DALAM konferensi pers terakhirnya sebagai Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) di Washington DC, Rabu, 15 Januari 2025, Antony Blinken menghadapi kritik tajam dari dua jurnalis senior, Sam Husseini dan Max Blumenthal.
Mereka menuduh pemerintah AS berperan dalam genosida di Gaza dan mempertanyakan dukungan tanpa syarat terhadap Israel.
“Why did you allow the Holocaust of our time to happen? (Mengapa Anda biarkan Holocaust terjadi di zaman kita?)” Pertanyaan kritis dan menohok ini dilontarkan oleh Max Blumenthal yang mengonfrontasi Antony Blinken terkait dukungan AS terhadap Israel dalam konflik di Palestina. Blumenthal menyamakan tragedi di Gaza dengan Holocaust, menuduh AS membiarkan genosida modern terjadi.
“Why did you sacrifice the rules based on the mantle of your commitment to Zionism? (Mengapa Anda mengorbankan aturan berdasarkan komitmen Anda terhadap Zionisme?)” Blumenthal mempertanyakan apakah AS mengabaikan hukum internasional demi mendukung Zionisme.
Baca Juga: Genjatan Senjata di Masa Nabi Muhammad
Sementara itu, Sam Husseini menyinggung senjata nuklir rahasia Israel dan mengutip laporan ICJ serta Amnesty International terkait kejahatan Israel.
Dalam konferensi pers tersebut, Blinken sempat menyampaikan keberhasilan perjanjian gencatan senjata yang dimediasi oleh Amerika Serikat, Mesir, dan Qatar. Namun, kritik dari Husseini dan Blumenthal menunjukkan ketidakpercayaan terhadap efektivitas perjanjian tersebut karena dianggap tidak menyentuh akar masalah.
Penyampaian kritik dan pengusiran mereka yang viral di dunia maya mencerminkan frustrasi global terhadap sikap AS yang melindungi pelaku kejahatan perang.
Mereka harus diseret keluar oleh pihak keamanan setelah menyampaikan pernyataan kritis yang menyoroti ketegangan antara kebijakan luar negeri AS dan nilai-nilai HAM internasional.
Baca Juga: Hubungan Kebakaran di Los Angeles dengan Gencatan Senjata di Gaza: Sebuah Perspektif Global
Dengan mengangkat isu ini secara publik, mereka berusaha menggugah kesadaran global tentang penderitaan di Palestina dan meminta pertanggungjawaban pemerintah AS.
Konflik dan Genosida
Konflik Palestina-Israel telah berlangsung selama lebih dari tujuh dekade, diwarnai pelanggaran hak asasi manusia, penjajahan, dan genosida terhadap rakyat Palestina. Dunia internasional, termasuk negara-negara besar seperti Amerika Serikat, terus menunjukkan standar ganda dalam menyikapi krisis kemanusiaan ini.
Sejak 7 Oktober 2023, Israel terus melancarkan serangan besar-besaran di Gaza. Menurut laporan terbaru Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, lebih dari 46.788 warga Palestina, termasuk perempuan dan anak-anak, tewas akibat konflik ini. Pemboman tanpa henti melalui udara, laut, dan darat, juga mengakibatkan 110.453 lainnya terluka.
Baca Juga: Gencatan Senjata Israel-Palestina: Harapan Baru atau Sekadar Jeda?
Ribuan orang masih terjebak di bawah reruntuhan atau terlantar di jalan, tidak dapat diakses oleh tim penyelamat dan medis di tengah serangan yang terus berlangsung.
Meskipun gencatan senjata telah disepakati pada 15 Januari 2025, dampak kemanusiaan yang ditimbulkan sangatlah besar.
Laporan dari Amnesty International dan Human Rights Watch secara tegas menyebutkan adanya pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional yang dilakukan Israel. Amnesty International pada Desember 2024 merilis laporan berjudul “You Feel Like You Are Subhuman: Israel’s Genocide Against Palestinians in Gaza” yang menyimpulkan bahwa Israel telah melakukan kejahatan genosida terhadap warga Palestina di Jalur Gaza.
Penjajah Zionis Israel tidak hanya membombardir wilayah sipil, tetapi juga menargetkan fasilitas kesehatan, tempat ibadah, dan media. Ini adalah strategi untuk menghancurkan keberadaan dan identitas rakyat Palestina.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-40] Hidup di Dunia Hanya Sebentar
Konflik Israel-Palestina adalah isu kompleks yang memerlukan perhatian dan tindakan dari komunitas internasional. Tuduhan genosida yang dilaporkan oleh Amnesty International menambah urgensi untuk meninjau kembali kebijakan dukungan militer dan diplomatik terhadap Israel, serta mendorong penyelesaian yang menghormati hak asasi manusia dan hukum internasional.
Peran AS dan Standar Ganda
Dukungan Amerika Serikat terhadap Israel tidak dapat dipisahkan dari tragedi kemanusiaan di Palestina. AS terus memberikan bantuan militer dan perlindungan diplomatik di forum internasional.
Pada September 2024, Israel mengumumkan penerimaan paket bantuan militer dari Amerika Serikat senilai $8,7 miliar (sekitar Rp131,6 triliun). Paket ini terdiri dari $3,5 miliar untuk pengadaan kebutuhan perang mendesak dan $5,2 miliar untuk sistem pertahanan udara, termasuk Iron Dome, David’s Sling, dan sistem laser canggih.
Baca Juga: Mengatasi Kesulitan Sesama
Selain paket tersebut, Amerika Serikat telah mengalokasikan lebih dari $22 miliar (sekitar Rp356,8 triliun) untuk mendukung operasi militer Israel di Gaza, Lebanon, dan Suriah sejak 7 Oktober 2023. Bantuan ini mencakup pengiriman lebih dari 50.000 ton senjata hingga Agustus 2024, termasuk rudal untuk sistem pertahanan Iron Dome, bom presisi, helikopter serang AH-64 Apache, peluru artileri 155mm, amunisi penghancur bunker, dan kendaraan lapis baja.
Sejak 1946, Amerika Serikat telah memberikan lebih dari $310 miliar (sekitar Rp5 kuadriliun) dalam bentuk bantuan militer dan ekonomi kepada Israel. Perjanjian bantuan militer senilai $38 miliar yang ditandatangani pada 2016 masih berlaku hingga saat ini, dengan alokasi $3,8 miliar per tahun untuk pembiayaan militer asing dan pertahanan rudal.
Dukungan militer berkelanjutan dari Amerika Serikat ini menegaskan komitmen strategisnya terhadap keamanan Israel, meskipun menuai kritik dari berbagai pihak terkait dampaknya terhadap konflik di Timur Tengah.
AS secara historis merupakan sekutu dekat Israel, sering menggunakan hak veto di Dewan Keamanan PBB untuk melindungi Israel dari resolusi yang mengkritik tindakan militernya di Palestina. Dukungan ini sering dikritik karena memperpanjang konflik dan mengabaikan pelanggaran HAM yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina.
Baca Juga: Meraih Ketenangan Jiwa, Menggapai Kebahagiaan Sejati
Peran Media dalam Konflik
Media memiliki peran penting dalam membentuk opini publik terkait konflik ini. Namun, beberapa media arus utama di AS dituduh bias dalam pemberitaan, lebih menyoroti perspektif Israel dan mengabaikan penderitaan warga Palestina. Insiden pengusiran jurnalis dari konferensi pers Blinken menimbulkan pertanyaan tentang komitmen AS terhadap kebebasan pers.
Penyeretan Sam Husseini dan Max Blumenthal oleh aparat keamanan menunjukkan adanya tekanan terhadap jurnalis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Hal ini menjadi alarm tentang kebebasan pers di AS, negara yang selama ini mengklaim sebagai pelopor demokrasi.
Tanggapan Blinken yang meminta Husseini untuk “menghormati proses” dianggap sebagai penghindaran dari pertanggungjawaban moral atas dukungan AS terhadap Israel.
Baca Juga: Beberapa Kejanggalan dalam Kebakaran di California
Hal ini juga menyoroti fenomena kurangnya keberimbangan dalam pemberitaan konflik oleh media-media AS dan barat, dengan fokus pada narasi yang menguntungkan Israel dan mengabaikan penderitaan warga Palestina. Hal ini merujuk pada teori Manufacturing Consent oleh Noam Chomsky, di mana media digunakan untuk mendukung agenda politik tertentu.
Palestina Berhak Merdeka
Palestina berhak untuk merdeka dan menentukan nasibnya sendiri, bebas dari penjajahan dan penindasan Israel. Ini bukan hanya seruan moral, tetapi juga amanat dari hukum internasional. Resolusi PBB telah berkali-kali menegaskan hak rakyat Palestina untuk berdaulat di atas tanah airnya.
Insiden dalam konferensi pers Blinken menyoroti bagaimana suara-suara yang membela Palestina dibungkam. Kini, dunia tidak bisa lagi diam. Palestina berhak merdeka, dan genosida serta penjajahan Israel harus dihentikan!
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-39] Tidak Sengaja, Lupa, Berarti Tidak Dosa
[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Inilah Doa Ketika Melihat Kebakaran Sesuai Hadits