Oleh: Rofikasari Mutmainah (Magister Pendidikan Agama Islam UIN Malang, dan kini berdomisili di kota Jombang)
Keluarga (kawula warga) adalah suatu kesatuan sosial terkecil yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tempat tinggal dan ditandai oleh kerjasama okonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merawat dan sebagainya (Wahyu MS, 1986, hal 37).
Keluarga sebagai pranata sosial pertama dan utama, mempunyai arti paling strategi dalam mengisi dan membekali religious values (nilai-nilai keagamaan) yang dibutuhkan anggotanya dalam mencari makna kehidupannya. Dari sana mereka mempelajari sifat-sifat mulia, kesetiaan, kasih sayang dan sebagainya.
Keluarga merupakan denyut nadi kehidupan yang dinamis dan termasuk salah satu pranata yang secara konstributif mempunyai andil besar dalam pembentukan, penanaman, pertumbuhan, dan pengembangan pendidikan karakter anak, karena keluarga dibangun lewat hubungan-hubungan kemanusiaan yang akrab dan harmonis serta lahir dan tumbuh gejala sosial dan pendidikan di lingkungan pergaulan keluarga (Fatah Yasin, 2008, hal 203-205).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta
Proses pendidikan dalam keluarga secara primer tidak dilaksanakan secara pedagogik (berdasarkan teori-teori pendidikan), melainkan hanya berupa pergaulan dan hubungan yang disengaja atau tidak disengaja dan langsung maupun tidak langsung antara orang tua dengan anak. Bagaimanapun wujud pergaulan dan hubungan tersebut, didalamnya terjalin dan berjalan pengaruh berlangsunya secara kontiyu antara keduanya.
Pengaruh itu berdasarkan ikatan darah yang bersifat rohaniah. Bahkan pengaruh yang tidak disengaja tersebut lebih penting dan berperang dibandingkan dengan pendidikan yang disengaja atau yang diselenggarakan menurut rencana tertentu (Fatah Yasin, 2008, hal 207).
Poggeler menggambarkan pendidikan keluarga sebagai pendidikan yang tidak terorganisasi, tetapi pendidikan yang organis berdasarkan spontanitas, intuisi, pembiasaan dan improvisasi. Biarpun pendidikan keluarga mempunyai tujuan dan persoalan yang disadari, namun cara berprilakunya hanya menurut keadaan yang timbul.
Karakter, seperti juga kualitas diri yang lainnya, tidak berkembang dengan sendirinya. Perkembangan karakter pada setiap individu dipengaruhi oleh faktor bawaan, faktor sosialisasi dan lingkungan. Yang menurut Thomas Lichona, pendidikan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Erik Erikson yang terkenal dengan teori Psychososial-nya juga mengatakan hal yang sama. Dalam hal ini anak adalah gambaran awal manusia menjadi manusia, yaitu dimana kebajikan berkembang perlahan tapi pasti.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari
Dengan kata lain dasar-dasar kebajikan gagal ditanamkan pada anak disusian dini, maka dia akan menjadi orang dewasa yang tidak memiliki nilai-nilai kebajikan, begitu juga sebaliknya (Masnur Muslich, 2001, hal 95). Maka dari sini keluarga berperan aktif dalam menanamkan nilai-nilai karakter sejak dini dikarenakan pendidikan yang pertama dan utama terjadi di dalam lingkungan keluarga.
Tentu saja kebiasaan baik atau buruk pada diri seseorang, yang mengindikasikan kualitas karakter ini, tidak terjadi dengan sendirinya. Telah disebutkan bahwa selain faktor nature, faktor nurture juga berpengaruh. Dengan kata lain, proses sosialisasi atau pendidikan yang dilakukan oleh keluarga, sekolah, lingkungan yang lebih luas memegang peranan penting, bahkan lebih penting, dalam pembentukan karakter seseorang.
Menurut Megawangi, anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarkter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter sehingga fitrah setiap anak yang dilahirkan suci dapat berkembang segera optimal. Mengingat lingkungan anak bukan saja lingkungan keluarga yang sifatnya mikro maka semua pihak, keluarga, sekolah, media masa, komunitas bisnis dan sebagainya turut andil dalam perkembangan karakter anak (Masnur Muslich, 2001, hal 97).
Pakar pendidikan William Bennett juga menyatakan keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi penanaman nilai-nilai karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan internalisasi nilai-nilai karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya.
Baca Juga: Sejarah Al-Aqsa, Pusat Perjuangan dari Zaman ke Zaman
Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak dirumah.
Kendala dalam Menanamkan Nilai-nilai Karakter
Dalam melakukan pekerjaan kerapkali muncul kendala-kendala yang dapat menghambat proses pelaksanaan pekerjaan tersebut, begitu pula dalam menanamkan nilai-nilai karakter pada anak, tidak sedikit kendala yang harus dihadapi oleh orang tua, antara lainya adalah sebagai berikut:
Kendala ini bersumber dalam diri pribadi anak, kendala-kendala itu dapat berupa anak malas, keinginan bermain yang berlebihan, sikap tidak mau dididik atau sikap melawan, gangguan kesehatan seperti tuna dasta dan lain-lain
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
Kendala ini bersumber dari luar diri anak. Kendala-kendala itu dapat berupa perilaku orang tua yang terlalu keras, terlalu otoriter, terlalu memanjakan, terlalu khawatir, terlalu lemah, terlalu egois, terlalu pesimistis, terlalu banyak aturan dan permintaan dan hubungan yang kurang harmonis dengan anak.
Kendala lain yang termasuk kendala eksternal ini adalah keadaan ekonomi keluarga yang kurang menguntungkan, hubungan ayah dan ibu yang tampak dimata anak kurang harmonis (sering bertengkar di hadapan anak), serta hubungan dengan kakak dan adik yang kurang harmonis pun dapat menjadi kendala eksternal (M. Sahlan Syafei, 2008, hal 88). (T/P4/R02)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia