Penduduk Khan Al-Ahmar: “Kami Dipenjarakan di Sini”

Oleh Wafa Ali (Seorang Peneliti Hak Asasi Manusia )

Abu Khamees lahir di Khan Al-Ahmar sekitar 52 tahun lalu. Orang tuanya, warga Palestina asli penduduk Al-Jahhalin Badui pindah ke desa yang sekarang diancam pembongkarannya oleh pasukan pendudukan Israel, setelah sebelumnya dipaksa pindah dari Tell Erad pada tahun 1951 untuk membuka jalan bagi ekspansi Israel.

Keluarga Khamees memilih tinggal di desa itu karena aksesnya mencapai Wadi Al-Qilt, tempat yang penuh dengan mata air dan area penggembalaan untuk menggiring hewan ternak. Jaraknya sekitar 1,5 kilometer di utara dari tempat tinggalnya. Menjadi penggembala adalah sumber pendapatan utama bagi 35 keluarga desa dengan sekitar 1.000 domba milik 193 penduduknya.

Sebagai hasil dari Nakba, penduduk Al-Jahalin Badui tersebar di 26 komunitas di daerah tersebut dan semuanya menghadapi ancaman pembongkaran.

Sebab posisi mereka di daerah yang disebut E1, tempat proyek perluasan pemukiman Israel yang direncanakan di sepanjang jalan Yerusalem-Jericho, masyarakat terus berjuang agar eksistensi mereka selama beberapa dekade tetap berlangsung. Pasukan Israel mengatakan bahwa rumah-rumah mereka harus dihancurkan karena dibangun tanpa mendapatkan izin surat bangunan. Sementara itu, pemukiman ilegal Israel di Ma’ale Adumim telah berkembang sejak tahun 1975, yang sekarang menjadi tempat tinggal bagi lebih dari 37.000 pemukim Israel.

Khan Al-Ahmar menderita akibat Kesepakatan Oslo 1993 yang meninggalkan wilayah itu di bawah kendali militer dan administratif Israel, serta membuat hidup orang Badui lebih sulit.

Berdasarkan Kesepakatan Oslo 1995 antara Israel dan Otoritas Palestina (PA), Tepi Barat termasuk Yerusalem Timur dibagi menjadi Area A, B dan C.

Wilayah Khan Al-Ahmar merupakan area C yang berada di bawah kendali administratif dan keamanan eksklusif Israel. Berbeda dengan area A yang berada di bawah kendali administratif dan keamanan PA, sementara area B berada di bawah administratif PA dan kontrol keamanan Israel.

“Itu membuatnya lebih menyedihkan. Ketika Deklarasi Balfour ditandatangani, memberikan hak kepada pendudukan untuk berada di sini, tetapi tidak ada orang Arab yang terlibat dalam hal itu, semua mengutuknya. Oslo juga merupakan hal yang sama, itu adalah bencana yang dibuat oleh orang-orang Arab, mereka menandatanganinya, menyerahkan kami kepada orang Israel, kami sepenuhnya dikendalikan oleh pendudukan mereka, ketika kami mencoba untuk mengatakan tidak, mereka hanya mengatakan ini adalah Oslo, ini adalah Area C,” ujar Khamees.

Ia menjelaskan, pertama kali menerima perintah pengusiran pada tahun 1997, karena setelah Oslo mereka dapat melakukan hal semacam itu. Mereka telah mencoba mengusir warga desa sejak saat itu.

Situasi menjadi lebih buruk setelah Intifada Kedua yang terjadi pada tahun 2000 dan berlangsung selama lima tahun. Hasilnya adalah pembatasan kehidupan sehari-hari.

“Para wanita dulunya dapat pergi ke pasar terdekat di Ezariya, yang berjarak 12 kilometer dari sini, dan mendapatkan semua bahan kebutuhan sehari-hari, setelah Intifada, pendudukan Israel menambahkan pos-pos pemeriksaan antara komunitas kami dan Ezariya, sehingga dibutuhkan banyak waktu dan hari yang hanya dihabiskan di pos pemeriksaan tersebut. Itulah mengapa anak-anak berhenti mencari pendidikan di luar desa,” ujar bapak tujuh anak itu.

Desa ini mendapat perhatian global dengan delegasi dan aktivis Uni Eropa (EU) dari seluruh dunia yang berkunjung untuk mempelajari lebih lanjut tentang situasi penghuninya dan ancaman yang mereka hadapi. Di antara desa lainnya, Khan Al-Ahmar memiliki keunikan dalam fasilitasnya dan menjadi rumah bagi satu-satunya sekolah serta klinik medis di daerah itu.

“Pendudukan Israel tahu jika mereka menghancurkan Khan Al-Ahmar, mereka akan mengakhiri layanan di komunitas lain, penghancuran akan berdampak pada beberapa komunitas bukan hanya kami,” kata Abu Khamees yang bercerita tentang mengapa desa ini profilnya telah mencapai internasional yang tinggi dan mengapa pendudukan itu memilih Khan Al-Ahmar untuk dibongkar.

Perintah pengadilan Israel terakhir melakukan pembongkaran Khan Al-Ahmar diterima pada bulan Mei, Abu Khamees mengatakan, sejak saat itu, penduduk memilih untuk tidak meninggalkan rumah mereka.

“Seperti penjara, kami dipenjarakan di sini karena tidak ada yang ingin pergi jika pasukan datang untuk menghancurkan rumah kami,” ujarnya.

Sekitar 400 pendukung, termasuk aktivis internasional, telah mendirikan kamp di desa sebagai bentuk solidaritas terhadap warga Badui yang berharap agar dihentikannya pembongkaran. Mereka telah berhadapan langsung dengan pasukan pendudukan bersenjata berat yang menanggapi solidaritas itu, bahkan pasukan Israel sering menangkap aktivis.

“Memiliki banyak perhatian cukup memperlambat proses, akan tetapi itu tidak akan menjadi solusi untuk apa pun. Ketika mereka menghancurkan, itu akan menjadi bencana,” ucapnya.

Pesan terakhirnya untuk pendudukan Israel adalah sederhana: “Biarkan kembali ke wilayah tahun 1948, maka saya akan meninggalkan desa ini,” pesannya. (AT/ais/RS3)

Sumber: Middle East Monitor (MEMO)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: siti aisyah

Editor: bahron

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.