Bishkek, Kirgiszstan, 13 Rajab 1436/2 Mei 2015 (MINA) – Sebuah keputusan dari pemerintah Republik Kirgizstan, negara pecahan Soviet, melarang pemakaian jilbab di sekolah-sekolah pada musim guru tahun ajaran baru mendatang.
“Pertanyaan ini sudah dibahas setahun lalu, dan pihak berwenang memutuskan bahwa jilbab harus diperbolehkan. Tetapi, sekarang sekolah mulai membahas topik ini lagi, “kata Aibek Ashirbayev, seorang warga yang puterinya bersekolah di desa Otuz Adir, wilayah Kara-Suu, negara kawasan Asia Tengah itu.
Informasi dari International Islamic News Agency (IINA) pada Jumat (1/5) yang diterima Mi’raj Islamic News Agency (MINA), menyebutkan, hal tersebut telah memicu kekhawatiran di kalangan umat Islam di negara itu.
“Ini membuat khawatir kami dan juga masyarakat lainnya. Padahal kami hidup di negara dengan 80 persen Muslim. Jadi mengapa pemerintah tidak membiarkan anak-anak perempuan Muslim mengenakan jilbab,” Ashirbayev mempertanyakan.
Baca Juga: ICC Keluarkan Surat Perintah Penangkapan Netanyahu dan Gallant
Ashirbayev dan warga Muslim lainnya mulai gencar menyuarakan kekhawatiran umat Islam setelah sekolah di Kara-Suu secara resmi melarang mengenakan jilbab di kelas-kelas.
Kepala Departemen Pendidikan di wilayah Kara-Suu, Aizhamal Kalenova, mengatakan, tahun ajaran baru 2015-2016 mendatang semua sekolah di Kirgizstan akan mengenakan seragam yang sama, dan kita harus mempersiapkan proses ini.
Kalenova menyebutkan bahwa larangan tersebut muncul menanggapi keluhan puluhan orang tua terhadap pemakaian jilbab di sekolah-sekolah.
“Karena pengaruh populasi agama di wilayah kami cukup tinggi, sampai sekarang masalah ini belum disepakati, tapi kami diminta untuk tidak mengizinkan perempuan bersekolah mengenakan jilbab lagi,” katanya.
Baca Juga: Turkiye Tolak Wilayah Udaranya Dilalui Pesawat Presiden Israel
Menurut pernyataan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Ilmu Kirgizstan, program seragam sekolah dilaksanakan untuk mencegah diskriminasi siswa yang kurang mampu dengan orang-orang dari keluarga kaya.
Kalenova menegaskan bahwa spesifikasi seragam sekolah telah disediakan, dan anak-anak harus siap menerima keputusan ini.
Tahun-tahun sebelumnya, pejabat setempat juga mulai melarang pemakaian jilbab di sekolah-sekolah pemerintah. Para aktivis hak asasi manusia (HAM) setempat memprotesnya, dan menyatakan bahwa pemakaian jilbab tidak mengganggu keamanan nasional.
Muslim di Kirgizstan
Baca Juga: Setelah 40 Tahun Dipenjara Prancis, Revolusioner Lebanon Akan Bebas
Kirgizstan merupakan salah satu negara pecahan Soviet, berbatasan dengan Republik Rakyat Tiongkok (China), Kazakhstan, Tajikistan dan Uzbekistan. Ibu kotanya berada di Bishkek (dahulu bernama Frunze).
Menurut sensus terakhir tahun 1993 populasi penduduk Kirgizstan diperkirakan 4.460.000 jiwa, terdiri dari 56,5% etnis Kirgiz, 18,8% orang Rusia, 12,9% Uzbek, 2,1% Ukraina, dan 1,0% Jerman, lainnya dari berbagai negara lain.
Ada sekitar 36.000 penduduk Muslim berasal dari Uigurs, China. Uigurs merupakan mayoritas penduduk di Wilayah Otonomi Xinjiang China, yang penduduknya sekitar 15 juta, terletak di timur laut Kirgizstan.
Islam diperkenalkan kepada suku Kirgizs antara abad ke-9 sampai ke-12 Masehi. Perkembangan paling intens terjadi pada abad ke-17. Dakwah Islam masuk Kirgizstan datang dari wilayah Tian Shan ke Fergana Valley, salah satu daerah di Kirgisztan, yang populasinya benar-benar Islam.
Baca Juga: Hotel Italia Larang Warga Israel Menginap Imbas Genosida di Gaza
Bersamaan dengan dikenalnya Islam di Kirgizstan, suku Kirgiz juga mempraktikkan ajaran totemisme, yaitu pengakuan kekerabatan spiritual dengan jenis tertentu dari binatang. Di bawah sistem kepercayaan ini, suku Kirgiz mengadopsi rusa, unta, ular, burung hantu, dan beruang sebagai objek pemujaan.
Pengetahuan dan minat dalam Islam dikatakan lebih kuat di bagian selatan, terutama di sekitar Provinsi Osh. Sedangkan praktik keagamaan di bagian utara lebih banyak bercampur dengan animisme, kepercayaan bahwa setiap yang bernyawa dan benda mati mengandung kekatan.
Mulai abad ke-18, tahun 1864 Kekaisaran Rusia merebut Kirgizstan, dan sejak saat itu pengaruh Islam menjadi lemah dan warga mulai menjauhkan diri dari praktik-praktik Islam pada era rezim komunis kala itu.
Kirgizstan memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1991. Di bawah pemerintahan Uni Soviet, pada tahun 1937, Kirgizstan menjadi Republik Sosialis Soviet Kirgizia. Konsep pemerintahan tertuang dalam Konstitusi Sekuler 1993, yang menetapkan negara sekuler, dan melarang masuknya ideologi atau agama dalam menjalankan negara.
Baca Juga: Demonstrasi Meletus di Paris Protes Galang Dana Zionis
Agama Islam tidak memainkan peran dalam kemasyarakatan dan politik Kirgizstan. Meskipun kala itu unsur-unsur yang lebih tradisional masyarakat mendesak agar warisan Muslim diakui oleh negara.
Revolusi Tulip (tidak bardarah) telah menurunkan presiden Akayev pada tahun 2005, dikarenakan adanya ketimpangan perkembangan ekonomi antara wilayah utara dengan selatan. Hal itu terjadi karena Akayev dan keluarganya berasal dari wilayah utara yang menyebabkan wilayah selatan makin terpuruk secara ekonomi.
Posisi Presiden kemudian diambil alih oleh Kurmanbek S. Bakiyev yang menawarkan Revolusi Warna, yaitu mengharapkan pemerintahan yang lebih demokratis.
Tanggal 7 April 2010, posisi Bakiyev diturunkan dan diambil alih oleh Roza Otunbayeva, yang sebelumnya adalah menteri luar negeri Kirgizstan. Sementara Bakiyev mengasingkan diri ke Belarusia, di kawasan Eropa Timur.
Baca Juga: Ukraina Gempur Moskow dengan Drone
Presiden Kirgizstan saat ini adalah Almazbek Atambayev Sharshenovich, yang menjabat presiden sejak 1 Desember 2011. Sebelumnya ia adalah Perdana Menteri Kirgizstan, berasal dari Partai Sosial Demokratik Kirgizstan. (T/ima/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Setelah Aksi Hooliganisme Israel, Belanda Justru Larang Protes pro-Palestina