Rakhine, MINA – Penutupan akses internet di Rakhine, Myanmar, yang dilanda konflik di barat laut, digambarkan oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia sebagai yang terlama di dunia dan telah memasuki tahun kedua.
Warga lokal dan kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) mengimbau untuk mengakhiri penutupan karena virus corona baru (COVID-19) yang mencengkeram wilayah tersebut, Aljazeera melaporkan pada Ahad (21/6).
Pemerintah Myanmar menutup akses internet di beberapa kota di seluruh negara bagian Rakhine dan negara bagian tetangga Chin pada 21 Juni tahun lalu, menyebabkan kepanikan di antara penduduk yang ingin mendapatkan informasi tentang kerusuhan yang terjadi sejak Januari 2019 antara militer Myanmar yang terlibat perang saudara melawan Tentara Arakan (AA), kelompok pemberontak yang memperjuangkan lebih banyak otonomi bagi etnis Buddha Rakhine. .
Lembaga Human Rights Watch (HRW) menyerukan untuk segera mengakhiri “penutupan akses internet terpanjang yang diberlakukan pemerintah”.
Baca Juga: Kota New Delhi Diselimuti Asap Beracun, Sekolah Diliburkan
“Sangat penting bagi warga sipil untuk mendapatkan informasi yang diperlukan untuk tetap aman selama pandemi global,” kata perwakilan HRW Linda Lakhdhir.
Awal bulan ini, seorang pejabat pemerintah mengatakan penutupan internet akan berlanjut hingga setidaknya 1 Agustus di delapan kota.
Kelompok-kelompok HAM juga mengutuk penutupan beberapa situs media lokal dan mendesak perusahaan telekomunikasi untuk menolak perintah pemerintah.
Hanya sedikit di Myanmar yang memiliki komputer pribadi, mayoritas mengandalkan ponsel untuk mengakses internet untuk komunikasi dan informasi, membuat mereka yang berada di bawah penutupan akses sangat rentan terhadap COVID-19.
Baca Juga: Ratusan Ribu Orang Mengungsi saat Topan Super Man-yi Menuju Filipina
“Kami ingin mengetahui lebih banyak informasi mengenai COVID-19, apa yang terjadi pada orang-orang terlantar di Sittwe [ibukota Rakhine] dan apa yang terjadi di Bangladesh,” kata Abdullah, seorang warga Rohingya dari kota Mrauk U mengatakan kepada kantor berita AFP melalui telepon.
Seorang calon medis, lelaki Rohingya berusia dua puluhan yang menolak untuk diidentifikasi, mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa dia telah belajar bahasa Inggris di YouTube dan memberi orang nasihat medis melalui video, tetapi tidak lagi mampu. “Akan sangat mudah jika saya mendapatkan internet,” katanya.
Mantan utusan HAM PBB Yanghee Lee mengatakan penutupan itu bisa digunakan untuk menyembunyikan kejahatan perang.
Negara bagian Rakhine merupakan rumah bagi etnis Rohingya, sebuah kelompok minoritas yang sebagian besar Muslim yang menghadapi tindakan brutal oleh militer pada 2017. Sekitar 750.000 orang melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh yang menyebabkan tuduhan genosida terhadap Myanmar di pengadilan tinggi PBB, dan ada 600.000 orang Rohingya yang berada di Rakhine hidup dalam apa yang disebut Amnesty International sebagai “kondisi apartheid”, dengan sedikit kebebasan bergerak. (T/R6/P1)
Baca Juga: Filipina Kembali Dihantam Badai
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Iran, Rusia, Turkiye Kutuk Kekejaman Israel di Palestina dan Lebanon