Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

PENYALAHGUNAAN PERZINAAN MELALUI LEGALISASI ABORSI

Ali Farkhan Tsani - Rabu, 20 Agustus 2014 - 06:53 WIB

Rabu, 20 Agustus 2014 - 06:53 WIB

2172 Views

ilustrasi : youm7
ilustrasi : youm7

ilustrasi : youm7

Oleh : Ali Farkhan Tsani, Redaktur Mi’raj Islamic News Agency (MINA) 

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi pada 21 Juli 2014 lalu. Dalam PP tersebut pengakhiran kehamilan secara sengaja (aborsi) alias membunuh janin mendapat legalisasi atau diperbolehkan dengan beberapa syarat antara lain korban perkosaan.

Pada Pasal 31 ayat (1) disebutkan, “Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan : indikasi kedaruratan medis; atau kehamilan akibat perkosaan.

Selanjutnya, pada ayat (2) dikatakan, “Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Kemudian, Pada Pasal 35 ayat (1) disebutkan, “Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab”.

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan bahwa masalah aborsi dalam PP tersebut, hanya bisa dilakukan untuk dua hal, yaitu untuk kedaruratan medis misalnya nyawa ibu atau janin terancam, serta pengecualian kedua untuk korban perkosaan.

“Tidak boleh ada aborsi kecuali untuk kedua alasan itu,” kata Menkes kepada wartawan di kantor Kepresidenan, Jakarta, Rabu (14/8/2014).

Menkes Nafsiah Mboi menjelaskan, PP Nomor 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi itu disusun dalam kurun waktu lima tahun sejak diundangkan. Baru keluar 2014, jadi dibahas secara mendalam, ujarnya.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

PP itu sendiri, lanjut Nafsiah, dibahas oleh tim lintas sektoral, antara lain, berasal dari kementerian/lembaga, tokoh agama hingga ahli hukum.

Terkait dengan bunyi PP yang menyebutkan, masalah aborsi sebelum 40 hari tumbuhnya janin itu bukan pembunuhan, menurut Nafsiah, itu didasarkan pada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahwa dalam jangka waktu tersebut, ruh belum ditiupkan ke dalam janin karena baru berupa segumpal darah.

Menurut Nafsiah, aborsi akibat perkosaan harus dibuktikan dengan usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter serta keterangan penyidik, psikolog, atau ahli lain mengenai dugaan adanya perkosaan.

Menkes beralasan, pada masa lalu, bisa saja seorang perempuan, diperkosa, lalu hamil. Tapi masalahnya, kata dia, apakah dia harus terpaksa seumur hidup menanggung biaya anak yang merupakan akibat perkosaan.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Sebelumnya, Juru Bicara (Jubir) Julian Aldrin Pasha mengatakan, Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi itu tidak berfokus pada soal legalisasi aborsi, melainkan mengenai pelayanan dan pemeliharaan kesehatan perempuan.

Julian menegaskan, peraturan itu dikeluarkan pemerintah dengan maksud baik, khususnya bagi kaum perempuan. “Tidak ada PP yang dikeluarkan dengan niat tidak baik. Tapi untuk melindungi, untuk protect. Kalau ada implikasi lain, bisa kita carikan solusinya,” kata Julian di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Rabu (13/8/2014).

“Kalau ada masukan atau saran, termasuk tadi disebutkan soal aborsi, saya kira akan dipertimbangkan,” ujarnya.

Legalisasi Aborsi

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Sejumlah kalangan menyatakan tidak setuju bahkan mempermasalahkan legalisasi praktik aborsi tersebut.

Wakil Ketua Komisi IX DPR, Irgan Chairul Mahfiz, mengatakan, aborsi sama saja dengan menghilangkan hak hidup seseorang. Alasan pelaku adalah korban pemerkosaan, tidak bisa menjadi legitimasi bagi tindakan aborsi.

Menurutnya, PP ini justru bisa berpotensi menjadi celah untuk melakukan aborsi dengan alasan atau berpura-pura sebagai korban pemerkosaan. “Karena itu, legalisasi aborsi bagi wanita korban pemerkosaan kurang tepat,” ujarnya

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zaenal Abidin menilai aborsi bertentangan dengan hati nurani dan nilai-nilai kemanusiaan.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Bahkan, menurutnya, aborsi melanggar KUHP, khususnya Pasal 338 yaitu sengaja menghilangkan nyawa. Juga bertentangan dengan etika kedokteran.

Ia menambahkan, praktik aborsi adalah tindakan menghilangkan hak hidup seorang anak. Padahal, sumpah profesi dokter adalah menjamin kelestarian kehidupan manusia sejak dari dalam kandungan.
“Kami para dokter disumpah untuk melestarikan kehidupan,” katanya.

Zaenal juga khawatir, praktik aborsi akan berujung pada dipidananya para dokter. Apalagi, dalam KUHP, ancaman hukuman terhadap dokter yang melakukan praktik aborsi lebih berat dibanding kan pihak terlibat lainnya. “Jadi, saya berharap agar tidak melibatkan dokter dalam tindakan aborsi,” kata Zainal.

Dia meminta PP Kesehatan Reproduksi dievaluasi dengan mendudukkan aturan yang lain sehingga aturan tersebut tidak berkonsekuensi ganda.

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Revisi tentunya dengan mempertimbangkan aspek sosiologis masyarakat, adat istiadat, etika, kesusilaan, dan agama. Zaenal menegaskan, tidak satu pun agama di Indonesia yang membolehkan aborsi.

Usulan revisi juga disampaikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Seperti disampaikan Wakil Ketua KPAI, Maria Advianti yang menyatakan adanya tumpang-tindih peraturan dalam PP 61/2014.

“Di dalam UU Perlindungan Anak, seorang anak harus dijamin hak hidupnya,” ujar Maria.
Menurutnya, alasan beban psikologis yang ditanggung oleh wanita hamil akibat korban pemerkosaan belum cukup untuk menjadi alasan penghilangan nyawa anak dalam kandungannya.

Peraturan seperti PP Kesehatan Reproduksi juga dinilainya cukup rawan dimanfaatkan oleh kalangan yang tidak bertanggung jawab.

Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati

Kapolri Jenderal Polisi Sutarman juga bersuara soal PP Kesehatan Reproduksi. Menurutnya, peraturan ini bisa menjadi persoalan dan perlu didiskusikan lagi dengan melibatkan seluruh komponen bangsa.

“Saya kira cara-cara melegalkan aborsi akan berbahaya bagi kehidupan,” kata Sutarman.

Sutarman setuju tindakan aborsi untuk alasan medis.Namun, dalam konteks untuk korban pemerkosaan, menurutnya, ia masih meragukannya.

Ketua Pansus RUU Kesehatan DPR Umar Wahid mengusulkan, revisi aturan lebih baik ditujukan pada Undang-Undang Kesehatan sebagai payung hukum dari PP Nomor 61 Tahun 2014 melalui judicial review.

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah

Umar menerangkan, revisi UU Kesehatan pada 2009 memang mengarah pada dibolehkannya aborsi dengan syarat-syarat yang sangat ketat.

Adapun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan, legalisasi aborsi yang termuat dalam PP 61/2014 tidak bertentangan dengan HAM.

“Ini sebuah pengecualian di mana perempuan meru pakan korban. Hal itu tidak melanggar HAM,” kata Komisioner Komnas HAM Siti Noor Laila.

Sekjen Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia (DMI) Imam Addaruquthni mengatakan, mestinya pemerintah harus lebih hati-hati dan sensitif bila ingin mengeluarkan produk undang-undang atau peraturan agar tidak menimbulkan kontroversi di masyarakat.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh

DMI menghimbau pemerintah dalam hal ini Presiden SBY untuk meninjau kembali PP No. 61/2014 yang di antara pasalnya melegalkan praktik aborsi untuk kondisi tertentu.

“Peninjauan kembali dan membatalkan atau menarik kembali demi menghindarkan sebagian masyarakat bahkan tenaga medis yang cenderung pragmatis dan permisif bahkan menyimpang. Jika tidak, maka praktik aborsi bisa menggejala terutama di kalangan remaja yg selama ini telah dikhawatirkan semakin banyak yang melakukan hubungan seksual bebas,” papar Imam.

Menurut Imam, PP legalisasi aborsi kebablasan sehingga tidak sesuai dengan semangat UU Kesehatan No 36/2014 pasal 75 ayat 1.

“PP yang melegalkan aborsi ini bisa dimanfaatkan untuk sengaja menggugurkan janin dalam kandungan karena tidak dikehendaki. Dan membunuh anak (janin) jelas dilarang dalam agama manapun,” paparnya.

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam

Penyalahgunaan Perzinaan

Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia  (MHTI),  Iffah Ainur Rochmah, mengkritik Peraturan Pemerintah (PP) no. 61/2014 tentang legalisasi aborsi bagi korban perkosaan demi kesehatan reproduksi.

Menurutnya,  ada dua hal penting untuk dikritisi, yaitu tentang legalisasi aborsi bagi korban perkosaan dan terkait konsep kesehatan reproduksi yang memayungi legalisasi aborsi tersebut.
“Sangat disayangkan bila ada pihak-pihak yang membolehkan aborsi, walaupun dengan alasan korban pemerkosaan,” ujarnya.

PP ini katanya, memungkinkan disalahgunakan oleh pelaku perzinaan untuk melegalkan aborsi hasil kemaksiatannya.

“PP ini juga memberi peluang Kehamilan Tak Diinginkan (KTD) hasil perzinaan, gagal KB, kehamilan yang dianggap menghambat karir dan kerja, untuk menuntut legalisasi aborsi sebagaimana sudah terjadi di negara-negara liberal,” tambahnya.

Konsep Kesehatan Reproduksi hanyalah menjadi alat bagi organisasi kesehatan dunia di bawah PBB, WHO agar terwujud liberalisasi seksual di negeri-negeri muslim, paparnya.

Menurutnya, bila sungguh-sungguh mewujudkan konsep Kespro demi melindungi perempuan, maka untuk kasus perkosaan semestinya pemerintah tidak menerbitkan regulasi untuk memberi hak aborsi, meski pada batas usia kehamilan yang dibolehkan.

“Justru yang lebih penting adalah melakukan penegakan hukum tegas bagi pelaku perkosaan dan memberikan bantuan pengobatan untuk korban,” tambahnya

Saat ini, para pelaku zina tidak jera karena hukuman yang ringan dan pemerintah. Pemerintah telah gagal melindungi perempuan agar tidak menjadi korban perkosaan berikutnya, imbuh Iffah.

“Semestinya seluruh komponen bangsa ini menyampaikan koreksi atas kebijakan ini dan mendorong pemerintah melakukan revisi atas peraturan-peraturan buatan manusia yang lemah dan gagal mewujudkan kemaslahatan bagi semua,” paparnya.

Tentang hal itu, Muslimah Jama’ah Muslimin (Hizbullah) mengkritisinya sebagai pelegalan pembunuhan terhadap manusia dan sangat rawan dengan pelanggaran.

Koordinator Aktivis Perempuan Jama’ah Muslimin (Hizbullah), Ustadzah Maghfiroh menegaskan, setiap individu memiliki kewajiban untuk memelihara kehidupan bayi tersebut dan melindunginya, meski itu berasal dari hubungan haram.

“Kita harus memelihara kehidupan si bayi, meski dia dari hubungan haram dan tetap dilindungi,” tegasnya.

Dia mengatakan bahwa anak itu lahir dalam keadaan suci dan bukan haram seperti yang disebut banyak orang, yang haram adalah perbuatan orang tuanya dengan berzina.

Menurutnya, Islam memberikan solusi kepada pelaku perzinahan berupa hukuman dan jika dilakukan atas dasar keimanan maka pelaku akan mendapat kemuliaan di dunia dan akhirat.

Untuk mereka korban yang dipaksa melakukan perzinahan dan tidak mengetahui hukum, menurutnya tidak sama jalan keluar yang diberikan kepada para korban dan pelaku perzinahan, karena Islam sangat adil. Mereka yang terpaksa dan dipaksa serta tidak mengetahui hukum hendaknya diberikan bimbingan, penyuluhan, pendamping khusus dan mengarahkan mereka kepada Islam yang benar yang kemudian melahirkan kesadaran untuk bertobat dan berjanji tidak mengulanginya kembali.

Ustadzah Maghfiroh menghimbau kepada seluruh orang tua yang memiliki anak perempuan sebagai pemegang peran penting dalam keluarga agar berhati-hati dan menjaga puterinya dengan mendekatkan diri pada Allah dan memberikan perhatian dan pelukan kepada anak adalah penting dilakukan.

Ketua Aktivis Perempuan Hizbullah Lampung, Ustadzah Heni Nurhasanah juga membenarkan hal tersebut, dengan mengatakan penolakan alasan aborsi dengan syarat yang ditetapkan dalam PP dimaksud, yakni tindakan tersebut boleh dilakukan pada usia kandungan 40 hari.

“Aborsi dengan syarat janin berumur 40 hari sama sekali tidak dibenarkan dalam Islam, karena setiap Individu memiliki hak untuk hidup,” tegasnya.

Ustadzah Heni menyatakan kekecewaannya terhadap pemerintah di mana Indonesia sebagai mayoritas Muslim tidak bisa membuat kebijakan yang sesuai dengan ajaran Islam, padahal Jerman yang penduduknya mayoritas non-Muslim saja, menyatakan  penolakan pada legalitas aborsi.

“Jerman saja bisa, kenapa Indonesia sebagai mayoritas Mulim malah membuat peraturan yang menyalahi syari’at,” tandasnya.

Tinjauan Syariah

Di dalam Al-Quran sangat jelas disebutkan bagaimana hukumnya membunuh jiwa, seperti pada firman Allah,

وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِى حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّ‌ۗ وَمَن قُتِلَ مَظۡلُومً۬ا فَقَدۡ جَعَلۡنَا لِوَلِيِّهِۦ سُلۡطَـٰنً۬ا فَلَا يُسۡرِف فِّى ٱلۡقَتۡلِ‌ۖ إِنَّهُ ۥ كَانَ مَنصُورً۬ا 

Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. “ (Q.S. Al Isra [17] : 33).

Pada ayat lain disebutkan,

مَن قَتَلَ نَفۡسَۢا بِغَيۡرِ نَفۡسٍ أَوۡ فَسَادٍ۬ فِى ٱلۡأَرۡضِ فَڪَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعً۬ا وَمَنۡ أَحۡيَاهَا فَڪَأَنَّمَآ أَحۡيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعً۬ا‌ۚ وَلَقَدۡ جَآءَتۡهُمۡ رُسُلُنَا بِٱلۡبَيِّنَـٰتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرً۬ا مِّنۡهُم بَعۡدَ ذَٲلِكَ فِى ٱلۡأَرۡضِ لَمُسۡرِفُونَ

Artinya : “Barang siapa yang membunuh seorang manusia, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara keselamatan nyawa seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara keselamatan nyawa manusia semuanya.” (Q.S. Al-Maidah [5] : 32).

Juga firman-Nya,

وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَوۡلَـٰدَكُمۡ خَشۡيَةَ إِمۡلَـٰقٍ۬‌ۖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُهُمۡ وَإِيَّاكُمۡ‌ۚ إِنَّ قَتۡلَهُمۡ ڪَانَ خِطۡـًٔ۬ا كَبِيرً۬ا 

Artinya : ”Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut melarat. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu juga. Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa yang besar.” (Q.S. Al-Isra [17] : 31).

Juga firman-Nya,

وَمَن يَقۡتُلۡ مُؤۡمِنً۬ا مُّتَعَمِّدً۬ا فَجَزَآؤُهُ ۥ جَهَنَّمُ خَـٰلِدً۬ا فِيہَا وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ وَلَعَنَهُ ۥ وَأَعَدَّ لَهُ ۥ عَذَابًا عَظِيمً۬ا

Artinya : “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahanam, dan dia kekal di dalamnya,dan Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan baginya adzab yang besar”. (Q.S. An-Nisa’ [4] : 93).

Memang ada perbedaan dalam menafsirkan menggugurkan janin sebelum peniupan roh, seperti disebutkan di dalam Syarah Fathul Qadir, yang menyebutkan, bahwa menggugurkan janin sebelum peniupan ruh hukumnya boleh.

Mereka berdalih dengan hadits Ibnu Mas’ud yang menunjukkan bahwa sebelum empat bulan, ruh belum ditiup ke janin dan penciptaan belum sempurna, serta dianggap benda mati, sehingga boleh digugurkan.

Namun, di dalam Nihayatul Muhtaj dikatakan, bahwa untuk kehati-hatian, tidak boleh menggugurkan janin, sebab waktu peniupan ruh tidak diketahui secara pasti, siapa yang tahu?

Bahkan di dalam Syarah Kabir dan Ihya Ulumuddin difatwakan, menggugurkan janin sebelum peniupan ruh sekalipun, hukumnya tetap haram. Dalilnya bahwa  air mani sudah tertanam dalam rahim dan telah bercampur dengan ovum wanita sehingga siap menerima kehidupan, maka merusak wujud ini adalah tindakan kejahatan.

Yang jelas, tidak ada satupun ayat di dalam Al-Quran atau hadits shahih yang menyatakan bahwa aborsi boleh dilakukan oleh umat Islam. Sebaliknya, banyak sekali ayat-ayat yang menyatakan bahwa janin dalam kandungan itu sangat mulia, serta banyak ayat-ayat yang menyatakan bahwa hukuman bagi orang-orang yang membunuh  sesama manusia adalah sangat mengerikan.

Allah menegaskan di dalam firman-Nya,

وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَوۡلَـٰدَكُمۡ خَشۡيَةَ إِمۡلَـٰقٍ۬‌ۖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُهُمۡ وَإِيَّاكُمۡ‌ۚ إِنَّ قَتۡلَهُمۡ ڪَانَ خِطۡـًٔ۬ا كَبِيرً۬ا 

Artinya, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu juga. Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa yang besar.” (Q.S. Al-Isra [17] : 31).

Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah menganjurkan sekalipun untuk aborsi. Bahkan dalam kasus hamil di luar nikah pun, Nabi sangat menjunjung tinggi kehidupan.

Hamil di luar nikah berarti hasil perbuatan zina. Hukum Islam sangat tegas terhadap para pelaku zina, adalah pelaku zina yang dihukum, bukan janin di dalam perut yang di-aborsi. Bahkan beliau sampai memerintahkan kepada seorang wanita yang minta dihukumi akibat berbuat zina, beliau minta hukuman diberlakukan setelah bayi lahir. (T/R1/IR).

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Tausiyah
Kolom