Persaingan Fatah-Hamas Memisahkan Keluarga Palestina

Loay Tailakh (40) hanya bisa memandangi foto anak-anaknya dari Ramallah, Tepi Barat. Sudah dua tahun ia berpisah dengan istri dan ketiga anaknya yang tinggal di Jalur Gaza. (Foto: Jaclynn Ashlyn/Al Jazeera)

 

Loay Tailakh (40 tahun) menelepon keluarganya di Jalur Gaza yang terkepung setiap hari, tapi dia menghindari obrolan video, karena itu dapat membuatnya depresi dan tidak bekerja berhari-hari.

“Saya merasa gagal sebagai seorang ayah,” katanya bercerita kepada wartawan Al Jazeera pada akhir Juni 2017.

Meskipun istri dan tiga anaknya tinggal hanya dua jam perjalanan dari rumahnya di Ramallah, tapi dia belum pernah bertemu mereka selama dua tahun.

“Saya tahu, saya akan menghadapi beberapa kesulitan untuk membawa keluarga saya ke Tepi Barat, tapi saya tidak pernah berpikir bahwa mungkin saya tidak akan pernah melihat mereka lagi,” kata Tailakh.

Lebih dari satu dekade yang lalu, Tailakh menerima gelar PhD di bidang Pertanian dari Bulgaria. Kemudian ia pindah ke Gaza dari Tepi Barat untuk bekerja di Kementerian Pertanian. Dia pun menikahi istrinya, Shireen, pada tahun 2004. Mereka memiliki tiga anak: Karim yang kini berusia 13 tahun, Yusuf sembilan tahun, dan Salem tujuh tahun.

Namun, ketika Hamas mengambil alih Jalur Gaza pada tahun 2007 dan pemerintah Israel menerapkan blokade yang menghancurkan, kehidupan Tailakh mulai terurai.

Dalam sebuah tindakan protes terhadap kemenangan Hamas, Otoritas Palestina yang dipimpin Fatah memerintahkan pegawai publiknya untuk menolak bekerja kepada pemerintahan yang baru tersebut. Sebanyak 70.000 karyawan kemudian dibayar untuk tinggal di rumah.

Tailakh termasuk di antara sekitar 50.000 pegawai PA yang memutuskan untuk terus bekerja di sektor publik di bawah pemerintahan baru. Namun, akibat dari perseteruan antara Hamas dan PA yang terus berlanjut, mereka hanya menerima sebagian pembayaran untuk pekerjaan mereka dan terkadang tidak dibayar sama sekali. Kondisi itu menjerumuskan banyak keluarga di Gaza ke dalam kekacauan finansial.

Mahmoud Abu Rahma dari Pusat Hak Asasi Manusia Al-Mezan mengatakan bahwa persaingan Fatah-Hamas telah  memisahkan orang-orang Palestina.

Karyawan yang dibayar oleh pihak berwenang Gaza sebagian besar jatuh di bawah garis kemiskinan, karena gaji mereka dibayar secara tidak menentu.

Orang-orang Palestina seperti Tailakh tanpa disadari terjebak di antara pengepungan yang dipaksakan Israel dan perpecahan Palestina yang terus berlangsung.

Foto dua anak Loay Tailakh yang bersekolah di Gaza. (Foto: Jaclynn Ashlyn)

 

Pada tahun 2014, Israel melancarkan serangan militer 51 hari di daerah kantong yang terkepung di Gaza tersebut, menewaskan lebih dari 2.000 .

“Itu adalah hari-hari terburuk dalam hidupku,” kata Tailakh, rahangnya mengepal saat ia berusaha menahan air mata.

Saat serangan udara Israel datang, ia dan keluarganya terpaksa melarikan diri ke rumah saudara perempuannya.

Di masa perlindungan itu, Tailakh dan keluarganya  mendengarkan radio selama pengeboman. Sangat menyakitkan setiap kali mereka mendengar nama seorang teman atau anggota keluarga yang terluka atau terbunuh, atau rumah siapa yang baru saja hancur.

Keluarga tersebut akhirnya menemukan tempat berlindung di satu-satunya tempat yang mereka yakini akan aman dari serangan Israel, yaitu rumah sakit anak-anak.

Ketika perang berakhir, lingkungan mereka berbau mesiu dan api berkobar di mana-mana.

“Saya hanya berdiri di sana dan mulai menangis seperti anak kecil,” katanya.

Setelah pengeboman berhenti, stres dan ketakutan terjadi.

Bertahun-tahun tanpa menerima gaji tetap, ditambah dengan perang, membuat Tailakh merasa tidak bisa bertahan lagi. Jadi, Tailakh dan keluarganya memutuskan bahwa mereka harus pergi dari Gaza.

Setahun kemudian, Tailkah mendapat kesempatan. Ibunya yang tua di Hebron membutuhkan seorang penjaga sementara. Tailakh yang memiliki kediaman di Tepi Barat, mendapat izin untuk keluar dari Gaza karena alasan itu.

Pada saat yang sama, dia ditawari pekerjaan oleh Kementerian Pertanian PA di Jenin sebagai Direktur Pertanian Eksperimental.

Sementara itu, permintaan izin istrinya ditolak oleh Shin Bet, badan keamanan internal Israel, karena “alasan keamanan”.

Tailakh kemudian mengajukan banding ke Kementerian Urusan Sipil Palestina yang bertugas mengirim permintaan penyatuan kembali keluarga yang terpisah ke pihak berwenang Israel dan beberapa organisasi hak asasi manusia.

Dia bahkan mengirim surat secara pribadi kepada Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang diduga diteruskan kepada Menteri Urusan Sipil Palestina Hussein Al-Sheikh.

Namun, berbulan-bulan telah berlalu tanpa ada respon. Tailakh tetap sendirian di rumahnya, tidak bisa tidur.

“Setiap hari, anak-anak saya bertanya kepada saya, kapan mereka bisa datang menemui saya,” katanya. “Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya katakan kepada mereka.”

Tekanan terus-menerus memiliki dampak negatif pada kesehatan Tailakh. Selama dua tahun terakhir berat badannya bertambah, ia kini mengidap diabetes dan tekanan darah tinggi.

Guru-guru di Gaza juga mencatat bahwa nilai anak-anak Tailakh di sekolah turun sejak ayah mereka pergi.

Kelompok hak asasi manusia Israel, Gisha, memiliki data bahwa lebih dari setengah juta penduduk Gaza memiliki keluarga di Israel dan Tepi Barat yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur. Namun, mayoritas tidak diizinkan oleh otoritas Israel untuk saling bertemu.

Tailakh berharap, istri dan anak-anaknya dapat keluar dari Gaza melalui persimpangan Rafah yang dikendalikan Mesir. Sehingga memungkinkan mereka bisa bertemu di Mesir selama beberapa pekan liburan yang akan datang. Namun, selama lebih dari satu tahun, keluarganya dengan cemas menunggu di belakang antrian 25.000 penduduk Gaza lainnya. Mereka sangat menunggu dibukanya perbatasan yang sangat jarang terjadi.

“Saya khawatir tentang dampak psikologis jangka panjang yang akan terjadi pada anak-anak saya jika kami tidak segera bersatu kembali,” kata Tailakh. (RI-1/P1)

Sumber: tulisan Jaclynn Ashly

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)