Ketiga, Tidak Meminta Jabatan. Di negeri ini, jabatan bukan hanya diminta, tapi diperjualbelikan. Siapa saja yang mampu mengeluarkan uang dengan jumlah yang besar, maka kesempatannya untuk mendapatkan posisi yang strategis dengan mudah akan diperolehnya. Skill dan keahlian sudah tidak lagi menjadi standar untuk memilih pemimpin. Apakah seseorang itu cukup mampu mengemban amanahnya atau tidak bukan masalah utama, sebab semua itu bisa dibayar dengan rupiah, miris!
Meminta jabatan, berarti mengemis, rakus, tamak sebab itu adalah perbuatan yang hina dan menunjukkan kerendahan harga diri. Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah ra, ”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keempat, Berpegang pada Hukum Allah. Seorang pemimpin Muslim dalam memutuskan setiap perkara, seharusnya mendahulukan hukum Allah sebagai acuannya di atas hukum lainnya. Berhukum kepada hukum Allah adalah kewajiban bagi seorang Muslim. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya, ”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (Qs. al-Maaidah: 49).
Jika dalam memutuskan satu perkara itu tidak ditemukan solusinya dalam al-Quran, maka sumber hukum dalam hadits menjadi pilihan. Jika dalam hadits tidak juga ditemukan bagaimana cara memutuskan perkara itu, maka seorang pemimpin Muslim hendaknya berijtihad dan melakukan musyawarah untuk mencari solusi terbaik. Apakah hukum Allah bisa dipakai di negara yang menganut asas demokrasi?
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-40] Menundukkan Hawa Nafsu
Kelima, Memutuskan Perkara Dengan Adil. Perkara ini termasuk yang harus diperhatikan oleh seorang pemimpin. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, ”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.” (HR. Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).
Keenam, Tidak Menerima Hadiah. Bila ada seorang warga yang memberikan hadiah kepada seorang pemimpin itu artinya ia mempunyai maksud tersembunyi, entah ingin mendekati atau mengambil hati. Karena itu, seorang pemimpin harus menolak pemberian hadiah dari seorang warganya. Hal ini seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, ”Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (HR. Thabrani).
Jika seorang pemimpin sudah menerima hadiah dari orang yang dipimpinya, bisa jadi itu adalah suap untuk memuluskan permintaan yang memberi hadiah. Karena itu, berhati-hati tentu lebih baik selamat dari fitnah dari pada harus menerima setiap hadiah yang diberi.
Ketujuh, Tegas. Seorang pemimpin dalam Islam harus tegas setegas Khalifah Umar bin Khattab. Sebaliknya, ketidaktegasan seorang pemimpin akan membuat reputasinya buruk di mata rakyatnya. Tegas bukan berarti otoriter, tapi tegas yang dimaksud adalah berani mengatakan dengan lantang yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Tegas dalam menindak orang yang dengan sengaja melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan, terlebih lagi aturan dalam syariat Islam.
Baca Juga: Potret Ademnya Masjid Tuo Al-Khairiyah di Tapaktuan
Ketegasan seorang pemimpin sangat dibutuhkan oleh warganya untuk menentukan harga diri sebuah negara. Sebaliknya, pemimpin yang plintat plintut dan peragu bisa membahayakan dirinya sendiri dalam mengambil keputusan-keputusan strategis yang memang harus segera diambil.