Oleh: Kedutaan Besar Pakistan untuk Indonesia di Jakarta
5 Januari menandai tanggal penting dalam sejarah Kashmir. Pada hari ini di tahun 1949 Komisi PBB untuk India dan Pakistan (UNCIP) mengadopsi resolusi yang mengarahkan kedua negara bahwa masa depan Kashmir akan diputuskan melalui plebisit yang akan diadakan ketika terjadinya kondisi terkait penarikan pasukan yang terkandung dalam perjanjian sebelumnya terpenuhi dan pengaturan untuk plebisit telah selesai. Hal ini telah membuat Sekretaris Jenderal PBB pada saat itu menunjuk Administrator Plebisit.
Hari ini diperingati oleh warga Kashmir di seluruh dunia sebagai pengingat kepada PBB & negara-negara anggotanya atas komitmen mereka yang belum terpenuhi kepada rakyat Kashmir.
Pada 1947, India dan Pakistan berperang memperebutkan Kashmir. India membawa sengketa Kashmir ke PBB pada 1 Januari 1948. Pada 1 Januari 1949, PBB membantu menegakkan gencatan senjata antara kedua negara dan mengukir garis gencatan senjata yang disebut Garis Kontrol.
Baca Juga: ICC Perintahkan Tangkap Netanyahu, Yordania: Siap Laksanakan
Hal itu merupakan hasil dari kesepakatan bersama antara India dan Pakistan bahwa Dewan Keamanan PBB (DK PBB) dan Komisi PBB untuk India dan Pakistan (UNCIP) mengeluarkan beberapa resolusi di tahun-tahun setelah perang 1947-48. Resolusi DK PBB pada tanggal 21 April 1948–salah satu resolusi utama PBB tentang Kashmir menyatakan bahwa baik India maupun Pakistan menginginkan agar masalah aksesi Jammu dan Kashmir ke India atau Pakistan harus diputuskan melalui metode demokrasi yang bebas dan tidak memihak plebisit. Resolusi DK PBB berikutnya menegaskan pendirian yang sama. Resolusi UNCIP 3 Agustus 1948 dan 5 Januari 1949 memperkuat resolusi DK PBB.
Sejak 1947 hingga saat ini, PBB telah mengadopsi beberapa resolusi dan dokumen yang berkaitan dengan sengketa Kashmir. Melalui resolusi tersebut, Dewan Keamanan PBB secara tegas menolak klaim India bahwa Kashmir secara hukum adalah wilayah India, dan menetapkan penentuan nasib sendiri sebagai prinsip yang mengatur penyelesaian sengketa Kashmir.
Upaya India untuk mengintegrasikan Kashmir ke dalam Persatuan India telah gagal karena para pemimpin utama Kashmir, partai dan penduduk menolak upaya ini. Orang-orang Kashmir menuntut agar mereka diberi kesempatan untuk memutuskan masa depan politik mereka, seperti yang dijanjikan oleh Resolusi PBB. Kepemimpinan India malah ingin menghancurkan permintaan ini dengan menggunakan kekuatan. Hal itu telah menyebabkan konflik terus-menerus antara pihak berwenang India dan rakyat Kashmir.
India telah menggunakan lembaga keamanan untuk mengontrol Kashmir yang sering mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia di Kashmir. Tindakan India didorong oleh pertimbangan menjaga Kashmir di bawah kendali terlepas dari hak asasi manusia atau pun biaya lain. Penggunaan pasukan keamanan dan kekuasaan negara yang berlebihan oleh India telah membuat Lembah Kashmir menjadi “Tragedi Kemanusiaan.”.
Baca Juga: Iran dan Arab Saudi Tegaskan Komitmen Perkuat Hubungan di Bawah Mediasi Tiongkok
Setelah mencabut Pasal 370 konstitusinya pada Agustus 2019, India telah menempatkan seluruh wilayah pendudukan di bawah pengepungan militer yang ketat, mengurung jutaan warga Kashmir di rumah mereka dan menangkap ribuan orang. Pemerintah Modi juga telah memberlakukan beberapa undang-undang federal dan memperkenalkan aturan domisili baru di IIOJK. Hal itu dilaporkan telah memberikan status domisili kepada ribuan non-Kashmiri Hindu termasuk beberapa perwira angkatan bersenjata India . Penduduk setempat khawatir bahwa lebih dari 800.000 tentara India dan lebih dari 600.000 buruh migran yang ada di wilayah itu mungkin juga akan diberikan status domisili dalam beberapa hari mendatang.
Rezim BJP, sebagai bagian dari kebijakan anti-Muslimnya, juga mengganti nama-nama Muslim di tempat dan departemen penting dengan nama-nama Hindu. Pemerintah Modi telah memulai proses delimitasi Lok Sabha dan konstituen majelis di Jammu dan Kashmir dengan tujuan untuk memberikan lebih banyak kursi ke wilayah divisi Jammu yang didominasi Hindu. Tujuan dasar di balik semua tindakan ilegal sepihak ini adalah untuk mengubah mayoritas Muslim di negara bagian menjadi minoritas. Ini juga bertujuan untuk merusak esensi resolusi perselisihan Kashmir dan mempengaruhi hasil yang menguntungkan India jika New Delhi dipaksa untuk mengadakan plebisit di Jammu dan Kashmir kapan saja di masa depan.
Pakistan dan Kashmir dengan tegas menolak langkah India dan menyerukannya untuk kembali ke posisi sebelum 5 Agustus 2019. Upaya Perdana Menteri India, Modi untuk mendapatkan dukungan bagi strategi Kashmir-nya dari para politisi Kashmir yang secara tradisional pro-India juga berakhir dengan kegagalan.
Pada Juni 2021, dia mengundang para pemimpin ini ke konferensi meja bundar tentang Kashmir. Ia mencari kesepakatan untuk rencana delimitasi agar membuka jalan bagi apa yang disebut pemilihan di Kashmir, yang pada gilirannya akan bertujuan untuk ‘mendukung’ tindakan 2019. Tetapi bahkan para pemimpin Kashmir yang dipilih sendiri tidak jatuh hati pada umpan yang diberikan ini. Pertemuan tersebut tidak memilliki hasil dan berakhir dengan kegagalan. Perwakilan asli rakyat Kashmir, yang membentuk Konferensi Semua Pihak Hurriyat, dikeluarkan. Mereka mencela pertemuan ini sebagai tidak lebih dari sebuah drama. Sementara itu, para pemimpin APHC terus mendekam di penjara atau tahanan rumah.
Baca Juga: Kemlu Yordania: Pengeboman Sekolah UNRWA Pelanggaran terhadap Hukum Internasional
Tahun lalu pada September 2021, pemerintah Pakistan merilis sebuah berkas, yang mendokumentasikan rincian pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh otoritas India di Kashmir. Berkas tersebut terdiri dari bukti audio, video, dan dokumenter yang memberatkan tentang pelanggaran berat hak asasi manusia, kejahatan perang, genosida, dan penyiksaan terhadap warga Kashmir oleh India. Dokumen setebal 131 halaman itu berisi 113 referensi termasuk 26 dari media internasional, 41 dari think-tank India dan hanya 14 dari Pakistan.
Komunitas internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, tidak acuh terhadap tindakan ilegal India di Jammu dan Kashmir dan telah berulang kali mengutuk tindakan ilegal ini.
DK PBB telah mengadakan pertemuan dengar pendapat sebanyak tiga kali sejak 05 Agustus 2019 tentang masalah ini. Pada 9 Juli 2020, dalam balasannya atas surat Perdana Menteri Imran Khan, Sekretaris Jenderal PBB menegaskan kembali posisi PBB bahwa situasi di Jammu & Kashmir diatur oleh Piagam PBB dan Resolusi Dewan Keamanan yang berlaku. PBB juga mengulangi seruannya untuk gencatan senjata di sepanjang Garis Kontrol (LOC).
The Genocide Watch telah mengeluarkan peringatan genosida untuk IIOJK. Menurut organisasi hak asasi manusia independen itu, lebih dari 100.000 orang Kashmir yang tidak bersalah telah dibunuh dan 25.000 wanita diperkosa sejak 1989.
Baca Juga: Parlemen Arab Minta Dunia Internasional Terus Beri Dukungan untuk Palestina
Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (UNHCR) dalam laporannya tentang Hak Asasi Manusia di Kashmir yang dirilis pada 14 Juni 2018 mengamati bahwa “kekebalan hukum atas pelanggaran hak asasi manusia dan kurangnya akses ke keadilan adalah tantangan hak asasi manusia utama di pemerintahan India yaitu negara bagian Jammu dan Kashmir.
Undang-undang khusus yang berlaku di negara bagian, seperti Undang-Undang Kekuatan Khusus Angkatan Bersenjata (Jammu dan Kashmir), 1990 (AFSPA)26 dan Undang-Undang Keamanan Publik Jammu dan Kashmir, 1978 (PSA) 27, telah menciptakan struktur yang menghalangi jalan normal hukum, menghambat akuntabilitas, dan membahayakan hak atas pemulihan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam laporan berikutnya yang dirilis pada 2019, UNHCR sekali lagi menuduh India melakukan pelanggaran hak asasi manusia di Kashmir dan menyerukan pembentukan komisi penyelidikan atas tuduhan tersebut. Dugaan pelanggaran oleh pasukan pendudukan India berkisar dari pembunuhan massal, penghilangan paksa, penyiksaan, pemerkosaan dan pelecehan seksual hingga represi politik dan penindasan kebebasan berbicara. India tidak hanya menolak laporan itu tetapi juga menuduh badan PBB itu membuat tuduhan palsu.
Dalam pidatonya di Dewan Hak Asasi Manusia, dalam sesi ke-43 pada tahun 2020, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Ms Michelle Bachelet mengecam India atas pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran di Jammu dan Kashmir. Dia menyatakan bahwa setelah mencabut Pasal 370 konstitusi, India telah memberlakukan pembatasan komunikasi dan keamanan secara menyeluruh. Dia menyebutnya sebagai ‘hukuman kolektif’ bagi penduduk.
Baca Juga: Ribuan Warga Yordania Tolak Pembubaran UNRWA
Organisasi Konferensi Islam (OKI) adalah pendukung konsisten masalah Kashmir, dan berulang kali mengutuk tindakan India. Sekretariat OKI serta Komisi Independen Hak Asasi Manusia OKI-IPHRC telah mengeluarkan banyak pernyataan dan laporan yang mengutuk tindakan ilegal dan sepihak India serta pelanggaran hak asasi manusia yang serius di IIOJK.
Pada akhir Sidang ke-47 Dewan Menteri Luar Negeri OKI (CFM) di Niger, Ketua pertemuan mengeluarkan Deklarasi Niamey, yang secara eksplisit menegaskan kembali “Posisi berprinsip OKI dalam sengketa Jammu dan Kashmir untuk penyelesaian damai sesuai dengan resolusi DK PBB yang relevan.”
Resolusi situasi di IIOJK juga diadopsi dengan suara bulat, yang dengan tegas menolak semua tindakan ilegal dan sepihak yang dilakukan oleh India sejak 5 Agustus 2019. Resolusi tersebut secara aklamasi menuntut India untuk membatalkan penerbitan surat keterangan domisili kepada non-Kashmiris serta tindakan sepihak dan illegal lainnya, termasuk ‘Perintah Reorganisasi Jammu & Kashmir 2020’, ‘Aturan Sertifikat Domisili Hibah Jammu & Kashmir 2020’, ‘RUU Bahasa Jammu dan Kashmir 2020’ dan amandemen undang-undang kepemilikan tanah.
Menolak kebijakan yang dijalankan oleh rezim RSS-BJP yang berkuasa, OKI meminta India untuk menahan diri dari mengambil langkah apa pun untuk mengubah struktur demografis yang ada di wilayah yang disengketakan.
Baca Juga: Wasekjen MUI Ingatkan Generasi Muda Islam Tak Ikuti Paham Agnostik
Kelompok Kontak OKI di Kashmir dalam beberapa pertemuannya dengan suara bulat menyerukan untuk membatalkan tindakan sepihak India, mengutuk pelanggaran hak asasi manusia orang Kashmir, dan menegaskan kembali dukungan untuk hak Kashmir dalam menentukan nasib sendiri.
Pada bulan September 2021, Menteri Luar Negeri Kelompok Kontak OKI tentang Jammu dan Kashmir, setelah pertemuan mereka yang terjadi di sela-sela pertemuan Majelis Umum PBB, mengeluarkan pernyataan bersama yang mengutuk India atas pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran di Jammu dan Kashmir yang diduduki India.
Pernyataan Bersama itu menyerukan komunitas global untuk meminta pertanggungjawaban India atas pelanggaran hak asasi manusia di wilayah yang disengketakan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa OKI telah memberikan penghormatan kepada perjuangan sah warga Kashmir atas hak mereka untuk menentukan nasib sendiri, dan mengutuk pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pasukan India sejak 1989. (AK/RE1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Iran: Referendum Nasional Satu-satunya Solusi Demokratis bagi Palestina