters.

Hampir 14.000 pengungsi di kamp yang terdaftar menerima perawatan medis dan makanan dari Komisariat Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR), yang mayoritas tinggal di gubuk terbuat dari plastik dan lumpur di kamp darurat yang sempit.

“Selalu ada kesenjangan sumber daya dan itulah alasan mengapa selalu ada ketegangan antara pengungsi terdaftar dan orang-orang di luar,” kata Sanjukta Sahany, seorang pejabat senior Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) di Bangladesh yang ditugaskan untuk mengkoordinasikan upaya bantuan oleh berbagai badan PBB.

“Pascagelombang pengungsi situasi keamanan semakin memburuk,” kata dia.

Bencana topan dan banjir baru-baru ini telah menambah masalah pada pasokan bantuan yang terbatas dan memperburuk keadaan, kata sejumlah pekerja bantuan.

Shinji Kubo, pemimpin UNHCR di Bangladesh, mengatakan bahwa dia mendesak pemerintah setempat untuk mengizinkan lembaganya memperluas perannya melebihi dua kamp yang terdaftar di negara tersebut.

Teror Pria Bertopeng

Istri Ayub, Ankis, mengatakan bahwa suaminya terlibat dalam perselisihan yang sedang berlangsung dengan pengguna narkoba di kamp darurat di Kutupalong, menurut sebuah laporan polisi yang dilihat oleh Reuters.

“Dia diculik oleh sekelompok 20-25 pria menenteng golok yang mendatangi gubuk mereka pada malam 14 Juni,” kata polisi.

Tubuh Ayub diketemukan di tanah kosong berlumpur di antara dua bukit di Kutupalong pada tanggal 25 Juni. Mayat pria lain, Mohammed Selim, yang juga diculik pada bulan Juni, ditemukan di negara bagian yang sama dan di lokasi yang sama sepekan sebelumnya.

Tiga tersangka telah ditangkap sehubungan dengan penculikan dan pembunuhan Ayub, meskipun motifnya masih tidak jelas, kata perwira polisi senior Afruzul Haque Tutul.

Di kamp, ​​para pengungsi tetap khawatir dan takut dengan pria bertopeng misterius yang dilaporkan masih berkeliaran atau lalu-lalang di malam hari.

“Saya sedang tidur dengan kedua anak dan istri saya ketika tiba-tiba mendengar mereka memanggil-manggil nama saya,” kata seorang pengungsi berusia 30 tahun yang berstatus terdaftar.

Ia mengaku dua kali didekati oleh sekelompok pria yang terdiri dari 10-12 orang, meskipun dia tidak membuka pintu gubuknya. “Satu jam mereka menunggu di luar rumah adalah satu jam terpanjang dalam hidup saya,” ujarnya. (R11/R01)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Wartawan: Syauqi S

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.