Washington, MINA – Menurut sejumlah pengamat Barat, kelompok Islamic State (ISIS) akan kembali ke akarnya menjadi gerakan gerilya setelah kehilangan ibu kota de facto mereka di Irak dan Suriah.
ISIS juga banyak kehilangan wilayahnya di kedua negara seiring dilakukannya operasi besar-besaran oleh pasukan pemerintah Irak dan koalisi oposisi di Suriah pimpinan Kurdi. Kedua operasi itu didukung oleh koalisi internasional pimpinan Amerika Serikat.
“Islamic State belum selesai,” kata Aaron Y. Zelin, pengamat yang mempelajari gerakan militan di The Washington Institute for Near East Policy. Demikian The New York Times memberitakannya yang dikutip MINA.
“ISIS memiliki rencana, yaitu menunggu musuh lokal mereka untuk mendapatkan waktu tepat membangun kembali jaringannya, sementara pada saat yang sama memberikan inspirasi kepada pengikutnya di luar untuk terus memerangi musuh mereka yang lebih jauh,” katanya.
Baca Juga: Warga Palestina Bebas setelah 42 Tahun Mendekam di Penjara Suriah
Menurutnya, ISIS memiliki rekam jejak yang terbukti mampu menahan serangan militer besar-besaran, sementara mereka masih merekrut pengikut di seluruh dunia untuk membunuh.
Ketika pada Selasa (17/10), pasukan pendukung Amerika mengumumkan telah merebut Raqqa, ibu kota de facto ISIS di Suriah, pejabat kontraterorisme Eropa mengkhawatirkan sel-sel tidur yang mungkin telah dikirim jauh sebelum kekalahan mereka.
“Jelas bahwa kita bersaing dengan ancaman teroris Inggris yang kuat dari ISIS,” kata Andrew Parker, Direktur Dinas Intelijen Inggris MI5. “Ancaman itu multidimensi, berkembang dengan cepat, dan beroperasi pada skala dan kecepatan yang belum pernah kita lihat sebelumnya.” (T/RI-1/R01)
Baca Juga: Faksi-Faksi Palestina di Suriah Bentuk Badan Aksi Nasional Bersama
Mi’raj News Agency (MINA)