Oleh : Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)
Lina Ahmed al-Jarbouni, lahir 1 November 1974, merupakan tahanan terlama perempuan Palestina di dalam penjara pendudukan Israel, yaitu 15 tahun. Dua tahun pengurangan dari vonis 17 tahun penjara.
Lina perempuan pejuang dari Arrabeh, sebuah kota di wilayah Galilea Palestina yang bersejarah. Dia dipenjara sejak 18 April 2002 saat ia berusia 28 tahun. Ia baru dibebaskan 16 April 2017, ketika mencapai umur 43 tahun.
Ia ditangkap dan dipenjara dengan tuduhan memberikan dukungan kepada gerakan perlawanan Palestina dan keanggotaan dalam Gerakan Jihad Islam Palestina.
Baca Juga: Di Balik Hijab, Ada Cinta
Ketika ditangkap oleh pasukan Israel, dia sedang bekerja di tempat menjahit untuk membantu menghidupi keluarganya, termasuk untuk membantu orang tuanya.
Pasukan Israel menggeledah tempat kerjanya itu dengan anjing-anjing pelacak pada pukul 2:00 dinihari. Pasukan mengklaim bahwa mereka sedang mencari narkoba.
Lina pun ditangkap dan ditahan di bawah interogasi selama 40 hari. Adiknya, Lamis, juga ditangkap oleh pasukan Israel dan melaporkan penyiksaannya sendiri di bawah interogasi sebelum dia dibebaskan.
Latar Belakang
Baca Juga: Menjadi Pemuda yang Terus Bertumbuh untuk Membebaskan Al-Aqsa
Lina Al-Jarbouni terlahir dari keluarga besar dari 18 bersaudara termasuk dirinya, dengan 9 saudara perempuan dan 8 saudara laki-laki. Ayahnya Haji Ahmad Al-Jarbouni memiliki dua istri.
Ayah dan kakeknya keduanya adalah tahanan politik di penjara Israel. Pamannya juga dipenjara selama 14 tahun karena partisipasinya dalam perlawanan Lebanon terhadap pendudukan Israel.
Lina menerima pendidikan dasar, persiapan dan menengah di sekolah desa. Dia menyelesaikan pendidikan menengahnya di bagian sastra pada tahun 1992. Namun situasi keuangan keluarganya menghalangi dia untuk melanjutkan studi perguruan tingginya.
Arrabeh desanya, menjadi saksi demonstrasi massal dan bentrokan sengit antara pemuda Palestina menghadapi pasukan pendudukan Israel selama Intifadah Kedua.
Baca Juga: Muslimat Pilar Perubahan Sosial di Era Kini
Pada salah satu protes tersebut pada bulan Oktober 2000, dua remaja ditembak mati oleh polisi. Intifadah Kedua memiliki efek mendalam pada Lina.
Di desanya, di Arrabeh dan bagian lain dari Galilea, pada Maret 1976, pernah terjadi pemogokan umum. Aksi itu dinyatakan sebagai penentangan terhadap aneksasi besar-besaran Israel atas tanah Palestina. Pasukan Israel melepaskan tembakan ke arah protes, menewaskan enam warga Palestina saat itu.
“Orang-orang di Arrabeh selalu terlibat dalam perjuangan Palestina dan tidak pernah ragu berkorban untuk tujuan ini,” kata Lina. Seperti dikutip dari The Prisoners Diaries, 17 April 2017, usai pembebasannya.
“Saya menyadari bahwa saya tidak bisa begitu saja menjadi saksi bisu atas ketidakadilan yang menimpa rakyat saya. Saya harus melawannya secara aktif,” lanjutnya.
Baca Juga: Tujuh Peran Muslimah dalam Membela Palestina
Karena Arabeh terletak di wilayah Israel saat ini, Lina secara resmi menjadi warga negara Israel. Namun meskipun demikian, identitas kepalestinaannya “tidak pernah diragukan.”
“Saya mengetahui bahwa semua orang Palestina berada di bawah pendudukan, terlepas dari kartu identitas mereka. Tidak masalah apakah Anda tinggal di Galilea, Tepi Barat, Gaza atau kamp pengungsi di pengasingan. Kami semua adalah orang Palestina, dan perlawanan adalah satu-satunya pilihan kami,” tegasnya.
Pesan dari Penjara
Jaringan Solidaritas Tahanan Palestina Samidoun menyebutkan rasa hormat dan kebanggaannya terhadap Lina al-Jarbaoni yang selalu berada di garis depan perjuangan. Ia selalu terlibat dalam aksi mogok makan, pengorganisasian tahanan dan aksi protes di dalam penjara sekalipun.
Baca Juga: Muslimah dan Masjidil Aqsa, Sebuah Panggilan untuk Solidaritas
Lina dijebloskan ke sel isolasi tanpa perawatan medis yang layak untuk penyakit yang sedang ia derita saat itu.
Waktu ia di dalam penjara, belum seperti sekarang jaman smartphone canggih. Dia hanya bisa mengenal keponakan-keponakannya melalui foto-foto yang dikirim keluarganya saat berkunjung.
Teknologi baru menjelang pembebasannya, malah membuatnya bingung. Dia pernah dikirimi smartphone oleh kakaknya, tetapi dia tidak tahu bagaimana menggunakannya.
Lina, baru mendengar tentang media sosial pada tahun 2015, melalui tahanan perempuan yang baru masuk waktu itu. Dia diperkenalkan dengan konsep tersebut oleh tahanan perempuan yang lebih muda di penjara HaSharon.
Baca Juga: Penting untuk Muslimah, Hindari Tasyabbuh
Hal yang paling menyedihkan saat di dalam penjara adalah ketika ia dikabari saudara perempuannya, Wasila, yang berusia 48 tahun, dirawat di rumah sakit. Pihak berwenang Israel mencegah Lina mengunjungi saudara perempuannya di rumah sakit.
Bahkan ketika Wasila meninggal, Lina juga tidak diizinkan untuk menghadiri pemakamannya.
Saat ia sudah bebas, pada Hari Tahanan Palestina 17 April 2017, ia menggemakan pesannya, “Pada Hari Tahanan, saya menyapa orang-orang Palestina dan semua orang bebas di dunia. Ratusan tahanan perempuan di balik jeruji besi tetap berdiri teguh dalam perjuangan, bersama dengan putra-putra rakyat kami. Kami ingin menunjukkan bahwa perempuan Palestina sedang berjuang melawan pendudukan dan memperjuangkan keadilan sosial, emansipasi dan kesetaraan di semua bidang kehidupan.”
“Pada hari ini, kami memberi hormat kepada tahanan terlama Karim Younis, dan semua tahanan di seluruh Palestina, dan gerakan nasional tahanan Palestina. Kami juga memberi hormat kepada tahanan anak laki-laki dan perempuan, tahanan yang sakit, dan mereka yang di sel isolasi dan semua orang teguh kami,” ujarnya, seperti dilaporkan The Palestinian Information Center (PIC) saat itu.
Baca Juga: Peran Muslimat dalam Menjaga Kesatuan Umat
Ia menegaskan, raganya dan sesama tahanan pejuang Palestina memang ditahan di balik jeruji besi. “Namun jiwa, pikiran dan keyakinan kami bebas. Kebebasan kami tetap dalam harapan kami, dan keyakinan kami dalam kebebasan Palestina,” ujarnya optimis.
Dalam wawancara singkat dengan Asra Voice Radio setelah pembebasannya, Lina al-Jarbouni mendesak seluruh warga Palestina bersatu dalam memperjuangkan para tahanan.
Ia merupakan perwakilan terpilih dari tahanan wanita Palestina di penjara HaSharon karena pembelaannya untuk hak anak perempuan Palestina untuk mendapatkan pendidikan di dalam penjara.
Menurut sumber Wikipedia, Lina pun dipilih oleh Kementerian Urusan Perempuan Palestina sebagai Woman of the Year 2015.
Baca Juga: Derita Ibu Hamil di Gaza Utara
Sumber hak asasi manusia mengatakan, usai pembebasannya Lina masih menderita berbagai tumor di tubuhnya, dan rasa sakit di kakinya, di samping sakit kepala terus-menerus. Ada kelalaian medis yang disengaja melalui pemberian obat oleh pihak penjara pendudukan, ujar keluarganya.
Tetap Berjuang
Sepanjang 15 tahun di dalam penjara, ternyata tidak membuatnya jera menyuarakan perlawanan rakyatnya dan bangsanya, Palestina.
Pada 22 Juni 2017, sekitar dua bulan sejak kebebasannya, Polisi pendudukan Israel memanggil paksa Lina al-Jarbouni untuk diinterogasi.
Baca Juga: Kiat Menjadi Muslimah Penuh Percaya Diri
Sebuah sumber mengatakan, ia dicecar beberapa pertanyaan selama lebih dari dua jam atas kegiatan kemanusiaan yang dia lakukan setelah pembebasannya.
“Intelijen Israel ingin memberi tahu kami bahwa kami selalu di bawah kendalinya,” kata saudara laki-lakinya. Seperti dilaporkan Palinfo.
“Saya telah mengalami penyelidikan serupa saat mengunjungi saudara perempuan saya di penjara. Kami terbiasa dengan tindakan seperti itu yang tidak membuat kami takut,” tambahnya.
“Insya Allah masalah tahanan para pejuang Palestina di penjara-penjara pendudukan Israel akan selalu ada dalam pikiran saya. Saya pun akan bekerja lebih keras lagi untuk menyampaikan suara mereka kepada dunia,” ujar Lina bersemangat.
Baca Juga: Fitnah Medsos yang Perlu Diwaspadai Muslimah
Pada tingkat pribadi iapun bertekad akan melanjutkan studi kuliahnya untuk menopang perjuangannya. (A/RS2/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)