Bamako, Mali, 21 Jumadil Awwal 1436/12 Maret 2015 (MINA) – Para pemimpin oposisi Tuareg Mali bertemu di Timur Laut negara itu untuk memutuskan apakah akan menandatangani atau tidak perjanjian damai yang telah diterima dari pemerintah dan kelompok-kelompok bersenjata yang lebih kecil, Rabu (11/3).
Sekitar 150 hingga 200 tokoh Tuareg datang dari seluruh wilayah ke kota Kidal untuk turut serta dalam pembicaraan yang diperkirakan berlangsung beberapa hari, seorang sumber berbicara tanpa mau menyebutkan namanya, Nahar Net yang dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA), melaporkan.
Di antaranya ada tokoh Tuareg yang datang dari Mauritania, Niger, Libya dan Aljazair.
Pertemuan dimulai empat hari setelah Sekjen PBB Ban Ki-moon mendesak aliansi oposisi utama untuk menandatangani perjanjian damai yang ditulis di Aljazair pada 1 Maret lalu.
Baca Juga: Erdogan Umumkan ‘Rekonsiliasi Bersejarah’ antara Somalia dan Ethiopia
Pemerintah Mali telah menandatangani perjanjian, bersama dengan beberapa kelompok bersenjata pro-Bamako Utara, tapi oposisi utama meminta lebih banyak waktu.
Seorang diplomat Mali yang juga berbicara dengan syarat anonim (nama dirahasiakan) mengatakan, oposisi berada di bawah tekanan negara-negara Eropa agar bergabung dengan perjanjian damai.
“Para diplomat dari beberapa negara Eropa di Bamako diharapkan pergi ke Kidal jika situasi memungkinkan, untuk mendorong penandatanganan kesepakatan itu,” kata diplomat itu.
Sebelumnya, sebuah serangan Sabtu (7/3) dari kelompok bersenjata Muslim menewaskan lima orang, termasuk dua orang Eropa dan polisi Mali, memicu ketegangan di saat oposisi memilih masa tenang.
Baca Juga: Afsel Jadi Negara Afrika Pertama Pimpin G20
Pemerintah Mali dan masyarakat internasional menilai serangan itu sebagai upaya untuk menggagalkan upaya perdamaian.
Pada 2012, kelompok pejuang Islam menguasai Mali Utara selama lebih sembilan bulan hingga intervensi militer Perancis pada 2013 yang berhasil mengusir mereka dari daerahnya. (T/P001/R11)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)