Cox’s Bazar, MINA – Sekitar 300 hingga 400 keluarga rohingya/">pengungsi Rohingya di kamp Nayapara dan Kutupalong, Bangladesh, diputus dari akses bantuan pangan dan layanan penting lainnya setelah menolak berpartisipasi dalam program pendaftaran biometrik yang digagas oleh UNHCR dan pemerintah Bangladesh.
The Diplomat, media yang berbasis di Washington mengabarkan pada Kamis (12/6), bahwa keluarga-keluarga tersebut, yang sebagian besar telah bermukim di kamp sejak melarikan diri dari kekerasan di Myanmar pada awal 1990-an, kini hidup tanpa jatah makanan, bahan bakar untuk memasak, serta akses ke klinik kesehatan. Mereka menyebut keputusan ini sebagai langkah yang semakin memperburuk kondisi kehidupan mereka di pengungsian.
Penangguhan bantuan ini dilakukan menyusul dimulainya proses pembaruan data dan penerbitan kartu identitas baru oleh UNHCR (badan pengungsi PBB) yang mewajibkan setiap individu berusia lima tahun ke atas untuk memberikan sidik jari dan pemindaian iris mata.
Dalam surat resmi tertanggal 17 Maret yang ditandatangani Kepala Operasional UNHCR Cox’s Bazar, Yoko Akasaka, dikonfirmasi bahwa mereka yang tidak terdaftar secara biometrik tidak akan menerima bantuan kemanusiaan.
Baca Juga: Persatuan Penyiaran Negara-negara Arab Kecam Keras Serangan Israel terhadap Jurnalis di Gaza
Surat itu juga menegaskan bahwa kartu identitas baru tidak akan mencantumkan pengenal etnis seperti “Rohingya” atau “Negara Bagian Arakan”, yang menjadi sumber ketidakpuasan di kalangan pengungsi.
“Tidak ada bantuan kemanusiaan yang dapat diberikan kepada mereka yang belum terdaftar,” demikian bunyi surat tersebut.
UNHCR membela kebijakan ini dengan menyatakan bahwa penggunaan data biometrik sesuai dengan standar global manajemen identitas dan penting untuk mencegah penipuan serta memastikan distribusi bantuan yang adil dan transparan.
Namun, kebijakan ini menuai kritik dari para pakar hukum pengungsi dan aktivis hak digital. Mereka menilai bahwa mengaitkan akses bantuan dengan pendaftaran biometrik bertentangan dengan prinsip dasar kemanusiaan dan panduan internal UNHCR sendiri.
Baca Juga: Mesir Undang Hamas Bahas Rencana Zionis Duduki Gaza
“Bantuan seharusnya didasarkan pada kebutuhan, bukan kepatuhan terhadap sistem data,” kata seorang pakar hukum pengungsi yang dikutip dalam laporan tersebut.
Organisasi hak digital Privacy International juga menyuarakan keprihatinannya. Dalam pernyataan resminya, mereka menegaskan bahwa keputusan untuk tidak mendaftar secara biometrik tidak boleh menjadi alasan untuk menolak akses terhadap layanan penting.
“Ketika seseorang memilih untuk tidak terdaftar, itu tidak boleh menjadi alasan untuk mengecualikan mereka dari bantuan yang menyelamatkan nyawa,” ujar mereka.
Perwakilan komunitas Rohingya juga mengungkapkan bahwa klaim UNHCR tentang tersedianya layanan seperti pendidikan dan kesehatan tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Baca Juga: Kuwait Kirim Bantuan ke Gaza Melalui Mesir
“Orang-orang ditolak di klinik setelah menunjukkan dokumen lama,” kata Mohammed Iqbal dari Kutupalong. Sementara itu, Abu Taleb dari Nayapara menyebut, “Anak-anak kami kelaparan dan tidak mampu membeli buku. Bagaimana mereka bisa belajar?”
Menurut Kebijakan Perlindungan Data UNHCR tahun 2015, persetujuan untuk pendaftaran data harus diberikan secara “bebas, spesifik, dan berdasarkan informasi.”
Namun dalam konteks pengungsian dan ketergantungan total pada bantuan, banyak pihak menilai bahwa “persetujuan bebas” menjadi tidak realistis.
Kebijakan ini memunculkan pertanyaan besar tentang keseimbangan antara kebutuhan operasional lembaga bantuan dan hak-hak dasar para pengungsi yang rentan.[]
Baca Juga: Gas Klorin di Jalur Najaf–Karbala Bocor, Ratusan Warga Sesak Nafas
Mi’raj News Agency (MINA)