Tel Aviv, MINA – Pengamat ekonomi mengatakan, perekonomian Israel dalam Perang Badai Al-Aqsa mengalami kerugian senilai sekitar 210 miliar shekel, atau lebih dari Rp907 triliun, terbesar sepanjang menghadapi aksi perlawanan Palestina.
Pengamat menandai dengan memperkirakan Bank Israel yang akan mengumumkan penurunan suku bunga kedua dalam waktu satu bulan, pada pertemuan pada tanggal 26 Februari. Al Jazeera melaporkan, Selasa (13/2).
Gubernur Bank Israel, Amir Yaron, mengatakan, biaya dan pengeluaran anggaran perang, selain hilangnya pendapatan, semuanya diperkirakan mencapai sekitar 210 miliar shekel, atau lebih dari Rp907 triliun, jika perang berlanjut hingga tahun 2025.
Sektor pertanian, real estate, dan pariwisata juga berada pada level terendah sejak intifada kedua pada tahun 2000, karena terhentinya lebih dari separuh aktivitas konstruksi.
Penurunan juga terjadi di sektor pariwisata dengan angka mencapai sebesar 95%.
Sedangkan sektor teknologi, yang merupakan tulang punggung perekonomian, terancam mengalami kerugian yang semakin besar seiring dengan menurunnya produktivitas akibat perekrutan pegawai menjadi tentara.
Para pekerja juga mengalami rasa frustasi serta rasa tidak memiliki mengingat gelombang PHK yang terjadi di sektor vital ini.
Sebuah laporan Israel mengungkapkan, jumlah karyawan di industri teknologi di Israel menyusut tahun lalu dan semakin menurun pada bulan Januari lalu, karena gelombang PHK.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu awal bulan Januari memutuskan menarik kembali sejumlah brigade tempurnya, untuk mengembalikan mereka guna membantu menghidupkan kembali perekonomian, menurut surat kabar Times of Israel.
Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich dan Menteri Pertahanan Yoav Galant mempresentasikan rencana bantuan keuangan untuk tentara cadangan di angkatan darat.
Pemerintah Israel menghabiskan biaya tahunan tentara sebesar 9 miliar shekel (Rp39,1 triliun).
Menurut pengamat, perekonomian Israel tidak bisa bertahan lama, meski dengan adanya bantuan militer dari Amerika Serikat yang jumlahnya mencapai 17 miliar (Rp265 triliun) per tahun. Namun bantuan diprediksi akan menurun sehubungan menurunnya anggaran belanja AS dan munculnya berbagai protes dari pejabat dan pengusaha di AS. (T/RS2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)