Jakarta, MINA – Kasus wabah antraks belakangan muncul di tengah masyarakat, terutama di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta. Diketahui kasus antraks di Gunungkidul bermula usai warga mengonsumsi daging sapi mati.
Peneliti Ahli Muda dari Pusat Riset Veteriner Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dr. drh. Rahmat Setya Aji. M.Si., menyampaikan, bakteri Bacillus anthracis pemicu penyakit antraks punya struktur spora yang tahan banting terhadap berbagai kondisi ekstrem.
“Bakteri penyebab antraks, apabila terpapar udara, akan membentuk spora yang sangat resisten terhadap kondisi lingkungan dan bahan kimia termasuk desinfektan tertentu dan dapat bertahan selama 150-200 tahun di dalam tanah,” jelas Rahmat saat menjadi narasumber dalam acara Media Lounge Discussion (MeLoDi) di Gedung BJ Habibie Jakarta, Kamis (20/7).
Antraks adalah penyakit bakterial bersifat menular akut pada manusia dan hewan yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis.
Baca Juga: Menko Budi Gunawan: Pemain Judol di Indonesia 8,8 Juta Orang, Mayoritas Ekonomi Bawah
Penularan penyakit ini adalah lewat spora, buah perkembangbiakan bakteri itu yang berukuran amat halus berisi satu atau beberapa sel, terutama lewat konsumsi daging hewan yang terinfeksi.
Rahmat menjelaskan, Antraks umumnya menyerang secara cepat pada hewan herbivora seperti sapi, kambing, domba, dan lainnya serta dapat menular ke manusia.
Menurutnya, Antraks yang menyerang hewan kambing domba sapi kerbau bisa mati secara tiba-tiba tanpa gejala selama 48 jam.
“Makanya banyak warga yang kemudian karena tidak tahu, langsung menyembelih hewan ternaknya. Ini yang sangat berbahaya karena begitu disembelih 1 tetes darah hewan mengandung 1 miliar bakteri,” katanya.
Baca Juga: Hingga November 2024, Angka PHK di Jakarta Tembus 14.501 orang.
Maka dari itu, Rahmat menyarankan jika ada hewan yang mati mendadak harus diwaspadai antraks. Hewan tersebut tidak boleh disentuh atau disembelih.
Selain itu, lokasi di mana tempat matinya perlu dilakukan dekontaminasi dengan cara menyiramkan formalin pada area tanah sekira 50 liter per meter persegi, karena bakteri bisa masuk hingga 20 cm.
“Penanganan lingkungan ini penting agar antraks tidak muncul kembali,” katanya.
Idealnya, lanjut Rahmat, hewan yang mati dibakar sampai habis atau menggunakan mobile insenerator. Akan tetapi butuh biaya besar. Maka hewan tersebut dapat dikubur dengan kedalaman dua meter, dan lokasi kuburannya disiram pakai formalin, lalu disemen dan dituliskan tanda.
Baca Juga: Menag: Guru Adalah Obor Penyinar Kegelapan
“Jika di satu kandang ada hewan yang masih hidup, hewan itu dapat diberi antibiotik yang mencover 3-4 minggu diisolasi, jika hewan itu tidak mati maka baru divaksinasi,” pungkasnya.
Sejauh ini, Rahmat menyebutkan BRIN turut dalam upaya melakukan penelitian diagnosis dan deteksi wabah antraks, salah satunya yang terjadi akhir-akhir ini di Gunung Kidul, Yogyakarta.
Pihaknya melakukan diagnosis dan deteksi dengan uji serologi, sebagai upaya mendeteksi penyebaran antraks.
Rahmat menambahkan, pihaknya akan mengembangkan vaksin oral untuk mencegah penyebaran wabah antraks pada hewan ternak.
Baca Juga: AWG Gelar Dauroh Akbar Internasional Baitul Maqdis di Masjid Terbesar Lampung
Vaksinasi hewan dinilai menjadi langkah yang perlu segera dalam mengendalikan wabah antraks di wilayah-wilayah endemi.
Vaksin antraks, lanjut dia, sebetulnya sudah dikembangkan dan diproduksi di Surabaya dan Bogor. Hanya saja, menurut Rahmat, perlu jenis vaksin oral yang lebih safe, aplicable, murah dan protektif. Dengan demikian masyarakat bisa melakukan sendiri, sehingga vaksinasi akan lebih massif.
“Vaksinasi terhadap hewan tidak gampang, dan tidak mudah seperti vaksinasi manusia,” ungkap eks peneliti Kementerian Pertanian tersebut.(L/R1/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Embassy Gathering Jadi Ajang Silaturahim Komunitas Diplomatik Indonesia