Avner Gvaryahu adalah seorang mantan tentara Israel. Ia Direktur Eksekutif organisasi swasta Breaking the Silence. Misi organisasi tersebut untuk mengumpulkan kesaksian dari tentara Israel yang menyaksikan kejahatan militer terhadap rakyat Palestina.
Keputusannya untuk menentang pemerintahnya, membuat Gvaryahu dicap sebagai “pengkhianat” oleh mantan militernya.
Dalam sebuah wawancara dengan BBC pada acara HARDtalk pada pertengahan Februari lalu, Gvaryahu berbicara tentang pengalaman pribadinya sebagai seorang tentara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dan operasi yang dia lakukan selama jadi tentara.
Selain seorang penerjun payung, ia adalah sersan tim penembak jitu. Operasi yang rutin ia lakukan di Nablus, Jenin dan daerah sekitarnya, disebut Operasi Straw Widow yang bertujuan mengambil alih rumah orang Palestina.
Baca Juga: Pemukim Yahudi Ekstremis Rebut Rumah Warga Yerusalem di Silwan
Setiap rumah di Tepi Barat memiliki nilai. Dalam operasi, pasukan Israel akan membuka peta dan melihat rumah tertentu yang tepat untuk mereka masuki. Setelah mereka memastikan rumah itu memiliki parameter, jendela dan wilayah geografis terbaik, mereka akan memasuki rumah-rumah Palestina yang tidak berdosa di tengah malam.
Awalnya, Gvaryahu mengikuti perintah yang dia terima tanpa pertanyaan. Namun kemudian, dia menyadari bahwa hati nurani moralnya tidak dapat menerima tindakan brutal yang dia lakukan terhadap warga sipil yang tidak berdosa.
Yang memotivasi Gvaryahu akhirnya untuk memecah kesunyiannya adalah ketika tatapan tajam mata seorang pemuda Palestina, saat dia memasuki rumah pemuda itu di tengah malam.
Dia selalu bisa membenarkan tindakannya sendiri, tapi mata, kemarahan dan ketakutan warga Palestina itulah yang membuatnya berpikir.
Baca Juga: Media Ibrani: Netanyahu Hadir di Pengadilan Atas Tuduhan Korupsi
Baru pada saat Gvaryahu berbicara dengan seorang dokter Palestina yang rumahnya sedang dijarah, dia bisa memahami penderitaan orang-orang Palestina yang otonominya telah dicuri dari mereka.
Dokter itu baik dan cukup murah hati. Ia mau duduk dan menjelaskan kepada Gvaryahu apa artinya menjadi orang Palestina. Pengalaman itu ia dapat saat duduk di sebuah rumah di Nablus. Setelahnya ia menyadari apa yang sebenarnya telah ia lakukan sebagai seorang tentara terhadap jutaan orang Palestina.
Ia mengungkapkan bahwa misi pemerintah Israel adalah mengendalikan orang-orang Palestina. Kekerasan militer hanyalah salah satu cara untuk mencapainya.
Ada sistem yang selama 51 tahun terus berpikir: Bagaimana Israel bisa mempertahankan status quo? Bagaimana bisa memakainya? Pendudukan Israel telah membangun benak masyarakat Israel sebuah persamaan palsu. Agar mereka merasa aman, mereka harus merasa tidak aman. Misi itu adalah kontrol.
Baca Juga: Hamas Sayangkan Terbunuhnya Pejuang Perlawanan di Tepi Barat, Serukan Faksi Palestina Bersatu
Menurut Gvaryahu, kebrutalan militer Israel tidak akan hilang sampai pendudukan diakhiri.
Dia juga menyoroti bagaimana kebijakan Israel yang terus berlanjut terhadap orang Palestina yang ditahan dan dijatuhi hukuman.
Di setiap rumah, setiap pos pemeriksaan, setiap tanah yang ambil, di setiap permukiman ilegal, pasukan Israel terus menindas orang-orang Palestina, tetangga yang tidak akan ke mana-mana.
Dalam konflik Israel-Palestina hanya ada satu isu, yaitu “pendudukan Israel”. Menurut Gvaryahu, merupakan tanggung jawab Israel untuk mau mengakhirinya.
Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi
Gvaryahu menekankan bahwa pemerintah Israel, pada akhirnya bertanggung jawab atas tindakan tentara yang diamanatkan untuk beroperasi di wilayah-wilayah pendudukan, sebuah resolusi politik diperlukan untuk mengakhiri konflik.
Banyak tokoh senior Israel, termasuk Menteri Pertahanan Avigdor Lieberman, telah memberi label kepada Gvaryahu sebagai seorang “pengkhianat”. Organisasi Breaking the Silence dituduh mencoba menodai reputasi Israel.
Breaking the Silence juga telah terancam pada banyak kesempatan. Gvaryahu mencatat bagaimana seseorang ditemukan mencoba membakar kantor mereka. Namun, dia mengulangi bahwa meskipun kelompok tersebut minoritas, mereka bertekad untuk melawan ketidakadilan.
“Meskipun saya adalah suara minoritas, tanggung jawab saya adalah untuk berbicara. Breaking the Silence itu sulit karena sama sekali tidak sesuai dengan arus, tapi Anda tidak dapat melarang suara saya,” kata Gvaryahu. (A/RI-1/P1)
Baca Juga: Penjajah Israel Serang Sejumlah Desa dan Kota di Tepi Barat
Sumber: Palestine Chronicle
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Aksi Peduli Palestina: Cara Efektif dan Nyata Membantu Sesama yang Membutuhkan