Oleh: Jeffry Nugraha,ST., MM., Pemerhati Ekonomi Syariah
Sebelum kita membahas peran perbankkan syari’ah, alangkah baiknya kita kupas terlebih dahulu berkaitan dengan pengertian pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan pembangunan ekonomi (economic development) mempunyai pengertian yang berbeda. Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu keadaan di mana terdapat peningkatan produk domestic bruto dari suatu Negara atau masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi dikatakan meningkat jika terdapat kenaikan Product Domestic Bruto (PDB) dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi biasanya hanya menyangkut ukuran fisik berupa peningkatan hasil produksi barang dan jasa.
Baca Juga: Hadiri Indonesia-Brazil Business Forum, Prabowo Bahas Kerjasama Ekonomi
Berdasarkan penjelasan ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan suatu keadaan di mana terjadi kenaikan PDB suatu Negara, tanpa memandang apakah kenaikan tersebut lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduknya.
Sedangkan pembangunan ekonomi merupakan suatu proses perubahan yang terus menerus menuju perbaikan di segala bidang kehidupan masyarakat yang berdasarkan kepada seperangkat nilai yang dianutnya, dan menuntun mereka untuk mencapai tingkat kehidupan yang diinginkan.
Pembangunan ekonomi tidak hanya dikukur dengan peningkatan bidang fisik, tetapi juga sudah memperhatikan peningkatan kualitas hasil produksi, peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat, penurunan tingkat pengangguran, serta menurunnya kesenjangan pendapatan di antara strata masyarakat.
Jadi, pertumbuhan ekonomin menekankan pada kenaikan tanpa melihat akibat atau tanpa memperbaiki kondisi yang ada dengan penekanan terletak pada pertambahan sarana seperti jalan, gedung, dan saran transportasi. Adapun pembangunan ekonomi penekananya terletak pada pertumbuhan secara fisik serta perbaikan kelembagaan, kondisi ekonomi, sikap, dan struktur yang ada agar lebih berhasil supaya berdaya guna.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Peran Perbankan Syariah
Perbankan syari’ah yang pengelolaannya berdasarkan mekanisme syariah menekankan kepada visi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi mengenai bagi hasilnya sesuai dengan besar kecilnya kontribusi antara pihak perbankan dan nasabah melalui system bagi hasil. Sehingga melalui sistem perbangkan syariah diharapkan akan terbentuk sinergisasi positif pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
Di mana pembangunan ekonomi lebih menekankan pada fundamental perbaikan pengelolaan dan penyalurannya antara pihak perbankan dan nasabah melalui sistem bagi hasil yang proporsional. Sehingga akan tercipta sistem kerjasama yang saling menguntungkan dan sekaligus merangsang pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
Mengapa demikian? Tentunya kita sudah memahami bahwa bank konvensional mempunyai kebijakan pengelolaan yang lebih atau cenderung menguntungkan pihak bank, yaitu sudah ditentukan bunga yang pasti harus disetor oleh pihak nasabah ke bank dengan system flate tanpa melihat sisi keadilan di sisi nasabah yang menanggung resiko sendirian (risk taking himself).
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Untuk hal resiko atau risk sharing, bank konvensional tidak mau terlibat, tapi dalam urusan profit sharing bank konvensional sangat “interest” bahkan dengan target profit sharing yang jauh lebih besar dari nasabah, dengan alasan pihak bank mempunyai andil besar membantu pihak nasabah.
Pertanyaan selanjutnya adalah “apa yang menjadi pembeda utama antara bank syari’ah dan bank konvensional?”
Yang pasti, di Bank Syari’ah adalah di mana profit dan cost sharingnya sama-sama dilakukan proporsional dengan mengedepankan keadilan. Sehingga secara tidak langsung pihak bank syari’ah dapat memberikan penawaran product value atau product proportion yang cukup menarik bagi para nasabah. Otomatis akan terbentuk customer relationship yang baik dengan nasabah yang pada akhirnya masing-masing pihak dapat mendapatkan benefit yang maksimal yang berdampak langsung terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
Secara prinsip ijab kobul atau kesepakatan yang diambil, kita dapat menarik benang merah antara bank konvensional dan bank syari’ah, terutama dalam sistem pembiayaan terhadap nasabah yang memerlukan pembiayaan.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Prinsip Bank Syari’ah adalah membantu untuk membiayai sekaligus jelas peruntukan pembiayaan tersebut untuk apa, yaitu; terjalin relationship komunikasi yang lebih inten dengan nasabah berkaitan dengan system pembiayaannya terutama peruntukan pembiayaan atau permodalan, advice atau anjuran kepada nasabah berkaitan dengan besaran permodalan.
Juga yang paling penting adalah masing-masing, baik pihak bank syari’ah maupun nasabah mau untuk melakukan profit sharing dan risk sharing atau diistilahkan kedua belah pihak “mau sama-sama untung dan mau menanggung bersama resikonya akibat konsekuensi transaksi atau ijab kobul”.
Lain halnya bila hal ini dialami oleh bank konvensional. Bank konvensional mau memberikan permodalan tanpa atau bahkan dengan sengaja tidak mau tahu untuk apa modal itu digunakan. Biasanya ada bunga berjangka yang harus dibayar oleh nasabah. Intinya disini bahwa Bank syariah membantu membiayai, sedangkan bank konvensional meminjamkan uang.
Dalam bank syari’ah, semua program keuangan selain diawasi oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan), juga tambahan yang menjadi pembeda dengan bank konvensional adalah adanya Dewan Syari’ah yang mempunyai otoritas dan kepakaran berkaitan dengan aturan prinsip-prinsip syari’ah dalam perbankan.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Bila Anda datang ke Bank Syari’ah pasti akan ditanya “Apa alasan Anda untuk melakukan pembiayaan?”
Bagaimana dengan Bank Konvensional? Sebetulnya Bank konvensional lebih cenderung “memikirkan” sertifikat apa yang Anda punya untuk dijaminkan nantinya. Jaminan itu pun diperhitungkan menjadi nilai uang pinjaman, karena bank konvensional hanya berfikir dari segi rate minded.
Salah satu yang menonjol dari bank syari’ah adalah bentuk kepedulian kepada nasabah yang menyebabkan terbentuknya customer relationship yang dalam dunia perdagangan menyebabkan “repeat order”. Salah satu bentuk perhatian bank syari’ah kepada para nasabah terutama dalam segi pembiayaan usaha adalah “untuk apa Anda meminjam uang?”, “Usaha Apa yang akan Anda jalani?”
Selanjutnya pihak bank syari’ah memberikan advice atau anjuran berdasarkan perhitungan resiko usahanya dengan memproyeksikan hasil usahanya di masa datang dengan memperhatikan tingkat resikonya (forecasting). selanjutnya ditentukan sebanyak berapa bagi hasilnya dan berapa banyak kemungkinan tingkat resikonya.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Perbandingan
Semua produk atau program yang dikeluarkan dalam bank syariah harus mendapatkan fatwa dari dewan pengawas syariah. Sehingga dengan demikian, dampak yang dihasilkan adalah terjadi transaksi yang halal dan mabrur atau bernilai ibadah dan keberkahan.
Di Indonesia, rintisan bank syariah dimulai pada tahun 1991. Namun operasi bank syari’ah baru berjalan pada 1 Mei tahun 1992, yang selanjutnya diperkuat dengan keluarnya dukungan melalaui Undang-Undang nomor 7 tahun 1992 dan seiring waktu diperkuat juga melalui Undang-Undang nomor 10 tahun 1998.
Keberadaan perbankan syariah jadi ancaman bagi kaum kapitalis dengan system bagi hasilnya. Faktanya (infact) tidak mengenal istilah krisis.
Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital
Pada bank konvensional, kasus yang sering terjadi dan menjadi masalah adalah “spread” Likuidasi Negatif, yaitu bunga yang diberikan kepada si peminjam itu lebih tinggi dari bunga yang bank dapatkan dari pembiayaan.
Di Bank syariah hal ini tidak terjadi. Bank syariah, bagi hasilnya kita bagikan kepada para penyimpan, disesuaikan dengan hasil yang bank syariah dapatkan dari peminjam sebagaimana diatur dalam undang undang pembiayaan (Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998).
Fakta di lapangan ditemukan bahwa aset perbankan nasional yang dikelola perbankan konvensional adalah sebesar Rp6.102 triliun. Di sisi lain aset perbankan syariah hanya bernilai Rp296 triliun atau hanya dikisaran 4,8% saja. Masih jauh dari target 10% seperti yang telah dicanangkan pemerintah.
Kendala ini diperparah dengan banyaknya unit usaha syariah yang dilebur ke konvensional untuk menghambat perkembangan bank syari’ah atau meleburkan beberapa unit usaha syari’ah menjadi satu.
Baca Juga: Amerika itu Negara Para Pendatang!
Hal lain yang menyebabkan perbankan syari’ah kurang berkembang adalah kurangnya penetrasi pasar, adanya konvensional minded, dan persepsi kurang baik terhadap bank syari’ah.
Strategi
Dalam kondisi yang digambarkan sebagaimana kasus di atas, hal penting yang seharusnya dipikirkan adalah bagaimana strategi agar bank syari’ah dapat bersaing dengan bank konvensional. Intinya adalah bagaimana strategi untuk bisa mengembangkan bank syari’ah?
Dalam menopang pertumbuhan bank syari’ah, hal penting yang harus dipikirkan adalah perlunya penyaluran pendanaan yang benar-benar tepat sasaran dan didukung dengan regulasi yang jelas. Terutama penyaluran terhadap korporasi-korporasi yang notabene memerlukan capital yang besar.
Baca Juga: Indonesia, Pohon Palma, dan Kemakmuran Negara OKI
Permasalahan yang terjadi kemudian dilapangan adalah hampir 75% pembiayaan disalurkan kepada korporasi besar yang cenderung mengarah kepada “capital flight”. Salah satu yang menjadi catatan adalah untuk pembiayaan dari aset muslim dari bank syariah.
Sumber dana dari bank syariah yang terbesar adalah dari dana haji yang disetorkan DEPAG melalui lembaga perbankan syari’ah. Dari perbankan syari’ah kemudian disalurkan kepada perusahaan besar supaya bank syari’ah ada untungnya.
Inti permasalahannya adalah terjadinya kesenjangan fasilitas pendanaan untuk corporate besar dan UMKM, di mana fasilitas persentase pendanaan untuk corporate besar jauh lebih tinggi, tapi tidak menjamin dari segi produktivitas ekonomi atau kontribusinya lebih tinggi dibanding dengan UMKM. \
Kenyataan di lapangan pembiayaan UMKM belum dimanfaatkan dengan maksimal oleh perbankan syari’ah. Kemudahan-kemudahan untuk perusahaan besar lebih dipermudah dibandingkan terhadap industri penunjang ekonomi lainnya seperti UMKM. Misalnya di lapangan terjadi kasus corporate besar dengan asset 190 M yang kondisi perusahaan sedang macet atau bermasalah. Fasilitas jaminanya hanya kapal yang bila dijual hanya bernilai 2,5% dari total pembiayaan. Uang yang disalurkan perbankan syari’ah hilang begitu saja tanpa tuntutan apapun.
Baca Juga: Kemenangan Trump dan Harapan Komunitas Muslim Amerika
Ternyata masih belum terlihat peran signifikan perbankan syari’ah dalam menciptakan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Padahal potensi dari perbankan syari’ah ini sangat besar.
Mengapa permasalahan ini muncul? Jawabannya terletak dari permasalahan regulasi yang cenderung berpihak kepada corporate besar.
Hal ini bisa terlihat dari penyaluran pendanaan yang cenderung “mengucur deras” kepada corporate besar dibandingkan penyaluran ke UMKM yang sebenarnya mempunyai potensi besar dalam menciptakan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
Permasalahan yang masih menjadi penghambat perkembangan dari perbankan syari’ah adalah minimnya para pengusaha yang memanfaatkan bank syari’ah, sulitnya melakukan pengembangan bisnis disebabkan kebijakan internal perbankan syari’ah yang masih “kurang bersahabat”, atau masih harus memformulasikan melalui pembenahan-pembenahan regulasi. (A/JN/RS2)
Mi’raj News Agency (MINA)