Dalam menjalani kehidupan sebagai seorang pedagang muslim, pemahaman mendalam tentang fiqih jual beli (muamalah) merupakan fondasi yang tidak bisa ditawar. Hal ini bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk ketaatan kita kepada Allah Ta’ala dan upaya untuk mendapatkan keberkahan dalam berdagang. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.” (Qs. An-Nisa: 29)
Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm menjelaskan bahwa ayat ini menjadi dasar fundamental dalam transaksi jual beli, dimana kerelaan kedua belah pihak menjadi syarat mutlak keabsahan sebuah transaksi.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah memberikan teladan sempurna dalam berdagang sebelum diangkat menjadi Nabi. Kejujuran dan amanahnya dalam berdagang membuatnya dijuluki Al-Amin (yang terpercaya). Dalam sebuah hadits, beliau bersabda:
التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الْأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ
“Pedagang yang jujur dan terpercaya akan bersama para nabi, orang-orang yang jujur dan para syuhada.” (HR. Tirmidzi)
Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim mengomentari bahwa hadits ini menunjukkan tingginya derajat pedagang yang jujur di sisi Allah, sampai-sampai disejajarkan dengan para nabi, shiddiqin, dan syuhada.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Dalam menjalankan bisnis, seorang pedagang muslim harus memahami rukun dan syarat jual beli. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menekankan pentingnya memahami empat rukun jual beli: penjual (ba’i), pembeli (musytari), barang yang diperjualbelikan (ma’qud ‘alaih), dan ijab qabul (shighat).
Selain itu, pemahaman tentang hal-hal yang membatalkan jual beli juga sangat krusial. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Qs. Al-Baqarah: 275)
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini membantah kekeliruan kaum musyrikin yang menyamakan jual beli dengan riba. Ada perbedaan fundamental antara keduanya yang harus dipahami oleh setiap pedagang muslim.
Dalam konteks modern, pemahaman fiqih jual beli semakin relevan mengingat kompleksitas transaksi yang semakin beragam. Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi dalam Fiqh Az-Zakah menekankan pentingnya memahami zakat perdagangan dan cara menghitungnya dengan benar.
Mengenai etika berdagang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi bersabda,
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
“Barangsiapa yang menipu kami, maka dia bukan golongan kami.” (HR. Muslim). Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa hadits ini mencakup segala bentuk penipuan dalam jual beli, baik dalam kualitas, kuantitas, maupun harga barang.
Konsep khiyar (hak pilih) dalam jual beli juga perlu dipahami dengan baik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi bersabda,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
“Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar selama keduanya belum berpisah.” (HR. Bukhari)
Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam Syarh Bulugh Al-Maram menjelaskan bahwa hadits ini memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk mempertimbangkan kembali transaksi mereka.
Pemahaman tentang akad-akad dalam jual beli juga sangat penting. Imam Malik dalam Al-Muwatha’ menjelaskan berbagai bentuk akad yang diperbolehkan dan yang dilarang dalam syariat.
Adapun mengenai penetapan harga, Islam memberikan kebebasan kepada pedagang selama tidak merugikan pihak lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi bersabda ketika diminta menetapkan harga,
إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ
Baca Juga: Amerika itu Negara Para Pendatang!
“Sesungguhnya Allah-lah yang menetapkan harga, yang menahan, yang mengulurkan, dan yang memberi rezeki.” (HR. Abu Dawud). Ibnu Taimiyah dalam Al-Hisbah fil Islam menjelaskan bahwa intervensi harga diperbolehkan jika ada kezaliman di pasar atau kebutuhan masyarakat mendesak.
Terakhir, seorang pedagang muslim harus selalu mengingat bahwa tujuan berdagang bukan semata-mata mencari keuntungan duniawi, tetapi juga sebagai sarana beribadah kepada Allah Ta’ala. Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa niat yang benar dalam berdagang akan mengangkat derajat aktivitas ekonomi menjadi ibadah.
Kesimpulannya, pemahaman fiqih jual beli bukan sekadar formalitas, tetapi merupakan panduan komprehensif yang akan membawa keberkahan dalam perdagangan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
Baca Juga: Indonesia, Pohon Palma, dan Kemakmuran Negara OKI
“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (Qs. At-Talaq: 2-3)
Memahami fiqih jual beli merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang ingin terjun ke dunia perdagangan. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Surah An-Nisa ayat 29 yang menekankan pentingnya transaksi yang didasari kerelaan dan ketentuan syariah. Pemahaman ini bukan sekadar formalitas, tetapi merupakan bentuk ketaatan kepada Allah SWT dan upaya untuk mendapatkan keberkahan dalam berdagang.
Dalam praktiknya, seorang pedagang muslim harus memperhatikan rukun dan syarat jual beli, yang mencakup penjual (ba’i), pembeli (musytari), barang yang diperjualbelikan (ma’qud ‘alaih), dan ijab qabul (shighat). Selain itu, pedagang juga harus menghindari praktik-praktik yang dilarang seperti riba, gharar (ketidakjelasan), dan penipuan dalam berbagai bentuknya. Sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi yang diriwayatkan oleh Muslim, “Barangsiapa yang menipu kami, maka dia bukan golongan kami.”
Pada akhirnya, tujuan mempelajari dan menerapkan fiqih jual beli bukan semata-mata untuk mencari keuntungan duniawi, tetapi juga sebagai sarana ibadah kepada Allah. Pedagang yang jujur dan amanah memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa mereka akan dikumpulkan bersama para nabi, shiddiqin, dan syuhada di hari kiamat.
Baca Juga: Kemenangan Trump dan Harapan Komunitas Muslim Amerika
Dengan memahami dan mengamalkan fiqih jual beli, seorang pedagang tidak hanya akan mendapatkan keuntungan finansial, tetapi juga keberkahan dalam usahanya dan keselamatan di akhirat kelak, sebagaimana firman Allah dalam Surah At-Talaq ayat 2-3 yang menjanjikan rezeki dan jalan keluar bagi orang-orang yang bertakwa.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-6] Tentang Halal dan Haram