Perpecahan di Pemerintahan Israel

Demo warga Israel menentang PM Benjamin Netanyahu. (Almasry Alyoum)

Oleh Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)

Menteri Israel yang tergabung dalam kabinet perang, Letnan Jenderal Benny Gantz, menyatakan mundur pada hari Ahad, 9 Juni 2024, setelah tidak lagi menemukan kecocokan langkah dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Gantz menyudutkan Netanyahu salah mengelola perang dan hanya mengutamakan kepentingan dirinya daripada keamanan negara.

Menurut pandangan Gantz, Netanyahu gagal dalam perang melawan militan Hamas Palestina di Jalur Gaza.

Dia juga menyerukan pemilu dini,untuk membentuk pemerintahan yang akan mendapatkan kepercayaan rakyat lebih kuat lagi.

Benjamin Benny Gantz (lahir 9 Juni 1959) adalah seorang politikus Israel dan pensiunan jenderal angkatan darat. Ia pernah menduduki jabatan strategis di pemerintahan Israel, di antaranya: sebagai Kepala Staf Umum Angkatan Pertahanan Israel (2011-2015), Menteri Pertahanan (2020-2022), hingga Wakil Perdana Menteri (2021-2022).

Gantz terjun ke dunia politik dengan mendirikan partai politik baru bernama Ketahanan Israel Biru Putih (Israel Resilience). Ia kemudian menjadi pemimpin Persatuan Nasional, yang terdiri dari Partai Ketahanan Israel dan Harapan Baru. Ini menjadi koalisi poros tengah di Kabinet Netanyahu.

Setelah Benny Gantz, disusul Komandan Divisi Gaza Pasukan Zionis Israel Brigadir Jenderal Avi Rosenfeld ikutan mundur karena itu merasa gagal melindungi pangkalan militer dan permukiman Israel dari serangan lintas batas roket-roket Hamas pada tanggal 7 Oktober 2023.

Baca Juga:  IDF MUI Berikan 100 Sertifikasi Halal Kepada Pelaku Usaha di 15 Provinsi

Menurutnya, setiap pemimpin harus bertanggung jawab atas tugasnya, dan saat itu dia memimpin Divisi 143 yang menjaga perbatasan.

Brigjen Rosenfeld bukan perwira senior Israel pertama yang mengundurkan diri karena gagal mengantisipasi serangan Hamas. Pada tanggal 22 April 2024, Kepala Direktorat Intelijen Militer (AMAN) Angkatan Darat, Mayor Jenderal Aharon Haliva juga mengundurkan diri juga karena gagal memberikan data intelejen sebelum serangan 7 Oktober 2023.

Pada tanggal 17 Oktober 2023, Mayjen Aharon Haliva mengeluarkan surat kepada tentaranya, tentang kegagalan memperingatkan serangan mendadak terhadap Israel.

“Kami gagal dalam misi terpenting kami, dan sebagai kepala Direktorat Intelijen IDF saya memikul tanggung jawab penuh. atas kegagalan ini,” ucapnya.

Dia pun menyebut peristiwa serangan itu sebagai Hari Hitam (Black Day).

Menyusul berikutnya, jenderal terkemuka Israel berikutnya, Brigadir Jenderal Avi Rosenfeld, Kepala Divisi Gaza Pasukan Pertahanan Israel, yang ikut mengundurkan diri, setelah mengaku merasa gagal mengatasi serangan Operasi Badai Al-Aqsa.

Brigjen Avi Rosenfeld mengakui kegagalannya dalam melindungi kota-kota dan desa-desa Israel di dekat Gaza pada 7 Oktober 2023.

Ada lagi, Jenderal Purnawirawan Gadi Eisenkot , yang pernah menjabat sebagai Kepala Staf Jenderal Israel pada tahun 2015-2019, juga mundur dar pemerintahan Netanyahu.

Baca Juga:  Ribuan Warga Israel Demo di Depan Rumah Dinas Netanyahu

Eisenkot , sebagai anggota Parlemen dari Partai Persatuan Nasional, merupakan anggota pemerintahan darurat Netanyahu yang dibentuk setelah Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober lalu.

Eisenkot merasa terpukul sejak anaknya, Gal Eisenkot (25 tahun), tewas di Gaza utara pada tanggal 7 Desember 2023 lalu.

Media Israel saat itu memberitakan, Eisenkot muda mengalami luka parah akibat ledakan terowongan yang dilakukan pasukan Hamas.

Anak buah Benny Gant di Partai Biru dan Putih, Yehiel Moshe Tropper yang menjabat sebagai Menteri Kebudayaan dan Olahraga juga dikabarkan mundur.

Demo Besar-besaran Warga Israel 

Pengunduran beruntun para pejabat PM Netanyahu, diikuti demo besar-besaran warga Israel melakukan aksi turun ke jalan-jalan utama di kota Tel Aviv dan sekitarnya. Aksi ini juga merupakan gerakan lanjutan tiap akhir pekan warga Israel yang anti-Netanyahu.

Tuntutannya warga pun sejalan dengan seruan Gantz, menuntut Netanyahu mundur dari jabatannya, dan mendesak segera pemilu. Di samping menuntut pengembalian sandera tentara Israel yang masih ditahan di Jalur Gaza oleh pasukan Hamas.

Jika memang tuntutan pemilu Israel ini dilaksanakan, ini akan menjadi  pemilihan umum kelima dalam kurun 3,5 tahun terakhir. Pemilihan umum legislatif ini akan menentukan susunan Parlemen Israel (Knesset) sekaligus pos perdana menteri.

Demonstrasi turun ke jalan dengan tuntuan utama antara lain pemilu segera, berlangsung juga di Yerusalem Barat, Kaisarea, Haifa, dan Be’er Sheva. Bahkan demo mendekat ke dekat Kantor Kementerian Pertahanan di Tel Aviv.

Baca Juga:  Sebanyak 30.000 Jamaah Shalat Jumat di Masjidi Al Aqsa

“Tangan Anda berlumuran darah orang mati. Anda menelantarkan para sandera di Gaza, Anda melakukan korupsi, Anda mencuri dan Anda menduduki,” komen dalam seorang demonstran.

Sementara itu, pemimpin oposisi Yair Lapid berpidato di depan rapat umum di Paris Square di Haifa, mengatakan, “Pemerintah ini bukan negara. Pemerintahan ini adalah bencana bagi negara.”

“Demi para sandera, demi tentara, demi mereka yang dievakuasi dari rumah mereka di Israel selatan dan utara, demi menyelamatkan negara Israel, kita perlu mengadakan pemilu sekarang,” serunya.

Upaya Kabinet Perang Zionis Israel yang pada awalnya mendapat dukungan luas dari masyarakat, namun dalam beberapa bulan terakhir perpecahan muncul, seiring gagalnya perang Gaza yang telah menghabiskan dana senilai ratusan triliun rupiah.

Meskipun Netanyahu telah menjanjikan kemenangan total, tapi semakin banyak kritikus dan pengunjuk rasa yang mendukung gencatan senjata yang berharap memulangkan sekitar 120 sandera yang masih terkurung di Jalur Gaza.

Militer Israel telah mengumumkan lebih dari 40 orang di antara mereka tewas, dan para pejabat khawatir jumlah tersebut akan bertambah seiring lamanya para sandera ditahan.

Sementara di dunia diplomasi internasional, Israel semakin terjepit dengan adanya pengakuan 143 negara dari jumlah total 193 di PBB, yang sudah mengakui secara de jure, Negara Palestina. []

Mi’raj News Agency (MINA)