Suriah terletak di Asia Barat dan Timur Tengah, berbatasan dengan Laut Mediterania di barat, Turki di utara, Irak di timur dan tenggara, Yordania di selatan, serta Israel, Palestina, dan Lebanon di barat daya.
Wilayah ini terkenal dengan dataran subur, pegunungan tinggi, serta gurun, dan menjadi rumah bagi berbagai kelompok etnis dan agama, seperti Arab Suriah, Kurdi, Turkmen, Asyur, Armenia, Sirkasia, dan Yunani.
Berbagai komunitas agama juga hidup berdampingan di Suriah, termasuk Kristen Ortodoks, Syiah Alawite, Syiah Dua Belas Imam, Sunni Salafi, Sunni Sufi, dan Yazidi. Damaskus, ibu kota Suriah, adalah kota terbesar, dengan Arab sebagai kelompok etnis mayoritas dan Sunni sebagai agama terbesar saat ini.
Sebagai negara republik, Suriah terbagi menjadi 14 kegubernuran dan dikenal sebagai satu-satunya negara yang secara politik mendukung paham Baathisme. Secara historis, nama Suriah merujuk pada wilayah yang lebih luas yang dikenal dalam bahasa Arab sebagai al-Sham.
Baca Juga: Selamatkan Palestina, Sebuah Panggilan Kemanusiaan
Masuknya Islam ke Suriah
Islam mulai memasuki Suriah pada tahun 635 M, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Suriah jatuh ke tangan kaum Muslimin setelah pengepungan selama 70 hari. Pasukan Islam sudah berada di perbatasan selatan beberapa tahun sebelum wafatnya Nabi Muhammad SAW pada 632 M, namun penaklukan sebenarnya dimulai pada tahun 634 M di bawah kepemimpinan Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab, dengan Khalid bin Walid sebagai panglima utama.
Penaklukan Suriah dimulai dengan Perang Mu’tah, di mana pasukan Islam melawan pasukan Romawi Timur (Bizantium). Perang ini dipicu oleh pembunuhan beberapa sahabat Nabi yang dilakukan oleh penguasa wilayah Syam. Pasukan Islam yang berjumlah 3.000 orang dipimpin oleh Zaid bin Haritsah. Perang Mu’tah berlangsung pada bulan Jumadil Awal tahun 8 Hijriah (629 M) di daerah Mu’tah, sebuah kawasan dataran rendah di Balqa, wilayah Syam. Ini adalah satu-satunya pertempuran antara pasukan Islam dan wilayah Syam yang terjadi semasa hidup Nabi Muhammad.
Setelah perang Mu’tah, penaklukan Suriah dilanjutkan oleh Khalifah Abu Bakar yang mengirim tiga pasukan besar, masing-masing dipimpin oleh ‘Amr bin al-‘Ash, Yazid bin Abi Sufyan, dan Surahbil ibn Hasanah. Tidak lama kemudian, Abu ‘Ubaydah ibn al-Jarrah menjadi komandan pasukan gabungan dan memimpin salah satu pasukan menuju Suriah. Sementara itu, Khalid bin Walid yang sebelumnya bertugas di Irak diminta untuk bergabung dengan pasukan yang bertempur di Suriah dan berhasil mengalahkan pasukan Bizantium di dekat Damaskus.
Baca Juga: Malu Kepada Allah
Setelah kemenangan besar di Suriah, Khalid bin Walid bergabung dengan pasukan di Lembah Yarmuk dan diangkat oleh Khalifah Umar menjadi panglima. Di bawah pemerintahan Umar bin Khattab, Suriah dibagi menjadi empat distrik besar: Damaskus, Himsh, Yordania, dan Palestina, yang kemudian ditambah dengan distrik Qinnasrin. Khalifah Umar juga menginstruksikan agar pasukan Islam tetap berada di barak militer untuk menghindari gangguan terhadap kehidupan penduduk lokal. Kebijakan toleransi beragama yang diterapkan Umar menjadikan Islam mendapat citra positif di mata pemeluk Kristen Nestorian, Kristen Yacobite, dan Yahudi, yang sebelumnya mengalami penganiayaan di bawah kekuasaan Bizantium.
Keberhasilan kebijakan ini turut mendorong banyak suku Arab yang sebelumnya menetap di Suriah, seperti suku Ghassan, untuk memeluk Islam. Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, Islam berkembang pesat di Suriah, terutama karena Damaskus menjadi pusat pemerintahan Daulah Umayyah. Pada periode ini, peradaban Islam berkembang maju dengan pusat-pusat pengembangan ilmu pengetahuan di berbagai kota besar seperti Damaskus, Cordova, Baghdad, dan Kairo.
Suriah Modern
Suriah modern terbentuk pada pertengahan abad ke-20 setelah masa pemerintahan Ottoman dan periode singkat sebagai mandat Prancis. Negara ini memperoleh kemerdekaan secara de jure pada 24 Oktober 1945, menjadi Republik Suriah dan anggota pendiri Perserikatan Bangsa-Bangsa. Meskipun secara hukum Suriah mengakhiri Mandat Prancis, pasukan Prancis baru meninggalkan negara itu pada April 1946.
Baca Juga: Palestina Memanggilmu, Mari Bersatu Hapuskan Penjajahan
Pasca-kemerdekaan, Suriah mengalami periode gejolak politik dengan banyak kudeta militer dan percobaan kudeta dari 1949 hingga 1971. Pada 1958, Suriah bersatu dengan Mesir dalam Republik Arab Bersatu, namun persatuan ini berakhir dengan kudeta di Suriah pada 1961.
Setelah referendum pada 1 Desember 1961, negara ini berganti nama menjadi Republik Arab Suriah. Kudeta Ba’ath pada 1963 akhirnya membawa Partai Ba’ath ke tampuk kekuasaan, yang memerintah Suriah dengan Undang-Undang Darurat hingga 2011, menangguhkan sebagian besar hak-hak konstitusional warga negara.
Bashar al-Assad menjadi presiden Suriah pada 2000, menggantikan ayahnya, Hafez al-Assad, yang telah memerintah sejak 1971. Selama pemerintahannya, Suriah dan Partai Ba’ath sering mendapat kritik terkait pelanggaran hak asasi manusia, eksekusi terhadap tahanan politik, dan penyensoran media.
Pada Maret 2011, Suriah terlibat dalam perang saudara yang melibatkan berbagai negara dan entitas politik, termasuk Oposisi Suriah, Rojava, Tahrir al-Sham, dan Negara Islam (ISIS).
Baca Juga: Korupsi, Virus Mematikan yang Hancurkan Masyarakat, Ini Pandangan Islam dan Dalilnya!
Perang ini menyebabkan lebih dari 570.000 orang tewas, lebih dari 7,6 juta pengungsi internal, dan lebih dari 5 juta pengungsi yang melarikan diri ke luar negeri.
Suriah tercatat sebagai negara dengan peringkat terburuk dalam Indeks Perdamaian Global dari 2016 hingga 2018, akibat dampak dari konflik yang berkepanjangan. []
Baca Juga: Inilah Tanda Orang Baik, Inspirasi dari Kisah Nabi Musa Belajar kepada Khidir