Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pemuda Kashmir Ingin Pasukan India Pergi

Rudi Hendrik - Kamis, 12 Maret 2020 - 22:50 WIB

Kamis, 12 Maret 2020 - 22:50 WIB

5 Views

Tentara India bersiap untuk lakukan operasi militer (Foto: File/Istimewa)

Lebih dari 90 persen mahasiswa dan mahasiswi yang disurvei di Kashmir yang dikelola India menginginkan penarikan total pasukan India dari wilayah itu, menurut survei terbaru.

Sekitar 600 mahasiswa dan mahasiswi ambil bagian dari survei yang dilakukan oleh para peneliti dari Universitas Pusat Kashmir dan New York’s Skidmore College, setelah keputusan Pemerintah New Delhi untuk mencabut status khusus kawasan yang dihuni mayoritas warga Muslim pada Agustus 2019 lalu.

Khawatir terhadap reaksi dari pencabutan itu, India mengirim puluhan ribu pasukan tambahan ke Kashmir di samping lebih dari 500.000 tentara yang telah ditempatkan di sana. Pemerintah India memblokir internet yang kemudian sepenuhnya dipulihkan kembali pada awal bulan Maret.

Selama 30 tahun, pasukan India telah memerangi gerilyawan yang berjuang untuk kemerdekaan Kashmir atau bergabung dengan Pakistan, yang juga mengklaim wilayah Himalaya tersebut.

Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir

Pemerintah New Delhi mengatakan, militer dikerahkan untuk memadamkan pemberontakan bersenjata yang meletus pada 1989. Kashmir dijuluki wilayah paling termiliterisasi di dunia.

Organisasi-organisasi hak asasi dan PBB telah menuduh pasukan India melakukan pelanggaran hak asasi manusia sistematis terhadap rakyat Kashmir, termasuk pembunuhan yang meluas, penyiksaan, pemerkosaan, dan penghilangan paksa.

Menurut survei yang dilakukan antara Oktober dan Desember 2019, 91 persen responden menginginkan penarikan penuh pasukan India dari wilayah tersebut.

 

Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia

Plebisit untuk memutuskan masa depan

Persentase yang sama mendukung diadakannya referendum atau plebisit untuk memutuskan status masa depan wilayah mayoritas Muslim itu, menurut survei yang diterbitkan di The Washington Post pekan lalu.

Sementara Pemerintah New Delhi menyatakan bahwa wilayah tersebut merupakan bagian integral dari negara itu. Melakukan plebisit yang memungkinkan warga Kashmir memilih untuk masuk ke India atau Pakistan telah menjadi tuntutan lama rakyat Kashmir yang sebagian besar menganggap India sebagai kekuatan pendudukan.

Banyak yang ingin melihat kawasan itu tetap independen dari kedua negara yang percaya bahwa plebisit mungkin tidak cukup memenuhi aspirasi rakyat.

Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh

Pada tahun 1953, Perdana Menteri Pertama India Jawaharlal Nehru berjanji untuk mengadakan plebisit di Kashmir untuk menyelesaikan konflik, tetapi itu tidak pernah dilaksanakan.

“Selain menjadi hak yang melekat, nasionalisme Kashmir memiliki sejarah yang lebih tua daripada negara-bangsa India dan Pakistan,” kata Haroon Rashid, seorang sarjana penelitian yang tinggal di India. “Kashmir, yang bebas dari kedua negara, akan berhenti menjadi titik nyala nuklir di Asia Selatan.”

Pada pertanyaan mencari dukungan Pakistan dalam penyelesaian potensi konflik, 64 persen peserta merespons positif, sementara 79 persen mengatakan bahwa mereka ingin mediator Barat menganggap Kashmir sebagai bagian sentral dalam setiap negosiasi.

Konvoi pasukan India di Negara Bagian Kashmir. (Foto: dok. Out Look India)

‘Terlalu cepat’ mensurvei pemuda Kashmir

Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh

Hasil survei tampaknya bertentangan dengan klaim pemerintah nasionalis Hindu bahwa dengan mencabut Pasal 370 – yang memberikan otonomi terbatas kepada Kashmir – itu akan dapat mengakhiri konflik selama puluhan tahun dengan mengintegrasikan Kashmir sepenuhnya ke India.

Namun, Profesor Sreeram Chaulia, Dekan Sekolah Urusan Global Jindal, mengatakan, “terlalu cepat” untuk mengukur pendapat warga Kashmir tentang dampak keputusan India di Kashmir.

“Baru tujuh bulan sejak pencabutan otonomi, dan kami, setidaknya, harus menunggu selama lima hingga 10 tahun untuk mensurvei sifat persepsi populer mengenai langkah ini,” katanya kepada Al Jazeera.

Ketika ditanya tentang sifat survei yang representatif, Yelena Biberman, Asisten Profesor Ilmu Politik di Skidmore College dan rekan penulis studi, menyatakan bahwa ia menganggapnya sebagai ciri khas opini di kalangan mahasiswa dan mahasiswi Kashmir.

Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung

Survei dilakukan di Srinagar, kota utama di Kashmir. Data jumlah mahasiswa dan mahasiswi saat ini tidak tersedia, tetapi diperkirakan mencapai ribuan orang.

Chaulia mengatakan, ukuran sampel hampir 600 siswa dari populasi tujuh juta tidak representatif, tetapi dia tidak merinci. Sebaliknya, Biberman membela metodologi penelitian tersebut.

“Metode kami berhasil melewati proses IRB (Institutional Review Board) di Skidmore College,” katanya kepada Al Jazeera. IRB meninjau semua penelitian yang melibatkan subyek manusia dan mencakup implikasi etis, kelembagaan, hukum, ilmiah dan sosial dari sebuah proyek penelitian.

Mediasi pihak ketiga

Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel

Presiden AS Donald Trump, yang menyebut Kashmir “masalah besar antara India dan Pakistan”, telah menawarkan diri beberapa kali untuk menengahi masalah ini. Namun, Pemerintah New Delhi, yang menganggap Kashmir sebagai masalah bilateral, telah menolak gagasan keterlibatan pihak ketiga.

Pertikaian antara New Delhi dan Islamabad mengenai kontrol wilayah mayoritas Muslim itu merentang kembali ke partisi anak benua India setelah kemerdekaan dari kekuasaan Inggris pada tahun 1947.

Menurut Hafsa Kanjwal, Asisten Profesor Sejarah di Pennsylvania’s Lafayette College di AS, orang Kashmir merasa bahwa membingkai perselisihan itu sebagai bilateral tidak membantu.

“Mengingat pembatasan dan tingkat represi yang ada di Kashmir yang dikelola India, sulit untuk mengukur sejauh mana Kashmir pro-Pakistan atau murni nasionalis,” tambah Hafsa. “Saya juga merasa bahwa dua kategori ini terus diadu satu sama lain dan pada akhirnya, hanya berakhir membantu narasi India.”

Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel

Menariknya, apa yang disebut “formula empat poin” untuk penyelesaian perselisihan di Kashmir, yang dianggap sebagai gagasan mantan Presiden Pakistan Pervez Musharraf, tetap populer di kalangan responden muda Kashmir dalam penelitian tersebut.

“Formula empat poin” mengadvokasi otonomi daerah yang lebih besar, demiliterisasi dan pergerakan bebas orang dan barang melintasi Garis Kontrol (LoC) – perbatasan de facto yang membagi Kashmir yang dikelola India dan Pakistan – serta mekanisme pemerintahan India-Pakistan bersama untuk pemerintahan.

Namun, Kanjwal dari Lafayette College meyakini ini dapat dilihat sebagai respon jangka pendek yang putus asa terhadap keengganan India untuk terlibat dengan isu politik inti di wilayah tersebut.

Sementara hubungan antara Islamabad dan New Delhi berada pada titik terendah dalam sejarah, terutama sejak keputusan India di Kashmir tahun lalu. Responden survei umumnya berharap tentang perdamaian berkelanjutan di wilayah tersebut.

Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara

Samir Ahmad yang mengajar di Universitas Pusat Kashmir dan merupakan bagian dari tim yang melakukan survei ini, ia tidak merasa ada keinginan untuk menemukan resolusi yang langgeng.

“Mengingat kurangnya kemauan politik di India, tampaknya, konflik tidak akan diselesaikan dalam waktu dekat,” katanya kepada Al Jazeera. (AT/RI-1/RS3)

Sumber: tulisan Umar Lateef Misgar di Al Jazeera

 

Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Indonesia
Dunia Islam
Dunia Islam
Dunia Islam