Pemerintah Punya Nawa Cita, Amien Rais Punya ‘Nawa Sengsara’

Jakarta, 7 Sya’ban 1437/14 Mei 2016 (MINA) – Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), , mengatakan berbagai agenda reformasi yang bergulir sejak tumbangnya rezim otoriter Orde Baru pada Mei 1998 lalu harus bisa dipetik manfaatnya oleh rakyat .

Pada 20 Mei mendatang, Indonesia akan memperingati 18 tahun reformasi. Amien, tokoh penggerak gerakan rakyat yang berhasil melengserkan kekuasaan mantan Presiden Soeharto tersebut, mengkritik berbagai persoalan yang membelit bangsa dewasa ini.

“Sekarang ini kita disuguhi nawa cita yang indah nan merdu. (Tapi) yang kita hadapi sekarang ini bukan nawa cita melainkan sembilan sengsara atau musibah,” kata Amien dalam acara Pengajian Bulanan Pimpinan Pusat bertemakan “18 Tahun Reformasi” yang diadakan di Auditorium PP Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (13/5) malam.

Yang dimaksud politikus senior ini adalah Nawa Cita atau sembilan (nawa) agenda prioritas pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla di bidang politik, ekonomi, dan budaya. Menurut Amien, apa yang terjadi saat ini bukan nawa cita melainkan ‘nawa sengsara’ atau musibah.

Pertama, kata Amien, adalah sengsara politik. “Tidak pernah ada sejauh usia saya ini ada kekuasaan yang secara sistematis memecah belah bangsanya sendiri,” sindir cendekiawan yang berdiri paling depan menuntut Soeharto mundur itu.

Peraih gelar doktor ilmu politik dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, ini merujuk pada perpecahan di tubuh Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), gesekan di internal Partai Keadilan Sejahtera (PKS), kekacauan di tubuh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), hingga kasus ribut-ribut para ulama Nahdlatul Ulama (NU) saat muktamar di Jombang, Jawa Timur.

“Ini bagi saya very hilarious stupid ignorance policy. Kalau kayak begini, ya, anak bangsa juga menjadi going down,” tegasnya.

Kedua, bangsa ini mengalami musibah sosial yang ditunjukkan oleh tingkat ketimpangan antara orang kaya dan kalangan miskin atau gini ratio di Indonesia yang masih menganga.

Ketiga, musibah ekonomi. Menurut Amien kue ekonomi yang jumbo hanya dikuasai atau dipegang oleh sekelompok anak bangsa dan sisanya adalah samudera kemiskinan dan pengangguran.

Keempat, sengsara hukum yang ditunjukkan oleh ketidakhadiran keadilan di tengah masyarakat. Hukum menjadi tumpul ketika berhadapan dengan elit, penguasa, atau orang-orang berpengaruh, sebaliknya menjadi sangat tajam ketika mengeksekusi rakyat kelas bawah.

Kelima, kata Amien, adalah sengsara pendidikan. Tokoh lokomotif reformasi ini menyebut pendidikan di negara ini betul-betul terpuruk. Kemampuan membaca anak Indonesia disebutnya terendah di Asia Tenggara. Dari 49 negara berkembang yang dinilai oleh Badan Anak-anak Perserikatan Bangs-Bangsa (UNICEF), Indonesia masuk dalam jajaran tiga besar paling bawah.

Keenam, sengsara kecerdasan. “Kita ini seperti bangsa yang agak lucu. Saya pernah berceramah di hadapan para penambang di Melbourne, Australia. Saya katakan kalau misalnya kami rakyat Indonesia meminta royalti tambang emas 6-7% masalah nggak? (Mereka menjawab), ‘oh, sangat masuk akal’. Tapi pemerintah ini sudah senang dengan 1-2%. Banyak hal yang tidak masuk akal bagi bangsa lain tapi di kita masuk akal,” ujar Amien.

Ketujuh, musibah akhlak. Salah satu persoalan yang ia soroti adalah merebaknya lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). “Ini LGBT tidak manusiawi tapi makin banyak pendukungnya. Kalau kita menentang (disebut melanggar) hak asasi,” sindirnya.

Kedelapan, musibah sebagai bangsa yang sakit atau sick nation. “Ada yang bilang Kita ini seperti tidak fokus, seperti tidak mengenal mana yang benar dan mana yang salah,” tukasnya.

Kesembilan, ujar Amien, bangsa ini mengalami krisis atau musibah kepemimpinan.

“Sekarang, apa yang benar-benar kita miliki? perbankan, perikanan, pertambangan, pertanian, dan lain-lain tidak ada di tangan kita, tidak kita miliki sepenuhnya,” kata Amien.

Amien, salah satu tokoh sentral gerakan reformasi, menjelaskan agenda pertama yang menjadi tuntutan reformasi adalah amandemen konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Selanjutnya, agenda kedua adalah mengembalikan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) ke peran pokoknya; ketiga, penegakan hukum; keempat, otonomi yang cukup luas; kelima, pemerintahan yang bersih (clean government); dan keenam, freedom of speech atau kebebasan menyatakan pendapat.

“Otonomi daerah tentu telah membuat rakyat di daerah jauh lebih berdaya dan makmur, tidak seperti di era sentralisasi di mana pemerintah pusat seperti drakula yang menyedot sumber daya alam di daerah kemudian membawanya ke pusat (Jakarta),” kata Amien.

Selain Amien, hadir sebagai pembicara dalam acara pengajian tersebut adalah Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, dan pakar politik yang juga peneliti senior pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro. (L/P022/R05)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Rana Setiawan

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.