بسم الله الرحمن الرحيم
Firman Allah Ta’ala:
إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَـٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَـٰهُ فِىٓ إِمَامٍۢ مُّبِينٍ (يسٓ [٣٦]: ١٢)
“Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan). Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas (Lauḥ Maḥfūẓ).” (Q.S. Yasin [36]: 12)
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
لِّيَعْلَمَ أَن قَدْ أَبْلَغُوا۟ رِسَـٰلَـٰتِ رَبِّهِمْ وَأَحَاطَ بِمَا لَدَيْهِمْ وَأَحْصَىٰ كُلَّ شَىْءٍ عَدَدًا (الجنّ [٧٢]: ٢٨)
“Agar Dia mengetahui, bahwa rasul-rasul itu sungguh, telah menyampaikan risalah Tuhannya, sedang (ilmu-Nya) meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu.” (Q.S. Al-Jin [72]: 28)
Menurut Syekh Ilyas Balka (sumber utama tulisan ini), kedua ayat di atas merupakan landasan Rasulullah ﷺ dan generasi sahabat menentukan langkah strategis dalam menata umat dengan mendata mereka.
Al-Munawi berkata, “Lafadz احصوا maknanya berarti عدوا (hitunglah dan sesuaikanlah). Namun lafadz الاحصاء lebih kuat dan sesuai dibanding lafadz العد sebab di dalamnya terkandung makna keseriusan dalam menghitung.”
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Berangkat dari hal ini, Islam adalah agama yang memprakarsai urgensi pendataan penduduk sejak 14 abad silam sebagai langkah strategis bagi kehidupan umat manusia.
Di dunia sekarang ini sedang terjadi perang global untuk menguasai masa depan umat manusia. Sementara itu bangsa Arab dan umat Islam tidak memiliki peran dalam peperangan ini. Apabila ini berlanjut maka kemungkinan besar mereka akan terus terjajah seperti saat ini.
Agar kita dapat memiliki peran di dunia saat ini dan yang akan datang, umat Islam dan bangsa Arab harus memperbaiki keyakinan pemikiran dan metodologi (manhaj) untuk bisa mengantisipasi gejolak zaman.
Di antara langkah yang harus dilakukan saat ini adalah menerapkan manhaj yang telah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ yang terbukti berhasil menghadapi berbagai macam problematika kehidupan saat itu.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Di antara manhaj yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ adalah penggunaan statistik dan pendataan (sensus).
Di antara hal yang membangkitkan kekaguman manusia modern terhadap sunnah adalah sunnah Rasulullah ﷺ yang memerintahkan penggunaan metode statistik dalam sensus penduduk.
Perintah Rasulullah ﷺ untuk Mendata Umat
Rasulullah ﷺ menerapkannya secara praktis di Madinah pada saat dunia belum mengenal dan belum menyadari urgensi metode ini dalam mengatur masyarakat. Bahkan dalam kitab Taurat, sensus penduduk diharamkan. Dan ini yang menjadi salah satu penyebab keterlambatan munculnya ilmu statistik di Eropa.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Imam Bukhari meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah ﷺ memerintahkan Hudzaifah bin Yaman dengan sabdanya:
أُكْتُبُوْا لِي مَنْ تَلَفَّظَ بِالْإِسْلَامِ
“Tulislah untukku siapa saja yang sudah memeluk Islam”
Maka kami pun menulis untuk beliau ﷺ sehingga mencapai angka seribu lima ratus orang. Lalu kami berkata: “Apakah kita tetap takut padahal jumlah kita seribu lima ratus? Engkau telah melihat kami menderita, sampai-sampai ada seseorang menunaikan shalat sendiri dalam situasi takut.”
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Imam Muslim meriwayatkan, dari Hudzaifah bin Yaman , dia berkata: “Kami bersama Rasulullah ﷺ, dan beliau ﷺ bersabda, “Hitunglah untukku berapa banyak orang yang masuk Islam.” Hudzaifah berkata, “Wahai Rasulullah ﷺ, adakah Anda takut terhadap kami sedangkan jumlah kami telah berada di antara enam ratus atau tujuh ratus?” Beliau ﷺ menjawab, “Kalian tidak tahu, mungkin kalian akan diuji.” Hudzaifah berkata, “Kami pun diuji sampai-sampai di antara kami tidak menunaikan shalat kecuali secara diam-diam.”
Dijelaskan dalam riwayat Imam Al-Bukhari bahwa sensus tersebut dilakukan dengan menulis. Oleh karena itu, beliau memasukkan hadits di atas ke dalam bab yang berjudul كِتَابَةُ الْإِمَام النَّاسَ, Catatan Pemimpin tentang Penduduknya.
Para ulama mengompromikan riwayat-riwayat di atas dan menjelaskan mengapa bisa berbeda-beda bahwa:
- Para sahabat melakukan sensus lebih dari sekali.
- Yang dimaksud 1.500 adalah total orang-orang yang memeluk Islam yang mencakup di antaranya perempuan dan anak-anak, serta antara 500 dan 600 nya adalah lelaki dan 500 lainnya adalah para pasukan perang, lalu menggeneralisirnya dengan menyebut angka 1.500 orang laki-laki.
- Riwayat pertama (1.500) adalah jumlah penduduk Madinah dan sekitarnya. Sedangkan Riwayat kedua (500) adalah mereka yang tinggal di Madinah saja.
Hanya saja, seperti yang dikatakan Al-Hafidz Ibnu Hajar, “Yang membuat munculnya semua kemungkinan-kemungkinan tawil di atas adalah semuanya keluar dan beredar dari satu sumber yaitu Al-A’masy dengan sanadnya dan perbedaaan riwayat dari para periwayat-periwayat Al-A’masy tentang jumlah yang disebutkan, wallahu a’lam.”
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Barangkali riwayat versi Imam Bukhari lebih rajih secara khusus dengan angka yang pasti, dan statistik tidak memberi ruang untuk keragu-raguan. Sebab yang menjadi tujuan dari sensus tersebut adalah kepastian dan pengetahuan terhadap sesuatu sesuai dengan realitanya. Berbeda halnya dengan perkiraan yang tujuannya adalah mengetahui realita dengan melakukan pendekatan saja.
Tujuan Pendataan (Sensus)
Tujuan dari sensus ini adalah agar Nabi ﷺ mengetahui sejauh mana kekuatan dan kemampuan muslimin untuk kemudian menentukan apakah mereka siap untuk berperang atau tidak, serta mempelajari batasan-batasannya. Sebab perencanaan strategis dibangun berda-sarkan informasi yang valid.
Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar, hadits di atas mendasari disyariatkannya pencatatan data pasukan. Dan hal itu dibutuhkan untuk membedakan mana di antara mereka yang layak perang dan mana yang tidak.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Ibnu Munir mengatakan, aspek fikih dari hadits itu, bukan untuk membayangkan bahwa mendata tentara dan menghitung jumlahnya bertujuan untuk mendapatkan berkah yang tinggi, melainkan untuk kepentingan agama.
Adapun teguran yang diberikan saat perang Hunain disebabkan karena mereka terlalu percaya diri dengan jumlah, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah : “…Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun…” (Q.S. At-Taubah [9]: 25)
Sensus yang berulang di masa Nabi ﷺ
Tampaknya sensus yang disebut dalam hadits-hadits di atas bukanlah yang terakhir. Bahkan Rasulullah ﷺ terus menggunakan metode tersebut.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas seseorang datang menemui Rasulullah ﷺ dan berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah mendata di perang demikian dan demikian, sedangkan istriku akan berhaji.” Beliaupun mengatakan, “Pulanglah dan berhajilah bersama istrimu!”
Jika sensus pada hadits-hadits sebelumnya dilakukan di permulaan dakwah Islam di Madinah, maka hadits riwayat Ibnu Abbas adalah sensus terakhir yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ sebab haji yang disebutkan di dalam hadits itu terjadi di antara tahun ke 9 H bersama Abu Bakar atau tahun ke 10 H di saat Haji Wada.
Para sahabat pun terbiasa dengan metode pendataan tersebut. Mereka meriwayatkan banyak untuk kita, tentang jumlah muslimin dalam peperangan-peperangan mereka, siapa saja yang syahid dan siapa yang ditawan. Bahkan mereka juga terbiasa menyebut jumlah kuda perang dan hewan sembelihan. Kita bisa mendapat banyak riwayat itu di kitab-kitab sejarah.
Data Kekayaan Para Sahabat
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Para sahabat Nabi adalah orang-orang yang mulia. Di antara mereka, ada sosok yang kaya raya. Namun, kekayaan itu tak melalaikan mereka.
Para sahabat nabi yang kaya raya memiliki beberapa kebiasaan positif yang luar biasa salah satunya adalah bersedekah.
Mereka tak pernah merasa sayang jika sebagian hartanya disedekahkan. Mereka berkeyakinan, harta yang dibelanjakan di jalan Allah adalah berkah dan rahmat.
Dari sejumlah orang kaya, berikut ini adalah 5 sahabat kaya raya yang patut diteladani. Mereka tak terlena dengan harta. Mereka semua tetap berjuang di jalan Allah , termasuk dengan hartanya.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Karena perjuangannya itu, mereka dijanjikan masuk surga. Sungguh beruntung, selagi hidup kaya raya, mati masuk surga.
Dikutip dari dsnmui.or.id, dalam Dr Yusuf ibn Ahmad Al-Qasim melakukan riset perpustakaan sederhana untuk mencari tahu siapa saja para sahabat Rasulullah ﷺ yang memiliki kekayaan terbesar dan nilai asetnya. Nilai kekayaan yang diungkap di sini adalah nilai aset tarikah (harta yang ditinggalkan saat mereka wafat).
Lima sahabat terkaya tersebut yakni, Abdurrahman ibn ‘Auf, Zubair bin Awwam, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaydillah, dan Sa’ad bin Abi Waqqash .
- Abdurrahman ibn ‘Awf (44 SH-32H/580-652 M)
Nilai kekayaan saat wafat Rp6.212.688.000.000,-
Kekayaan sahabat yang satu ini benar-benar membuat geleng-geleng kepala. Beliau adalah orang kedelapan yang masuk Islam. Usianya 10 tahun lebih muda dari Nabi ﷺ.
Beliau mengikuti semua peperangan dalam sejarah perjuangan Islam di era Nabi ﷺ. Beliau terkenal sebagai pebisnis ulung. Saat tiba di Madinah (era hijrah), beliau datang dengan tangan kosong. Seperak pun tidak dimiliknya. Lalu Rasulullah ﷺ menjalinkan mu’akhah antara beliau dengan Sa’d ibn al Rabi’ , salah satu orang kaya Madinah saat itu.
Sa’d menawarkan setengah dari harta miliknya untuk beliau , termasuk menceraikan salah satu dari dua orang istrinya untuk bisa dinikahi beliau . Namun beliau menolak halus dan penuh respek sambil berkata, “Semoga Allah memberikan keberkahan kepadamu dengan istri dan hartamu. Cukup tunjukkan aku di mana pasar.”
Total aset kekayaan saat beliau wafat seperti dikutip oleh Ibn Hajar- adalah 3.200.000 (dalam bentuk Dinar, menurut asumsi Ibn Hajar). Nilai ini adalah hasil matematis dari informasi yang mengatakan bahwa saat wafatnya, masing-masing dari empat orang istrinya menerima sebesar 100.000 Dinar.
Dengan akuntasi Fara`idh, maka total tarikah (harta yang ditinggalkannya) adalah: 100.000 dinar x 4 (orang istri) x 8 (ashl al mas`alah) = 3.200.000 Dinar. Jika dirupiahkan, nilai tersebut setara dengan Rp6.212.688.000.000,- (enam triliun, dua ratus dua belas milyar, enam ratus delapan puluh delapan juta rupiah).
Sementara itu, Ibn Katsir (al Bidayah wa an Nihayah, Juz 7, hal, 184) mengutip sumber lain menulis bahwa saat wafatnya, ‘Abdurrahman meninggalkan aset terdiri dari: 1.000 ekor unta, 100 ekor kuda, 3.000 ekor kambing (di Baqi’).
Seluruh istrinya yang berjumlah empat orang memperoleh (dari harga jual aset tersebut) sebesar 320.000 dinar. Nilai ini adalah 1/8 dari total harta diwaris sehingga masing-masing istri mendapatkan 80.000 dinar. Dengan data ini maka total aset peninggalannya adalah 80.000 x 4 (orang istri) x 8 = 2.560.000 dinar.
Jika dikonversi ke rupiah setara dengan Rp.4.970.150.400.000,- (empat triliun, sembilan ratus tujuh puluh milyar, seratus lima puluh juta, empat ratus ribu rupiah) ditambah dengan seluruh jumlah 3 (tiga) jenis hewan-hewan peternakan yang disebutkan.
Sumber mana pun yang ingin dirujuk dari dua informasi di atas, Abdurrahman layak menempati posisi pertama sebagai sahabat Rasulullah ﷺ yang paling kaya.
Yang amat menarik untuk dijadikan cermin kepribadian muslimin lain, saat hendak wafat beliau berwasiat memberikan 400 Dinar kepada para peserta perang Badr yang masih hidup yang jumlahnya saat itu sebanyak 100 orang.
Total nilai wasiat menjadi 400 Dinar x 100 = 40.000 Dinar atau setara 77.658.600.000 (tujuh puluh tujuh milyar, enam ratus lima puluh delapan juta, enam ratus ribu rupiah). Sayyidina Utsman dan sayyidina Ali termasuk di antara yang menerimanya.
Wasiat tersebut belum termasuk wasiat yang diberikannya secara khusus kepada para istri Rasulullah ﷺ yang masih hidup dalam jumlah yang besar (penulis tidak menemukan informasi nilainya).
Jumlahnya yang besar ini hingga mendorong Aisyah berdoa, “Semoga Allah menyiraminya dengan cairan dari nektar.” (nektar atau salsabil adalah madu bunga, yaitu cairan yang kaya dengan gula yang dihasilkan oleh tumbuhan). Belum lagi dengan budak-budak yang dimerdekakannya secara cuma-cuma.
- Zubair bin Awwam (28 SH -36 H / 594 – 656 M)
Nilai kekayaan saat wafat Rp3.543.724.800.000,-
Konon, satu-satunya orang yang setanding beliau dalam kemahi-rannya bertempur sambil berkuda adalah Khalid ibn al-Walid (the Drawn Sword of God). Kedua sahabat ini mampu berkuda dalam posisi kedua tangannya menggenggam pedang. Sementara itu, pengendalian kuda dilakukan dengan kakinya.
Seperti diinformasikan oleh al-Bukhari, Az-Zubair wafat hanya meninggalkan kekayaan berupa aset tidak bergerak (tanah), di antaranya yang berada di Ghabah (wilayah di barat laut Madinah, sekitar 6 km dari Madinah), 11 (sebelas) rumah (besar/dar) di Madinah, 2 (dua) rumah di Bashrah, dan 1 (satu) rumah masing-masing di Kufah dan di Mesir.
Beliau mewasiatkan 1/3 dari total harta peninggalannya (tarikah) untuk para cucunya dan 2/3-nya dibagi-bagikan kepada ahli warisnya.
Menurut Al-Bukhari, beliau memiliki empat orang istri di mana setiap istri mendapatkan waris senilai 1.200.000 dirham. Dengan data ini, perhitungan total nilai aset peninggalan beliau, termasuk yang diwasiatkannya kepada para cucunya adalah: Bagian istri: 1.200.000 x 4 (orang istri) = 4.800.000 dirham. Angka ini -sesuai akuntansi waris- adalah 1/8 dari 2/3 total tarikah (harta waris) setelah dikurangi 1/3 untuk wasiat.
Total yang diwariskan: 4.800.000 Dirham x 8 = 38.400.000 Dirham = 2/3 total tarikah.Nilai yang diwasiatkan: 38.400.000: 2 = 19.200.000 = 1/3 total tarikah Total tarikah (termasuk wasiat) adalah 38.400.000 Dirham + 19.200.000 Dirham = 57.600.000 Dirham.
Dalam unit Rupiah, 57.600.000 Dirham setara dengan Rp.3.543.724.-800.000,- (tiga triliun, lima ratus empat puluh tiga milyar, tujuh ratus dua puluh empat juta, delapan ratus ribu rupiah).
- Utsman ibn ‘Affan (47 SH-35 H/577-656 M)
Nilai kekayaan saat wafat Rp2.532.942.750.000,-
Ibn Katsir (al Bidayah wa an Nihayah, Ibn Katsir, Juz 7, hal. 214) mencatat, dana yang dimiliki oleh sahabat ‘Utsman saat wafat terdiri dari: Tarikah 1 (tunai): 30 juta Dirham,Tarikah 2 (tunai): 150.000 Dinar
Sedekah: 200.000 Dinar, Unta: 1000 ekor. Jika dirinci dengan nilai rupiah menjadi: Tarikah 1 (tunai): 1.845.690.000.000, Tarikah 2 (tunai): 291.219.750.000, Sedekah: 388.293.000.000, Unta: 7.740.000.000.
Jumlahnya menjadi Rp.2.532.942.750.000,- (dua triliun, lima ratus tiga puluh dua milyar, sembilan ratus empat puluh dua juta, tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). Perhitungan di atas bisa jadi lebih kecil dari nilai kekayaan yang sesungguhnya mengingat jumlah tersebut belum mencakup aset-aset berikut:
Pembelian sumur di Rumah (sekitar 5 km dari Masjid Nabawiy) yang diwakafkan untuk keperluan masyarakat senilai 35.000 Dirham, hibah 950 unta untuk alat perlengkapan perang Tabuk (Usrah) dan aset tanah (dhiya’) dan kuda yang jumlahnya amat sangat banyak.
Kekayaan lain Utsman yang amat tak terkira, meski bukan kekayaan finansial adalah menikahi dua orang putri Rasulullah ﷺ (Ruqayyah lalu Ummu Kultsum ).
- Thalhah bin Ubaydillah (26 SH-36 H/598–656 M)
Nilai kekayaan saat wafat Rp.542.100.500.000,
Tarikah 1 (tunai): 2.200.000 Dirham, Tarikah 2 (tunai): 200.000 Dinar, sedekah 1 (tanah): 300.000 Dirham (belum dapat verifikasinya). Jika dirupiahkan menjadi: Tarikah 1 (tunai): 135.350.600.000, Tarikah 2 (tunai): 388.293.000.000.
Sedekah 1 (tanah): 18.456.900.000 Jumlahnya menjadi Rp.542.100.-500.000,- (lima ratus empat puluh dua miliar, seratus juta, lima ratus ribu rupiah)
Sementara itu, sumber lain bahwa jumlah seluruh kekayaan Thalhah (tunai dan non-tunai) saat wafat adalah 30.000.000 dirham atau setara Rp1.845.690.000.000 (satu triliun, delapan ratus empat puluh lima miliar, enam ratus sembilan puluh juta rupiah).
Dr. Yusuf menjelaskan, informasi yang terakhir ini disampaikan oleh salah satunya- Muhamad ibn ‘Amr al-Waqidiy yang oleh beberapa ulama diragukan ke-tsiqah-annya.
- Saad bin Abi Waqqash (23 SH-55 H/600-675 M)
Nilai kekayaan saat wafat Rp.15.380.750.000,-
Dalam sepanjang sejarah peperangan Islam, beliau tercatat sebagai orang yang pertama kali kena tusuk anak panah dan beliau pula yang pertama kali dalam sejarah Islam melesatkan panah dari busurnya ke arah musuh.
Beliau termasuk generasi awal yang masuk Islam. Sebagian informasi menyebutnya sebagai orang keempat dari kalangan laki-laki yang masuk Islam awal setelah Abu Bakar, Ali dan Zaid, .
Nilai tarikah atau harta warisnya -seperti dikutip oleh Ibn Katsir- sebesar 250.000 Dirham. Jika dirupiahkan, nilai ini setara dengan Rp.15.380.750.000,- (lima belas miliar, tiga ratus delapan puluh juta, tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
Mereka -kelima sahabat Rasulullah ﷺ – adalah para pebisnis dan dermawan ulung. Dalam waktu yang sama mereka adalah sebagian dari para sahabat yang mendapatkan berita gembira tentang perolehan surga. Mereka adalah manusia-manusia yang luar biasa karena umumnya kekayaan sering menjauhkan diri dari Allah dan melenakan, bahkan sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash adalah pembuka jalan bagi penyebaran dakwah Islam di China.
Makam Sa’ad bin Abi Waqqash di China
Makam bukan berarti pekuburan tetapi maksudnya adalah tempat yang pernah ditempati oleh Sa’ad bin Abi Waqqash karena beliau meninggal di Madinah dan dimakamkan di Baqi, pemakaman umum dekat Masjid Nabawi. (A/P2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)