HARI ini, dunia kita penuh dengan orang-orang cerdas. Gelar akademik berserakan di mana-mana. Seseorang dengan mudah bisa disapa “doktor”, “profesor”, atau “pakar” hanya karena telah menamatkan berbagai jenjang pendidikan. Kita hidup di era ketika pengetahuan bertebaran, akses informasi begitu luas, dan teknologi memungkinkan siapa pun untuk menjadi “tahu” dalam waktu singkat. Tapi sayangnya, satu hal mendasar terlupakan—adab. Padahal, tanpa adab, kecerdasan adalah kesia-siaan.
Apa artinya menjadi pandai jika tidak bisa menundukkan ego? Apa makna dari ilmu yang tinggi jika tidak mampu menghargai orang lain, apalagi kepada orang yang lebih tua atau kepada gurunya sendiri? Inilah realitas yang semakin terlihat jelas: banyak yang berilmu, tetapi sedikit yang beradab. Banyak yang pintar bicara, tapi tidak bisa diam ketika seharusnya diam. Banyak yang tahu, tapi lupa bagaimana cara bersikap.
Adab bukan hanya soal sopan santun. Ia adalah cahaya dalam jiwa. Ia adalah kunci yang membuka pintu kemuliaan. Rasulullah ﷺ bukan hanya dikenal karena wahyu yang beliau sampaikan, tetapi karena akhlak dan adab yang beliau contohkan. Ketika ditanya tentang akhlak Nabi, Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab, “Akhlaknya adalah Al-Qur’an.” Maka, secerdas apa pun seseorang, jika akhlaknya tak mencerminkan adab, maka ilmunya tak akan sampai ke hati manusia—bahkan tak sampai pula ke hatinya sendiri.
Ilmu Tanpa Adab adalah Racun
Baca Juga: Ketika Shalat Tak Menyentuh Jiwa
Imam Malik pernah menolak memberikan fatwa kepada seseorang hanya karena orang itu datang dengan cara yang tidak sopan. Sebaliknya, beliau sangat menghormati Imam Ja’far Ash-Shadiq, bukan hanya karena ilmunya, tetapi karena adabnya yang begitu luhur. Para ulama klasik memahami bahwa ilmu adalah cahaya, tapi adab adalah sumbu yang membuat cahaya itu menyala. Tanpa adab, ilmu hanya akan jadi api yang membakar, bukan pelita yang menerangi.
Saat ini, kita saksikan bagaimana orang-orang berilmu dengan gelar mentereng tak segan mempermalukan orang lain hanya karena beda pandangan. Debat di media sosial tak lagi soal mencari kebenaran, melainkan ajang unjuk kepintaran dan pamer keangkuhan. Di mana adab? Mengapa tidak belajar menahan diri? Mengapa tidak bertanya dengan rendah hati dan menjawab dengan kasih?
Ilmu bisa menyesatkan jika tak disertai adab. Amal bisa rusak jika tak didahului adab. Bahkan ibadah bisa tertolak jika tidak berlandaskan adab kepada Allah. Inilah yang menjadi rahasia mengapa sebagian orang yang rajin menuntut ilmu justru tidak mendapatkan manfaat apa-apa. Hatinya tetap keras, lisannya tetap tajam, hidupnya tetap gelisah. Karena adab belum hadir. Karena ilmunya belum meresap ke dalam ruh.
Adab itu menundukkan diri di hadapan Allah dan sesama. Adab itu tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam. Adab itu menerima nasihat dengan dada lapang dan tidak merasa paling benar. Adab itu menyadari bahwa sebesar apa pun ilmu yang kita miliki, ia tidak akan pernah lebih besar dari samudera hikmah yang Allah simpan dalam diamnya hamba-hamba-Nya yang tawadhu.
Baca Juga: Membangun Rumah Tangga Tanpa Drama
Gelar Tak Menjamin Keshalihan
Betapa banyak yang punya gelar tinggi tapi tak tahu cara menghargai sesama. Betapa banyak yang hafal banyak dalil tapi gagal menjaga lisan dari mencela. Gelar tidak otomatis membuat seseorang bijak. Sertifikat tidak otomatis membuat seseorang layak menjadi panutan. Bahkan, dalam sejarah, kita dapati Iblis adalah makhluk yang tahu banyak tentang Allah, tapi satu kesombongan membuatnya terkutuk selamanya.
Sebaliknya, lihatlah Bilal bin Rabah yang bukan ahli fiqh, bukan mujtahid, bukan ulama tafsir. Tapi adab dan kesetiaannya kepada Rasulullah menjadikannya salah satu penghuni surga yang langkah kakinya terdengar di surga sebelum Nabi masuk. Mengapa? Karena ia memiliki adab. Karena ia tahu menempatkan diri. Karena ia tidak membanggakan dirinya, melainkan membanggakan Tuhannya.
Ketika masyarakat kehilangan adab, maka hilanglah fondasi peradaban itu sendiri. Ilmu berkembang, teknologi maju, ekonomi tumbuh—tapi manusia kehilangan arah. Mereka menjadi cerdas tapi tak punya rasa malu. Menjadi hebat dalam logika tapi miskin empati. Inilah zaman ketika pendidikan melahirkan intelektual, tapi gagal melahirkan manusia sejati.
Baca Juga: Berqurban, Amalan Utama pada Bulan Dzulhijjah
Sekolah-sekolah kita mengajarkan matematika dan sains, tapi lupa mengajarkan bagaimana cara berbicara kepada orang tua. Kampus-kampus menghasilkan sarjana, tapi tidak menghasilkan murid sejati. Padahal, Imam Syafi’i dulu belajar adab bertahun-tahun sebelum menyentuh ilmu fiqh. Ulama-ulama dahulu mengajarkan anak-anaknya mencuci kaki guru sebelum belajar darinya, karena mereka sadar bahwa adab adalah fondasi tempat ilmu tumbuh.
Menjadi Cerdas dan Beradab, Itulah Tujuan
Adab bukan berarti anti kritik. Adab bukan pula membungkam kebenaran. Tapi adab mengajarkan bahwa kebenaran bisa disampaikan tanpa harus mencederai perasaan. Adab mengajarkan bahwa mengalah bukan berarti kalah, bahwa diam bisa lebih bermakna daripada debat kusir yang hanya melukai.
Jadi, mari berhenti sejenak dari perburuan gelar, sertifikat, atau popularitas. Mari bertanya pada diri sendiri: sudahkah aku belajar adab sebelum menuntut ilmu? Sudahkah aku menjaga hati sebelum membuka buku? Sudahkah aku menyucikan niat sebelum menulis status atau memberi komentar?
Baca Juga: Teruslah Bersuara untuk Palestina: Membela Palestina adalah Jihad dan Ladang Amal Shalih
Ilmu itu seperti air. Ia hanya mengalir ke tempat yang rendah. Bila kita meninggikan diri, maka ilmu akan enggan mendekat. Tapi bila kita merendahkan hati, maka Allah akan mengangkat derajat kita, dengan ilmu yang diberkahi, dengan akhlak yang indah, dengan kehidupan yang meneduhkan.
Jika kita ingin menjadi orang yang ilmunya menyelamatkan, bukan menyesatkan, maka belajar adab adalah harga mati. Jika kita ingin amal kita diterima, maka adab harus menjadi awal dari setiap langkah. Adab kepada Allah, adab kepada Nabi, adab kepada orang tua, kepada guru, kepada sesama, bahkan kepada ilmu itu sendiri.
Adab adalah ruh dari segala amal. Ia membuat ilmu jadi hidup. Ia membuat amal jadi indah. Ia membuat seseorang berharga, bahkan sebelum ia berbicara. Maka, siapa pun kita hari ini—murid, guru, orang tua, pemimpin, atau siapa saja—jangan pernah merasa cukup hanya dengan ilmu. Karena ilmu tanpa adab, adalah bejana kosong yang hanya berisik tapi tak berguna.
Mari kita hidupkan kembali warisan adab dalam keluarga, dalam pendidikan, dalam dakwah, dalam kehidupan. Mari kita buktikan bahwa kecerdasan yang sejati adalah ketika hati mampu tunduk kepada kebenaran, bukan hanya akal yang mampu berdebat. Karena pada akhirnya, bukan seberapa banyak yang kita tahu yang akan menyelamatkan kita, tapi seberapa dalam ilmu itu mengakar dan membentuk akhlak yang mulia.
Baca Juga: Mengapa Hidup Berjama’ah Adalah Keharusan Ruhani
Percuma cerdas bila tak beradab. Karena ilmu yang tidak pernah sampai ke hati hanyalah beban, bukan cahaya. Maka belajar adab adalah rahasia agar ilmu menjadi rahmat, bukan laknat. Ia adalah jalan keselamatan di dunia dan di akhirat.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Jejak Kesalehan Seorang Ayah, Cahaya yang Membimbing Generasi