Pertimbangan Kemanusiaan Pengungsi Suriah di Eropa

afta peci putihOleh Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Pengantar

The Global Peace Index (2015), merilis laporan, saat ini lebih dari 9,5 juta warga Suriah atau sekitar 40 persen lebih dari populasi penduduknya (23.423.062 jiwa, Sensus 2015), melarikan diri mengungsi ke luar negeri akibat perang saudara di negerinya sendiri, sejak Maret 2011.

Lebih dari 4 juta di antaranya menjadi pengungsi di kamp-kamp pengungsian negara-negara tetangganya. Data Lembaga PBB untuk Pengungsi UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) menyebutkan, jumlah itu meliputi pengungsi ke Turki (1.805.255 jiwa) dan ini menjadi negara paling banyak menampung . Lalu negara tetangga  Lebanon (1.172.753), Jordania (629.128), Irak (249.726), dan Mesir (132.375).

Lebanon, negara kecil tetangga Suriah dengan berpenduduk 4,5 juta, mulai kewalahan menampung lebih 1,2 juta pengungsi (26% dari jumlah warga setempat) asal Suriah.

Menurut UNHCR, Lebanon menghadapi beban sangat berat dalam menyediakan kebutuhan dasar buat mereka. Berkurangnya bantuan internasional menjadi pukulan berat bagi pengungsi Suriah di Lebanon. Kantor Berita Antara menyebutnya sebagai pengungsi Suriah di Lebanon menghadapi kematian secara perlahan (21/8/2015).

Pengungsi Suriah di Irak, lebih-lebih lagi. Apalagi saat ini situasi dalam negeri Irak masih dalam konflik berdarah. Ini membuat para pengungsi pendatang juga tidak aman, yang sewaktu-waktu dapat menjadi korban. Irak sejak invasi Amerika Serikat (), 18 Maret 2003 sampai 15 Desember 2011, hingga pascaserangan AS, membuat negeri ini tercabik-cabik. Apalagi ditambah munculnya kelompok bersenjata ISIS (Islamic State of Iraq and al-Sham) atau Daesh (ad-Daulah el-Islamiyyah fi al-Iraq wa asy-Syam), yang memproklamasikan dirinya sebagai Negara Islam sekaligus kekhalifahan dunia pada 29 Juni 2014.

Kondisi pengungsi di Mesir, negeri yang baru pulih dari konflik dalam negeri berkepanjangan sebagai dampak ‘Arab Spring’ (digulirkan sejak 18 Desember 2010), masih lebih lumayan walau tidak terlalu bagus. Namun paling tidak mereka selamat dari brutalitas konflik bersenjata di negara mereka.

Apresiasi warga Mesir terhadap pengungsi terbilang cukup baik. Hingga orang terkaya nomor tiga di negeri Piramida bernama Naguib Sawiris, menyiapkan sebagian kekayaannya bagi para pengungsi perang Suriah dan Afghanistan. Miliarder jaringan telekomunikasi itu telah mengajukan diri akan membeli pulau di Yunani atau Italia untuk tempat tinggal para pengungsi.

Keterbatasan-keterbatasan dan situasi itu, membuat sebagian pengungsi melirik negara-negara di kawasan dengan harapan untuk mencari penghidupan yang lebih baik lagi.

arus pengungsi indepenent
(Source: The Independent)

Mengalir ke Eropa

Bagai air bah, ratusan ribu warga Suriah belakangan terpaksa mulai mencari daerah pengungsian ke daratan Eropa. Di antaranya ke Italia, Yunani, Hongaria, Jerman, Austria, Inggris, Swedia, Kanada, dan lainnya.

Prediksi dari Organisasi Internasional untuk Migrasi IOM (International Organization for Migration), setidaknya 350 ribu telah mencapai perbatasan Uni Eropa sejak Januari-Agustus 2015.

Sementara 270.000 orang lainnya sedang mengajukan aplikasi suaka ke negara-negara Eropa. Tidak termasuk ribuan lainnya yang tidak terdeteksi. Konflik yang tak kunjung usai, semakin membuka peluang lebih banyak lagi warga Suriah yang mengungsi.

Di samping konflik di negara asal, dan desakan keterbatasan di negara tetangga, tentu adanya harapan hidup lebih baik di negeri baru, menjadi alasan para pengungsi menyabung nyawa harus menyeberangi lautan lepas dan menelusuri daratan.

Dalam pandangan Branko Milanovic, ekonom Serbia-Amerika, yang pernah menjabat di Departemen Penelitian Bank Dunia, mengatakan alasan bahwa di Uni Eropa paling tidak ada harapan hidup lebih besar dibandingkan hidup di negeri sendiri yang sedang berperang. Alasan lainnya, adanya peluang menjadi pekerja walau hanya sebagai buruh kasar, dan sekalipun dengan upah minim, memaksa memilih Eropa sebagai harapan mereka.

Ada juga alasan lainnya, mengapa lebih memilih mengungsi menantang ganasnya Laut Mediterania untuk menuju Eropa daripada berpindah ke negara Arab di kawasan Teluk yang dikenal dengan kekayaannya yang melimpah, adalah soal visa.

Menurut sejumlah laporan yang ada menunjukan bahwa kebanyakan pemerintahan negara-negara Teluk mencegah para pengungsi Suriah untuk mendapatkan visa masuk ke negara-negara Arab, kecuali Aljazair, Mauritania, Sudan dan Yaman.

Sementara di negara-negera itu kondisi sosial, ekonomi dan keamanannya juga relatif belum stabil, terutama Yaman yang masih mengalami konflik berdarah.

Memang ada juga bantuan negara Teluk seperti pemerintah Arab Saudi yang telah memberikan izin tinggal bagi 100 ribu pengungsi Suriah di negeri itu.

Menurut seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Saudi kepada kantor berita resmi Saudi Press Agency (SPA), pemerintah Saudi juga telah menganggap para pengungsi Suriah bukan sekedar sebagai pengungsi belaka. Melainkan telah mengeluarkan izin tinggal.

“Dengan itu maka ada hak atas pendidikan gratis, layanan kesehatan dan pekerjaan menurut dekrit kerajaan pada tahun 2012 yang juga menyatakan bahwa pelajar Suriah yang datang ke kerajaaan ini bisa dimasukkan ke sekolah-sekolah umum,” kata pejabat Saudi tersebut.

Pemerintah Saudi juga telah membantu jutaan pengungsi Suriah di Yordania, Lebanon dan lainnya dengan bekerja sama dengan negara-negara tersebut dengan menyalurkan bantuan kemanusiaan senilai total US$ 700 juta atau sekitar Rp9,2 trilun (data per September 2015).

Namun sisi lainnya adalah adanya kepentingan politik kawasan, yang menjadikan negara-negara kaya minyak itu sebagian mendukung revolusi yang berjalan di Suriah, dan di sisi lain ada yang mendukung rezim Bashar Al-Assad.

Soal sulitnya visa apalagi suaka juga menjadi kendala. Malah Uni Emirat Arab akan memberikan denda sebesar 50 ribu dirham UEA (atau sekitar Rp192 juta) kepada setiap perusahaan yang memperkerjakan warga Suriah yang tidak memiliki visa. Sedangkan ke Eropa lebih bebas visa.

Baca Juga:  Fakta Kebusukan Protokol Zionis Israel

Alasan-alasan itulah yang membuat para pengungsi hingga kini masih terus mengalir ke daratan Eropa. Peta jalan yang mereka tempuh, asal sudah keluar dari Suriah lalu ke Turki. Sebagian dari Turki, memilih melanjutkan perjalanan ke Eropa melalui Yunani sebagai gerbang Eropa. Lalu menyebarlah ke Serbia, Hongaria, Kroasia, Austria, hingga Jerman.

welcom germany iomtoday
(Source: iomtoday)

Pengungsi ke Jerman

Jerman hingga kini merupakan negara terbanyak yang menerima pengungsi Suriah. Tribunnews (14/9/2015) berdasarkan sumber CNN menyebutkan data, jumlah pengungsi berdasarkan yang mengajukan aplikasi permintaan suaka adalah: di Jerman (98.700 aplikasi, prediksi sudah masuk 800.000 aplikasi, daya tampung 500.000).

Berikutnya, Swedia (64.700 pengungsi), Prancis (6.700, target 24.000), Inggris (7.000, prediksi  hingga 20.000), Denmark (11.300, selanjutnya mencegah), Hungaria (18.800, dibatasi pagar kawat berduri sepanjang 160 kilometer di perbatasan dengan Serbia, menerima 49.500 permintaan suaka dari pengungsi Suriah)

Negara Eropa lainnya, juga sedang menerima aplikasi suaka para pengungsi Suriah, seperti: Spanyol (5.500),  Belanda  (14.100),  Austria (18.600),  Swiss (8.300) dan Bulgaria  (15.000).

Italia menjadi negara tujuan bagi para pengungsi yang berlayar dari Laut Mediterania, telah menerima 2.143 aplikasi suaka. Sementara Yunani, yang menjadi rute transit populer bagi pengungsi yang datang dari Turki utara melalui Balkan ke Eropa Utara, telah menyambut kedatangan 250.000 orang pengungsi tahun ini. Negara ini telah menerima 3.545 aplikasi suaka pada Juli 2015.

Adapun total jumlah pengungsi sepanjang 2015 tercatat tak kurang dari 1,25 juta pengungsi tiba di negara-negara Uni Eropa.

Tentang Jerman, ada beberapa alasan mengapa negara ini mau menampung para pengungsi Suriah, di antaranya, seperti dilansir BBC, adalah pertimbangan solidaritas kemanusiaan global yang tidak terbentur agama, aliran, apalagi ras. Pengalaman panjang masyarakat Jerman dalam Perang Dunia berpuluh tahun lalu menjadi pelajaran berharga.

Dalam beberapa pekan terakhir, tercatat ada lebih dari puluhan ribu pengungsi, sebagian besarnya berasal dari Suriah masuk secara ilegal ke Eropa lewat Turki, Yunani, dan Hongaria, hingga tiba di Jerman.

Berthold Damshauser, pemerhati masalah sosial di Bonn mengatakan, penerimaan secara terbuka masyarakat Jerman ini kemungkinan didasari oleh pengalaman warga Jerman pada masa lalu yang pernah terjebak dalam konflik besar Perang Dunia II (1939-1945).

Jutaan warga Jerman kala itu banyak yang menjadi pengungsi, terpaksa meninggalkan rumah, kota, dan negara mereka karena perang.

Ini pun diakomodir dalam Undang-undang Dasar Federal Pasal 16 A yang memberikan jaminan “pemberian suaka individu kepada korban perang.” Peraturan ini menegaskan Jerman memiliki kewajiban kemanusiaan untuk menerima pengungsi.

Walaupun menurut kelompok konservatis Jerman, telah muncul suara agar negara itu memperketat aturan soal pemberian suaka, jika perlu dengan mengubah konstitusi. Pasalnya, negara-negara Uni Eropa yang lain tidak siap untuk mengadopsi standar tinggi soal hak suaka seperti Jerman.

“Siapa yang menginginkan solusi Eropa untuk krisis pengungsi harus siap untuk meneropakan standar Jerman,” kata Menteri Keuangan Regional dari Partai Serikat Sosial Kristen (CSU), Marus Soeder, seperti dikutip dari Reuters.

Alasan lainnya adalah survai yang dilansir CNN menyebutkan, Jerman menjadi tujuan favorit karena tiga pilar penting negara Jerman yaitu demokrasi kuat, sejarah panjang penerimaan pengungsi, dan stabilitas ekonomi.

Tentang stabilitas ekonomi ini, menurut pengamat internasional dari CSIS (Centre for Strategic and International Studies), Dr. CPF Luhulima menilai alasan penerimaan Jerman terhadap pengungsi adalah karena para pengungsi berpotensi memperkuat sektor tenaga kerja Jerman, yang tentunya akan berujung pada penguatan ekonomi.

Merujuk dari data penuaan warga yang dirilis oleh Komisi Eropa tahun ini, populasi German akan menurun dari 81,3 juta orang pada 2013 menjadi 70,8 juta orang pada 2060. Dari jumlah tersebut, prediksi warga yang berusia 65 tahun ke atas akan meningkat dari 32 persen pada tahun ini, menjadi 59 persen pada 2060.
Karenanya, Jerman diprediksi akan kekurangan warga usia produktif, yang mengancam sektor ketenagakerjaan dalam negeri.

“Jerman berupaya mengamankan sektor tenaga kerja, karena terancam depopulasi akibat penuaan masyarakat. Dengan adanya para pendatang, dalam hal ini para imigran, kekurangan itu bisa diisi,” kata Luhulima.

Meski demikian, Luhulima memperingatkan tidak semua pengungsi akan mudah mendapatkan pekerjaan di Jerman. Bagi mereka yang tidak memiliki kualifikasi yang dibutuhkan, bisa jadi tidak mendapatkaan pekerjaan.

pengungsi yunani arabnews
Pengungsi Suriah di Yunani (Arabnews)

Kesepakatan Ambigu Uni Eropa

Dalam upaya mengatasi para pengungsi, negara-negara Uni Eropa dan Turki membuat kesepakatan bersama pada Jumat (18/3/2016) di Brussels, Belgia, bahwa semua pihak berharap akan meringankan krisis pengungsi terburuk di Eropa sejak Perang Dunia II. Presiden Dewan Eropa Donald Tusk dan Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoglu menyebut perjanjian itu sebagai “peristiwa penting dan bersejarah” bagi Turki dan Uni Eropa.

Voa Indonesia (19/3/2016) menyebutkan, kesepakatan itu mulai berlaku Ahad (20/3/2016), yang antara lain isinya:  semua pengungsi Suriah yang secara ilegal masuk ke Yunani akan dikirim ke Turki, setelah didaftar dan permintaan suaka mereka di Eropa dipertimbangkan.

Sebagai gantinya, ribuan pengungsi yang melarikan diri ke Turki dan secara hukum mencari suaka, akan dimukimkan secara merata di 28 negara anggota Uni Eropa.

Baca Juga:  Demonstrasi Mahasiswa Bukti Lemahnya Zionis Israel

Turki sudah menampung hampir dua juta pengungsi Suriah. Negara itu pun akan mendapat bantuan keuangan dari Uni Eropa karena menangani krisis pengungsi, ditambah pembicaraan yang dipercepat mengenai keanggotaan Turki dalam Uni Eropa dan bebas visa bagi warga Turki memasuki seluruh Uni Eropa.

Namun para pemimpin Uni Eropa sendiri pesimistis dengan ‘kesepakatan ambigu’ itu. Presiden Lithuania misalnya, mengatakan usul itu secara hukum internasional mungkin sulit diterapkan. Perdana Menteri Belgia bahkan menuduh Turki melakukan pemerasan.

Tetapi Eropa selama berbulan-bulan ini kesulitan mengatasi krisis pengungsi terburuk dalam 70 tahun terakhir di benua itu dan tidak ada yang memberi solusi yang bisa disetujui semua pihak.

Jutaan pengungsi menjadi seperti terkatung-katung. Padahal sudah lebih dari 4.000 pengungsi tenggelam ketika mencoba menyeberangi Laut Aegea antara Turki dan Yunani. Ribuan lainnya tenggelam di Laut Tengah yang berbahaya. Anak-anak juga menjadi korban.

Perdana Menteri Turki Davutoglu mengatakan, bahwa nasib pengungsi bukan soal tawar-menawar, melainkan isu nilai kemanusiaan dan nilai-nilai Eropa.

Sementara itu, seperti dilansir Anadolu Agency yang dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA), pada Jumat (18/3/2016), Komisaris Uni Eropa untuk Migrasi, Negeri dan Kewarganegaraan Dimitris Avramopoulos mengatakan, negara-negara Eropa ternyata tidak siap menghadapi krisis pengungsi.

“Eropa ternyata tidak siap untuk menghadapi krisis pengungsi,” kata Avramopoulos.

Sementara itu, lembaga kemanusiaan Amnesty Internasional menyatakan, para pemimpin negara-negara Uni Eropa (UE) telah ‘berbicara ambigu’ dalam kesepakatan dengan Turki soal pengungsi.

Amnesty mengatakan kesepakatan tersebut belum dapat mengatasi krisis global pengungsi di Eropa, media The Star melaporkan yang dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA) Sabtu (19/3/2016).

Kesepakatan dinilai hanyalah untuk menutup rute utama di Laut Aegean yang telah dilalui oleh lebih dari satu juta orang yang masuk ke Eropa melalui gerbang Yunani sepanjang tahun 2015 lalu.

Direktur Amnesty International untuk Eropa dan Asia Tengah, John Dalhuisen mengatakan, janji Uni Eropa untuk memperhatikan hukum internasional  bagaikan memberikan ‘gula berlapiskan sianida’ dan para pengungsi dipaksa menelannya.

Dalhuisen menambahkan, para pemimpin Eropa secara kolektif gagal untuk mengatasi segudang kontradiksi dari kesepakatan antara Uni Eropa dan Turki pada bagaimana menangani krisis pengungsi.

“Kesepakatan telah gagal untuk mengatasi krisis pengungsi global, dan sengaja mengabaikan kewajiban internasionalnya,” ujarnya.

Ia menambakan, jaminan untuk lebih teliti dan menghormati hukum internasional tidak sesuai dengan yang disebut-sebut pada pengembalian pengungsi ke Turki, dari semua migran gelap yang telah tiba di pulau-pulau Yunani.

Protes ini berakar pada prinsip “non-refoulement,” dalam Konvensi Pengungsi 1951, yang menyatakan bahwa “Tidak ada Negara yang dapat mengusir atau mengembalikan, memulangkan kembali pengungsi dengan cara apa pun ke perbatasan wilayah di mana hidup atau kebebasannya akan terancam”.

Namun, para pemimpin Eropa bersikeras bahwa semuanya akan sesuai dengan hukum.

anak di kamp dailymail
Anak Suriah di Kamp Pengungsian (dailymail)

Tanggung Jawab Komunitas Internasional

António Guterres, Kepala Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi UNHCR (2005-2015) pada pertemuan Komite Executive Tahunan UNHCR di Jenewa (30/9/2013), mengingatkan masyarakat internasional tentang sejumlah besar pengungsi Suriah yang melarikan diri karena perang ke negara-negara di Eropa akan dapat menjadi ancaman sosial dan ekonomi.

“Itu jika tidak adanya upaya menyelamatkan nyawa dan memberikan perlindungan terhadap mereka,” kata António Guterres.

Untuk itu, menurutnya, menjadi tanggung jawab bersama negara-negara di dunia untuk membuka perbatasan mereka dan terus memberikan perlindungan bagi para pengungsi. Negara-negara yang kebagian menjadi tuan rumah, harus jauh lebih dari sekedar meningkatkan bantuan kemanusiaan. Namun juga mereka bisa memberikan bantuan keuangan, termasuk bantuan darurat untuk sektor-sektor seperti kesehatan, pendidikan, perumahan, air dan energi, paparnya.

Guterres mengatakan rasa frustrasi melihat semua solusi politik di telinga yang tuli. Padahal berbagai pihak masih dapat datang bersama-sama dan mengakhiri penderitaan Suriah dan destabilisasi bertahap negara-negara tetangga. Bantuan bisa berupa penyaluran dana untuk kebutuhan darurat pengungsi, atau sekaligus berbagi beban tempat pengungsi. Penempatan yang dilanjutkan dengan penerimaan izin tinggal termasuk akses ke pelayanan kesehatan, pendidikan dan hak untuk bekerja.

Kepala Kemanusiaan PBB (UN Humanitarian) Stephen O’Brien saat peninjauan kamp pengungsi di Jordania (Relief Web, 20/9/2015) telah meminta masyarakat internasional untuk segera meningkatkan bantuan bagi pengungsi Suriah, terutama di Yordania.

“Tetangga Suriah ini telah mencapai titik di mana seluruh dunia mendesak harus berbagi lebih tanggung jawab dalam merespon kebutuhan kemanusiaan akibat krisis Suriah dan membantu orang-orang yang paling rentan,” kata O’Brien.

Sejauh ini bantuan internasional untuk para pengungsi di kamp-kamp, masih jauh dari target. Kebutuhan tahun 2015 mencapai angka 7,4 miliar dolar AS (sekitar Rp97 triliun). Namun hanya 38 persen dari dana bantuan yang diterima.

Solusi yang Mungkin

Menarik apa yang ditulis Sharon Stanton Russell dari Migration Policy Institute (MPI, 2002) bahwa kompleksitas masalah pengungsi harus diurai. Mulai dari pengertian yang disepakati, kelompok kepentingan yang bersangkutan, syarat sebagai pengungsi, institusi yang berhak, serta status hukum pengungsi.

Mengacu pada Hukum internasional untuk pengungsi seperti tertuang pada Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, menjabarkan definisi pengungsi sebagai “Seseorang yang dikarenakan oleh ketakutan yang beralasan akan penganiayaan, yang disebabkan oleh alasan an ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu dan keanggotaan partai politik tertentu, berada diluar Negara kebangsaannya dan tidak menginginkan perlindungan dari Negara teresebut.”

Baca Juga:  Fakta Kebusukan Protokol Zionis Israel

Ketika seorang pengungsi meninggalkan negara asalnya atau tempat tinggal sebelumnya, mereka meninggalkan sebagian besar hidup, rumah, kepemilikan dan keluarganya. Pengungsi tersebut tidak dapat dilindungi oleh negara asalnya karena mereka terpaksa meninggalkan negaranya. Karena itu, perlindungan dan bantuan kepada mereka menjadi tanggung jawab komunitas internasional.(Sumber: UNHCR).

Sharon Stanton Russell memberikan catatan, Konvensi PBB 1951 mengenai Status Pengungsi, diperkuat dengan Protokol 1967 mengenai Status Pengungsi, harus diberlakukan oleh negara-negara di dunia. Ia bahkan menambahkan Deklarasi Cartagena 1984 oleh sekelompok negara Amerika Latin, yang menambahkan jika ada pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran. Meskipun tidak ada perjanjian, tapi deklarasi ini cukup membawa kekuatan moral yang cukup bagi internasional.

Beberapa solusi yang Russell ajukan untuk penanganan pengungsi di antaranya: Pertama, perbaikan kapasitas administratif, bagi negara yang tidak atau belum memiliki cukup perangkat administrasi untuk menentukan kriteria untuk status pengungsi.

Dalam hal ini, dua konvensi untuk pengungsi menjadi rujukannya, yakni Konvensi Status Pengungsi Tanpa Kewarganegaraan tahun 1954, dan Konvensi tentang Pengurangan Tanpa Kewarganegaraan tahun 1961 untuk menangani pengungsi tanpa kewarganegaraan. Mereka akan dilengkapi dengan perjanjian dan ketentuan hak asasi manusia internasional yang relevan.

Kedua, pendataan yang cermat identitas pengungsi. Data tersebut sangat penting untuk merencanakan program bantuan dan perlindungan terhadap mereka. Data UNHCR dapat menjadi acuan, di samping data pembanding dari Komite AS untuk Pengungsi (The US Committee for Refugees and Immigrants / USCRI), sebuah organisasi non-pemerintah yang melakukan advokasi untuk para pengungsi.

Ketiga, perlindungan hukum. Ini yang sering diperdebatkan yaitu masalah kebijakan internasional soal perlindungan hukum, yang akhirnya menjadi keprihatinan bagi pengungsi dan pencari suaka. Di sini perlu dipadukan antara hukum nasional negara masing-masing, dengan hukum humaniter (kemanusiaan) yang bersifat universal, yang sebenarnya menjadi tanggung jawab masyarakat internasional.

Dalam hal ini, sebenarnya menjadi tanggung jawab Dewan Keamanan PBB untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, terutama berdasarkan Pasal 24 dari Piagam PBB, “Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat menjalankan tindakannya dengan lancar dan tepat, maka anggota-anggota memberikan tanggung jawab utama kepada Dewan Keamanan untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional, dan menyetujui agar Dewan Keamanan dalam menjalankan kewajiban-kewajiban bagi penanggung-jawaban ini bertindak atas nama PBB”.

Keempat, memberikan bantuan kemanusiaan. Hanya yang menjadi catatan adalah dilematika pengiriman bantuan kemanusiaan dalam kondisi konflik. Apakah diberikan melalui salah satu pihak yang bertikai, atau keduanya, atau

badan-badan internasional yang juga membahayakan keamanan stafnya, ataukah meminta keterlibatan militer internasional untuk menyediakan keamanan bagi operasi perlindungan dan bantuan.

Kelima, pelucutan senjata di kamp pengungsian. Para pengungsi di kamp-kamp seringkali menghadapi situasi rentan manakala muncul kelompok bersenjata masuk ke dalamnya.

Keenam, penerbangan massal. Ini yang dikhawatirkan oleh negara-negara Eropa. Mereka enggan mengakui sebagai pengungsi, kecuali tentu adanya . Sebenarnya, dapat diterapkan pemberian “status perlindungan sementara” (non-refoulement), yang di Eropa dikenal sebagai “Status-B”.

Ketujuh, pembagian beban kuota pengungsi, yaitu pemerataan mereka ke berbagai negara yang disiapkan untuk menampungnya. Termasuk akan lebih utama jika ada pembicaraan dan kesepakatan antarnegara-negara di kawasan Timur Tengah. Di sini peran Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan organisasi negara-negara Liga Arab, perlu digalang kembali sesuai dengan akte pendirian awalnya, yakni menggalang solidaritas sesama negara kawasan.

Penutup

Kiranya perlu dibuka dan ditindaklanjuti kembali file Hari Pengungsi Dunia tahun 2012 lalu, ketika UNHCR mengingatkan bahwa dari 57 negara OKI, ada sekitar 50 persen dari anggotanya (sekitar 17,6 juta warganya) adalah menjadi pengungsi yang menjadi perhatian UNHCR.

File pembahasan negara-negara anggota OKI saat di Ashgabat, Turkmenistan pada Mei 2012, menyebutkan, adanya pembahasan pengungsi di dunia Muslim dan upaya penanganannya dengan cara-cara yang bisa mendorong stabilitas dan perdamaian.

Menarik apa yang dibahas dalam buku The Right to Asylum between Islamic Shari’ah and International Refugee Law (Hak mendapatkan Suaka dalam Syariat Islam dan Hukum Pengungsi Internasional), karya Ahmed Abou-El-Wafa. Buku ini mendefinisikan dengan tajam siapa yang bisa disebut sebagai pengungsi, memaparkan hak-hak mereka dan memberi berbagai contoh sejarah, hingga ke zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Seperti digambarkan buku ini, Islam tidak membedakan kulit putih dan kulit hitam, Arab dan non-Arab, orang dalam dan orang luar, dalam penerimaan hak-hak mereka sebagai manusia.

Di sini terdapat titik temu kesamaan penting ajaran Islam dan hukum internasional menyangkut isu kemanusiaan ini.

“Tidak ada banyak perbedaan antara definisi Islam tentang pengungsi dibandingkan dengan konvensi PBB 1951 tentang status para pengungsi,” kata El-Wafa dalam buku itu. Ia menambahkan bahwa “Islam memberi suaka keagamaan, teritorial dan diplomatik, dan seseorang yang diberi suaka dan martabat di sebuah teritori Muslim disebut seorang musta’man”, yang umumnya diartikan sebagai “pencari suaka”, orang yang dilindungi.

Menurut sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bahwa setiap manusia memiliki hak untuk mendapat perlindungan. Kebiasaan pemberian perlindungan tidaklah hanya untuk Muslim namun juga bagi orang-orang di luar Islam seperti juga disebutkan dalam kitab suci Al-Quran, “Dan jika ada di antara kaum non-Muslim yang meminta perlindungan kepadamu, lindungilah agar dia dapat mendengar firman Allah, dan kemudian antarlah dia ke tempat yang aman baginya…”. (Q.S. At-Taubah [9]: 6).

Memahami upaya untuk melindungi pengungsi di seluruh dunia, terutama terkini para pengungsi yang mengalir ke kawasan Eropa harus bermuara pada makna perlindungan kemanusiaan. Sehingga semua yang namanya manusia di atas muka bumi ini, yang memang sebagai satu kesatuan keluarga besar manusia, sama-sama ciptaan Allah, Tuhan Yang Maha Menciptakan, memerlukan pemikiran dan tindakan bersama. Baik dari pejabat pemerintah, aktivis atau rekawan bantuan, akademisi, dan media. Memang terkesan rumit, tapi begitulah peradaban manusia harus tetap eksis di atas nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Wallahu a’lam. (P4/R02)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.