Oleh: Fidaa Shurrab, seorang penulis dan penerjemah yang tinggal di Jalur Gaza
Berenang adalah terapi untuk Fatima Abu Shidiq.
Pada tahun 2014, ayahnya terbunuh dalam serangan besar-besaran di Gaza pada musim panas itu. Israel menembakkan rudal ke arah lingkungan keluarganya di kota Beit Lahiya. Kaki pamannya harus hilang dalam insiden yang sama.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta
Beradaptasi untuk hidup tanpa orang tua telah menjadi proses yang traumatis, seperti halnya bagi anak-anak yang lain. Olahraga telah memungkinkan Fatima untuk mengatasi sebagian dari rasa sakitnya itu.
“Saya merasa senang ketika saya berenang,” katanya. “Renang telah membuat saya lebih kuat melawan semua ketakutan yang saya miliki karena perang dan bagaimana saya kehilangan ayah saya. Saya hanya berharap dia ada di sini untuk melihat saya mencapai kesuksesan dalam olahraga favorit saya.”
Fatima yang sekarang berusia 13 tahun berharap dapat mewakili Palestina di Olimpiade 2020 nanti di Tokyo, Jepang.
Sharaf Tantish, pelatih renang di Beit Lahiya, berusaha membantu Fatima mewujudkan mimpinya. Keahliannya tidak diragukan. Dia telah memenangkan sejumlah perlombaan di tingkat lokal.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari
Kendala utama yang Fatima harus jelaskan jika dia mengunjungi Tokyo untuk Olimpiade 2020 adalah politik. “Kami membutuhkan perbatasan terbuka tanpa batasan perjalanan,” kata Tantish.
Rafah “Gerbang tak terduga”
Bagi kebanyakan orang di Gaza, Palestina, satu-satunya jalan keluar menuju dunia luar adalah melalui Rafah di perbatasan Jalur Gaza dengan Mesir. Sebuah makalah terbaru oleh Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) menggambarkan Rafah sebagai “gerbang tak terduga.”
Meskipun penyeberangan telah terbuka selama beberapa bulan terakhir, tetapi itu tetap ditutup terus menerus, kecuali untuk beberapa hari per tahun, antara September 2014 hingga Mei 2018. Sulit untuk meramalkan bahwa atlet dari Gaza akan diizinkan untuk melakukan perjalanan melalui Rafah untuk Olimpiade 2020.
Baca Juga: Sejarah Al-Aqsa, Pusat Perjuangan dari Zaman ke Zaman
Ruqaya Al-Baba adalah perenang lain yang telah mengalami penderitaan luar biasa.
Ibu dan saudara laki-lakinya syahid dalam Operasi Cast Lead Israel ketika bangsa penjajah itu menyerang Gaza pada akhir 2008 hingga awal 2009. Ibunya sedang memanggang roti ketika mesin serdadu Israel menembakkan artileri ke rumahnya.
“Rasanya seolah seluruh dunia berantakan,” kata Ruqaya yang sekarang berusia 12 tahun.
Ruqaya merasa bahwa mengembangkan keterampilan berenangnya adalah salah satu cara dia dapat menghormati memori ibunya.
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
“Ibu saya dulu mendorong saya untuk melakukan yang terbaik,” katanya. “Impianku adalah memenuhi keinginannya dan menjadi wanita yang sukses.”
Bangga Menantang Keadaan Sulit
Ruqaya adalah salah satu peserta dalam program renang yang dikelola oleh klub pemuda Beit Lahiya.
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Program ini dimulai pada 2015. Sebanyak 30 anak laki-laki dan 20 perempuan mengambil bagian. Mereka semua memiliki anggota keluarga yang kehilangan nyawa selama serangan Israel di Gaza.
Sharaf Tantish, sang pelatih, mengatakan bahwa program tersebut telah berhasil berjalan meskipun mereka memiliki sumber daya yang terbatas. Biaya untuk menjalankan kegiatan itu sebagian besar dibayar oleh badan amal.
Biaya operasionalnya cukup besar. Menyewa kolam berbiaya sekitar US$ 20 per jam, harga baju renang untuk setiap gadis antara US$ 15 hingga US$ 30 dan sepasang kacamata berkualitas baik dapat seharga US$ 50.
Kacamata ini sulit ditemukan di toko-toko dan pasar Gaza. Klub telah berhasil mendapatkan sumbangan tujuh pasang kacamata dari luar negeri, tetapi itu tidak cukup untuk semua peserta dalam program ini.
Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis
Muhammad Tantish (13) adalah salah satu peserta baru dalam program Beit Lahiya. Dia bergabung tahun lalu.
Kecakapan sepupu Sharaf Tantish ini terbukti pada bulan Agustus ketika dia memenangkan perlombaan renang sejauh 2 kilometer. Asalkan penyeberangan Rafah tetap terbuka, ia akan melakukan perjalanan ke sebuah kamp pelatihan di Mesir untuk perenang dalam beberapa bulan ke depan.
Sebelum dia berenang, Muhammad berhasil mendapat sabuk cokelat karate. Dia sekarang lebih suka olahraga air untuk seni bela diri. Dia adalah penggemar berat perenang Amerika Serikat Michael Phelps.
Perenang Beit Lahiya tidak hanya berpikir untuk mengasah keterampilan mereka di kolam renang.
Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global
Fatima Abu Shidiq bercita-cita menjadi seorang pengacara, khusus dalam hak asasi manusia. Sedangkan Muhammad ingin belajar kedokteran setelah dia lulus SMA nanti.
“Saya bangga dengan bagaimana kami dapat menantang keadaan sulit yang kami hadapi di Gaza,” kata Muhammad.
“Kami tidak memiliki klub yang lengkap, tetapi kami masih bermain bagus di banyak olahraga. Impian saya adalah melampaui batas kami dan mewakili Palestina dalam kompetisi internasional.” (AT/RI-1/RS2)
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Sumber: Electronic Intifada
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina