Penerapan Kriteria Baru MABIMS Berpengaruh pada Penentuan Awal Bulan Hijriah

Kasubdit Hisab Rukyat dan Pembinaan Syariah Kementerian RI Ismail Fahmi (kiri) bersama Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Astronomi, Prof Thomas Djamaludin (kanan) menjadi narasumber pada diskusi Media Lounge Discussion (MELODI) yang digelar BRIN di Gedung BJ. Habibie Jakarta, Jumat (8/3/2024).(Foto: Rana/MINA)

Jakarta, MINA – Penerapan kriteria baru MABIMS berdampak pada perubahan dalam penghitungan dan penetapan awal bulan Hijriah.

Pada diskusi Media Lounge Discussion (MELODI) yang digelar BRIN, Jumat (8/3), di Gedung BJ. Habibie Jakarta, Kasubdit Hisab Rukyat dan Pembinaan Syariah Kementerian RI Ismail Fahmi menjelaskan, selama ini, kriteria hilal (bulan) awal Hijriah adalah ketinggian 2 derajat, elongasi 3 derajat, dan umur bulan 8 jam.

Namun, lanjut dia, berdasarkan pada hasil kesepakatan Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) pada tahun 2021 kriteria hilal berubah menjadi ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.

“Kesepakatan ini ditandai dengan penandatanganan surat bersama ad referendum pada 2021 terkait penggunaan kriteria baru MABIMS di Indonesia mulai tahun 2022. Adanya perubahan kriteria tersebut, berpengaruh terhadap penentuan awal bulan Hijriah. Terutama di Indonesia, yang menggunakan metode hisab dan rukyat,” ujar Ismail.

Baca Juga:  ASN Kemenag Agar Partisipasi Aktif Sosialisasikan Larangan Perjudian Online

Sementara Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Astronomi, Prof Thomas Djamaludin mengatakan, rukyat (pengamatan) dan hisab (perhitungan) secara astronomi dinilai setara dalam penentuan awal bulan Hijriah. Sehingga, tidak ada dikotomi antara rukyat dan hisab.

“Metode rukyat hilal diterapkan pada tanggal 29 Hijriah untuk melaksanakan contoh Rasul (ta’abudi). Agar rukyat akurat, arahnya dibantu dengan hasil hisab. Hisab bisa digunakan untuk membuat kalender sampai waktu yang panjang di masa depan. Agar hisab merujuk juga pada contoh Rasul, maka kriterianya dibuat sesuai dengan hasil rukyat jangka panjang, berupa data visibilitas hilal atau imkan rukyat (kemungkinan bisa dirukyat),” jelas Thomas.

Menurutnya, penerapan rukyat dan hisab bisa dipersatukan dengan kriteria visibilitas hilal atau imkan rukyat.

Baca Juga:  Empat Profesor Riset BRIN Dikukuhkan

Thomas berpendapat terjadinya perbedaan awal bulan hijriah seperti Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah, bukan karena perbedaaan anatara metode hisab dan rukyat, akan tetapi karena perbedaan kriteria hilal.

Dia menjelaskan, kriteria menjadi dasar pembuatan kalender berbasis hisab yang dapat digunakan dalam prakiraan rukyat. Kriteria juga harus mengupayakan titik temu pengamal rukyat dan pengamal hisab, untuk menjadi kesepakatan bersama, termasuk MABIMS.

Di samping itu, wacana hisab-rukyat dalam dunia Islam telah terjadi shifting paradigm (pergeseran paradigma). Dulu hanya berkutat pada dalil-dalil hisab rukyat beserta interpretasinya, namun kini sudah bergeser ke arah pembahasan unifikasi kalender global. (L/R1/RI-1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Rudi Hendrik