Permendikbud No 30 th 2021, Adian Husaini: Kasihan Pendidikan Kita

Menyusul permintaan sejumlah Organisasi Islam lainnya, maka Majelis Ulama Indonesia () secara resmi juga meminta agar Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021, dicabut atau direvisi. Memang, Permendikbud No 30 tahun 2021 itu telah memicu perdebatan luas dan cenderung memanas.

mengatur tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Dalam keterangan tertulisnya, Kamis (11/11/2021), Ijtima Ulama MUI mengapresiasi niat baik Mendikbudristek untuk pencegahan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Namun hal tersebut menurut mereka menimbulkan kontroversi.

Alasannya karena prosedur pembentukan Permendikbud 30 ini tak sesuai dengan ketentuan UU, yakni UU Nomor 12 Tahun 2011, sebagaimana diubah UU Nomor 15 Tahun 2019, yang disebut bertentangan dengan Pancasila, syariat, UUD 1945, dan nilai-nilai budaya Indonesia.

Berikut 4 poin pernyataan Ijtima Ulama MUI terkait peraturan tentang penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi:

MUI mengapresiasi niat baik dari Mendikbudristek untuk melakukan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi. Namun demikian, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi telah menimbulkan kontroversi, karena prosedur pembentukan peraturan dimaksud tidak sesuai dengan ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah UU Nomor 15 Tahun 2019 dan materi muatannya bertentangan dengan syariat, Pancasila, UUD NRI 1945, Peraturan Perundangan-undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.

Ketentuan-ketentuan yang didasarkan pada frasa “tanpa persetujuan korban” dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, bertentangan dengan nilai syariat, Pancasila, UUD NRI 1945, Peraturan Perundangan-Undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.

Ketentuan-ketentuan yang dikecualikan dari frasa “tanpa persetujuan korban” dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi terkait dengan korban anak, disabilitas, situasi yang mengancam korban, di bawah pengaruh obat-obatan, harus diterapkan pemberatan hukuman.

4. Meminta kepada Pemerintah agar mencabut atau setidak-tidaknya mengevaluasi/merevisi Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, dengan mematuhi prosedur pembentukan peraturan sebagaimana ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 yang telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019, dan materi muatannya wajib sejalan dengan syariat, Pancasila, UUD NRI 1945, Peraturan Perundangan-Undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.

Perdebatan tentang Permendikbud No 30 tahun 2021, sudah begitu luas di Indonesia. Media massa nasional pun sudah memuat kasus ini dan beberapa diantaranya sudah mengundang sejumlah nara sumber untuk berdebat langsung di televisi nasional. Di berbagai media sosial sudah muncul komentar-komentar yang bernada kasar, saling ejek dan saling memojokkan, antara yang pro dan yang kontra dengan Permendikbud 30.

Jadi sudah jelas ada dua pihak yang kini berhadapan secara opini. Dalam kondisi seperti ini, Indonesia memerlukan sosok-sosok integrator dan pemersatu yang mampu mempertemukan kedua pihak. Sebab, ada perbedaan pandangan hidup (worldview) yang mendasar dalam memandang persoalan seksualitas.

Pendukung Permendikbud 30 enggan menjadikan agama sebagai sumber penanganan masalah seksualitas. Mereka tetap menggunakan logika sekuler (non agama) dalam mendefinisikan kejahatan seksual. Bahwa, yang dimaksud dengan “kejahatan seksual” hanyalah sebatas yang dilakukan dengan cara kekerasan dan paksaan. Jika aktivitas seksual dilakukan dengan saling setuju, maka pihak kampus tidak perlu untuk ikut menanggulanginya.

Tentu saja, cara pandang terhadap seksualitas yang sekuler semacam itu ditolak oleh umat Islam yang memiliki pandangan hidup (worldview) Islam. Dalam pandangan Islam, aktivitas seksual yang diharamkan adalah yang bertentangan dengan syariat Islam. Dalam pernyataannya, MUI dengan tegas menyebut bahwa materi muatan Permendikbud 30 bertentangan dengan syariat, Pancasila, UUD NRI 1945, Peraturan Perundangan-undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.

Menyimak berbagai penolakan terhadap Permendikbud 30 yang disampaikan oleh organisasi-organisasi Islam, maka jelaslah bahwa yang menjadi akar masalah adalah soal “ketiadaan persetujuan” dari korban! Konsep ini sudah begitu banyak dikritik. Sayangnya, kritik-kritik itu seperti dianggap sepi. Bahkan, dianggap sebagai salah paham. Padahal, pokok masalahnya begitu jelas.

Sebenarnya solusi dari masalah ini begitu mudah dan sederhana. Jika Mendikbud tidak mau mencabutnya, maka Permendikbud 30 itu tidak perlu dipaksakan kepada semua kampus, khususnya kampus-kampus Islam, apalagi pondok-pondok pesantren yang memiliki Perguruan Tinggi. Polemik tentang masalah ini perlu segera diakhiri. Semua pihak bisa mengambil sikapnya menurut paham dan agamanya masing-masing.

Jika menyelesaikan soal sederhana seperti ini saja tidak mampu, maka sungguh kasihan pendidikan kita. Duduklah bersama, carikan titik temu. Jangan sampai masalah ini berlarut-larut! Masih banyak masalah lain yang penting dalam dunia Pendidikan Tinggi kita yang perlu kita atasi! Wallahu A’lam bish-shawab. (Makasar, 11 November 2021). (A/R4/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)