Oleh: Rendy Setiawan, Wartawan MINA
“Pemuda itu adalah iron stock. Pemuda itu adalah guardian of value. Pemuda itu adalah director of change.”
Eksistensi sebuah bangsa atau negara tergantung dari pemuda yang ada di dalamnya. Pemuda adalah ujung tombak. Semakin runcing ujung tombak itu, maka akan semakin kencang melesat, semakin dalam menancap pada sasaran yang dituju. Inilah jiwa dasar pemuda, jiwa yang penuh dengan semangat menggelora.
Pemuda menjadi garda terdepan di setiap zaman. Dalam catatan sejarah Indonesia, pemuda mulai terekam peranannya bagi negeri ini sejak tercetus Sumpah Pemuda II pada 28 Oktober 1928. Kesepakatan bersama yang diikuti sekitar 700 pemuda dari berbagai suku di tanah air itu menghasilkan tiga ikrar terkenal. Tiga ikrar itu adalah:
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
Pertama, kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, Tanah Indonesia.
Kedua, kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, Bangsa Indonesia.
Ketiga, kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia
Tiga ikrar ini kemudian terkenal dengan sebutan Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Indonesia.
Baca Juga: Suriah dan Corak Bendera yang Berganti
Menurut situs Wikipedia, ikrar yang disepakati pada 90 tahun lalu ini ditulis pada secarik kertas oleh Muhammad Yamin yang kemudian Soegondo Djojopuspito sebagai ketua kongres membubuhi paraf setuju adalah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ikrar ini bentuk kristalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia.
Pada 1959, tanggal 28 Oktober ditetapkan sebagai Hari Sumpah Pemuda, yaitu hari nasional yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia melalui Keppres No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959 untuk memperingati peristiwa Sumpah Pemuda.
Pemuda selalu mengambil peran memajukan Indonesia. Pada 1966 menjadi awal gerakan mahasiswa secara nasional. Mahasiswa yang tergabung Kelompok Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) memunculkan semboyan yang tak kalah terkenal, Tritura (Tiga tuntutan rakyat), yaitu, bubarkan PKI beserta ormas-ormasnya; perombakkan Kabinet Lamira; dan turunkan harga sembako.
Serangkaian gerakan yang sebagian besar diprakarsai oleh para pemuda ini kemudian berujung pada terbitnya apa yang dinamakan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Dengan adanya peristiwa ini, maka berakhirlah zaman Orde Lama (Orla) yang sudah berkuasa hampir 20 tahun di negeri ini.
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman
Setelah Orla berakhir, Indonesia masuk pada babak baru yang kemudian dikenal dengan nama Orde Baru (Orba). Selama 32 tahun berkuasa, banyak kemajuan yang diraih. Di sisi lain, banyak pula kemunduran yang terjadi. Puncaknya pada 1998 ketika krisis moneter menyapu perekonomian Indonesia. Lagi-lagi pemuda naik panggung, menuntut Reformasi dan dihapusnya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
Peralihan dari Orba ke masa Reformasi sampai sekarang lahir karena andil pemuda dengan pengorbanan yang tidak sedikit dari mereka, sehingga asumsi yang sudah mengakar sampai sekarang adalah pemuda merupakan direktur perubahan.
Namun demikian, pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah pemuda membawa Indonesia berubah menjadi lebih baik atau berubah menjadi lebih buruk? Tentu semua menginginkan berubah menjadi lebih baik.
Pada 2016 data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah pemuda Indonesia mencapai 62.061.400 jiwa. Jadi bisa dikatakan 1 dari 4 orang adalah pemuda. Angka ini akan terus merangkak naik setiap tahunnya. Dilihat secara kuantitas tentu jumlah ini sangatlah besar.
Baca Juga: Hari HAM Sedunia: Momentum Perjuangan Palestina
Untuk mengarah pada perubahan yang baik, angkatan muda yang jumlahnya besar ini harus didik, dilatih, disiapkan segala keahlian dan keterampilan, sehingga pemuda memulai peranannya, tidak hanya sekedar perubahan yang reaksioner tetapi dengan design yang jauh ke depan serta terukur dengan baik, mengikuti perkembangan zaman yang semakin modern.
Pemuda dan Media Sosial
Salah satu ‘kebanggaan’ abad ini adalah mengguritanya media sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Semua elemen masyarakat, tua, muda, pelajar ataupun pemuda semua merasakan sentuhan dari kemajuan ini. Dengan perkembangan ini, media sosial menjadi salah satu elemen penting yang tak terpisahkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJJI) pada 2017 lalu sebanyak 132.7 juta masyarakat Indonesia menggunakan jasa internet. Untuk usia remaja 23,8 juta jiwa. Dengan angka yang cukup fantastis ini membuat Indonesia berada dalam lingkaran media sosial, karena setengah dari penduduknya mengunakan jasa media sosial dalam berkomunikasi dan memperoleh informasi.
Baca Juga: Literasi tentang Palestina Muncul dari UIN Jakarta
Data di atas juga menunjukkan pengguna media sosial untuk kalangan remaja tak kalah besarnya, dengan angka 23,8 juta jiwa atau hampir 18 persen dari penduduk Indonesia. Ini membuktikan bahwa media sosial turut mengambil peran dalam membentuk karakter generasi muda, ditambah dengan dampak yang begitu signifikan dilihat dari sisi positif maupun negatifnya.
Dampak positif yang bisa kita lihat dari menggunakan internet atau media sosial bagi generasi muda yaitu, mereka dapat belajar meningkatkan dan mengembangkan keterampilan teknis dan sosial yang memang sangat dibutuhkan dalam zaman digital atau dikenal pula zaman milenial ini.
Di sisi lain, kecenderungan bersikap acuh terhadap situasi di sekitar juga semakin tinggi. Belum lagi budaya membaca masyarakat Indonesia yang kian hari kian tergerus. Secara kuantitas saja, masyarakat yang gemar membaca sangat memprihatinkan, bagaimana jika diukur secara kualitasnya?.
Menurut sebuah penelitian mengenai minat baca dan peringkat literasi internasional yang dilakukan oleh UNESCO pada 2016 lalu menunjukkan, Indonesia dalam hal minat baca dan literasi, menduduki posisi satu strip di atas juru kunci dari 61 negara yang diteliti.
Baca Juga: Perang Mu’tah dan Awal Masuknya Islam ke Suriah
Masih merujuk penelitian yang dilakukan UNESCO, lembaga milik PBB tersebut menyebut jika minat baca masyarakat Indonesia berada di angka 0,001 persen. Artinya, dari seribu orang, hanya satu di antaranya yang memiliki kebiasaan membaca. Benar-benar memprihatinkan.
Hampir sama dengan temuan UNESCO, data Perpustakaan Nasional (Perpusnas) tahun 2017 menyebutkan, frekuensi membaca orang Indonesia rata-rata hanya tiga sampai empat kali perpekan. Sementara jumlah buku yang dibaca rata-rata hanya lima hingga sembilan buku pertahun.
Hasil dari dua temuan ini cukup menyedihkan bagi semua kalangan. Banyak yang menerka-nerka, apa sebetulnya penyebab rendahnya minat baca masyarakat Indonesia ini, khususnya kalangan pemuda. Beberapa ulasan di media cetak dan online menyebut, masyarakat Indonesia lebih senang berselancar di media sosial ketimbang membaca buku.
Dalam rangka memperingati 90 tahun Sumpah Pemuda, sudah sewajarnya pemuda Indonesia mengembalikan budaya membaca, mulai berinovasi, dan berpikir maju. Sebab, peranan pemuda begitu penting dalam menatap masa depan Indonesia. Terlebih saat ini sedang dicanangkan Indonesia berkemajuan dalam beberapa tahun mendatang. (A/R06/P1)
Baca Juga: Selamatkan Palestina, Sebuah Panggilan Kemanusiaan
Mi’raj News Agency (MINA)