Pesan Kebangsaan, Kekeluargaan dan Kritik pada Pernikahan Putri Jokowi

Oleh Widi Kusnadi, Wartawan MINA

Hari itu, Rabu, 19 Shafar 1439/8 November 2017 merupakan hari bahagia dan bersejarah bagi keluarga Presiden RI ke-7, Joko Widodo dan Erwin Nasution (almarhum). Kedua keluarga asli suku dan Mandailing, Sumatera Utara itu menikahkan putra-putrinya Kahiyang Ayu binti Joko Widodo dan Muhammad Bobby Afif Nasution dalam suasana meriah, namun penuh khidmat dan kesederhanaan. Setidaknya, ada 8000 tamu yang hadir dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari para pejabat pemerintahan hingga tukang becak tetangga sekitar.

Ketua MPR RI Zulkifli Hasan menceritakan suasana pernikahan itu dengan sangat antusias. Ia juga menggambarkan kesederhanaan tampak pada konsep pernikahan mereka. Walaupun bisa saja Pak mengadakan pesta pernikahan di Istana, namun ia memilih tempat acara diadakan di kampung halamannya, jadi banyak masyarakat yang ikut merasakan kemeriahannya.

Tidak hanya mengusung nuansa adat Jawa dan Sumatra Utara, para pengiring mempelai pria dan wanita yang terdiri dari putra putri prajurit TNI juga mengenakan pakaian adat dari berbagai suku dan daerah di Indonesia untuk menandakan bahwa acara itu bukan hanya milik orang Jawa dan Batak saja, tapi juga semua bangsa Indonesia diharapkan ikut merasakan kegembiraan dan mendoakan pasangan Bobby – Kahiyang.

Ada beberapa persamaan sifat antara orang Jawa dengan orang Batak, yaitu sama-sama suka merantau dan terbukti orang-orang yang sukses dalam bisnis atau menjadi pemimpin suatu komunitas masyarakat  adalah mereka yang merantau. Namun, ada juga perbedaan yang mencolok antara suku Jawa dan Batak. Kalau orang jawa itu mereka suka nggak enakan (sungkan) dan pandai menyembunyikan perasaan, sementara orang Batak pada umumnya suka berterus terang, tegas dan langsung to the point saja.

Setidaknya, dua presiden kita, Pak Jokowi dan Pak SBY sama-sama punya menantu orang Sumatera Utara. Pak Jokowi dengan mantunya Booby Nasution, sementara SBY dengan menantu putrinya Annisa Larasati Pohan. Mungkin, orang Batak itu kelasnya menjadi menantu presiden.

Pesan Kebangsaan

Dalam acara akad nikah, terlihat para tokoh dari berbagai latar belakang ormas hadir. Ada mantan Panglima TNI, Moeldoko yang didapuk untuk berpidato mewakili keluarga Jokowi, ada Menko Perekonomian Darmin Nasution mewakili keluarga besan Erwin Nasutin. Ketua Umum PBNU Said Aqiel Siraj dan Buya Syafii Maarif yang menyampaikan khutbah Nikah, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nasir membacakan doa, Wapres Jusuf Kalla dan Rais Aam PBNU Ma’ruf Amin sebagai saksi.

Sementara tampak hadir juga dalam acara akad itu, Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Ani, Presiden ke-5 Megawati Soekarno Putri, Istri Presiden ke-4 Ibu Sinta Nuriyah Gusdur, Wakil presiden (Wapres) Boediono dan Ibu, Wapres Tri Soetrisno, dan Ibu, sementara BJ Habibie diwakili putranya, Ilham Habibie. Sementara yang tidak luput dari sorotan media, ada ketua DPR RI Setya Novanto dan Ibu, Ketua MPR RI Zulkifli Hasan dan Ibu, Gubernur DKI Anies Baswedan dan jajaran menteri kabinet.

Dalam khutbahnya, Said Aqiel menyatakan siapapun tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi esok hari karena itu rahasia dan kuasa Allah SWT. Ia memberi contoh Ibu Sujiatmi tidak pernah menyangka bahwa putranya, Joko Widodo akan menjadi presiden RI saat ini. Oleh karenanya, jika seseorang sesantiasa berbuat kebaikan, Allah akan memberi takdir yang baik pada orang itu.

Penulis menangkap, pesan yang ingin disampaikan Jokowi dalam kesempatan ini adalah persatuan dalam kebinekaan. Acara semacam ini haruslah menjadi ajang pemersatu antara tokoh-tokoh bangsa. Dalam suasana khidmat inilah mereka bisa duduk bersama dalam sebuah nuansa kekeluargaan dan diharapkan tidak hanya berhenti sampai pada acara saja, tetapi juga setelah acara, mereka bisa bekerja sama dalam suasana kekeluargaan pula.

Antara tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah yang kerap berbeda pandangan dalam beberapa masalah, hari itu mereka bisa duduk bersama. Tentu harapan selanjunya agar para pengikut dan simpatisannya di tingkat bawah juga bisa bekerja sama dalam suasana kekeluargaan untuk membangun bangsa.

Yang menarik lagi, kehadiran Anies Baswedan dalam acara itu yang sempat mendapat sorakan dari para simpatisan kelompok tertentu. Tampaknya para pendukung dan simpatisan Ahok Djarot yang ikut hadir di tempat itu belum bisa move on atas kekalahannya di Pilkada DKI. Mendengar dan melihat sorakan itu, Pak Anies tetap melempar senyum sembari melambaikan tangan. Ia memuji acara pernikahan itu yang jauh dari kesan mewah dan mahal, justru menjadi acara rakyat dan ajang silaturahim tokoh dan masyarakat.

Pesan Kekeluargaan

Pesan cinta kasih dan kekeluargaan tersirat salah satunya dari mahar (maskawin) yang diberikan Mas Bobby kepada mbak Ayang. Bobby sengaja memberi mahar berupa seperangkat alat shalat dan emas seharga 80 gram. Angka 8 dan 0 dipilih sebagai lambang cinta mereka yang tidak akan pernah putus, selalu menyambung dan menyambung tiada berujung dan bertepi.

Perhelatan pernikahan itu juga memang sengaja dilaksanakan bukan di istana negara atau menyewa gedung yang megah dan mewah, melainkan di kampung halaman. Meski sebenarnya sah-sah saja seorang Jokowi menggelar acara di Istana seperti halnya Presiden SBY saat mantu kedua puteranya juga dilaksanakan di Istana Bogor dan Cipanas, ataupun menyewa gedung JCC atau hotel top di ibu kota yang luas nan megah rasanya bukan sesuatu yang sulit bagi seorang Jokowi.

Acara dilaksanakan di kampung halaman adalah agar bisa lebih dekat dengan masyarakat. Para saudara, tetangga dan handai taulan bisa turut hadir dan merasakan kegembiraan jiika acara diadakan di kampung halaman. Para rewang yang banyak terdiri atas tetangga sekitar, dikomandoi oleh sang Kakak Gibran Rakabuming yang memang memiliki usaha catering juga lebih memiliki rasa nduweni (memiliki) acara tersebut.

Ada satu hal menarik dari penampilan Kahiyang yang dengan busana adat Jawa Solonya, ia menggunakan tusuk penthul sebanyak tujuh buah. Hal ini sedikit berbeda dengan adat Jogjakarta, mempelai wanita menggunakan tusuk penthul sebanyak tiga atau lima. Kata tujuh dalam bahsa jawa disebut pitu, yang berarti semoga kedua mempelai senantiasa mendapat pitulungan (pertolongan) dari Allah SWT dalam menghadapi setiap masalah dan ujian hidup.

Kritik untuk Acara Resepsi Pernikahan Kahiyang-Bobby

Secara umum penulis menyampaikan apresiasi tinggi kepada Bapak Jokowi yang telah berhasil menyelenggarakan pesta pernikahan puterinya dengan khidmat dan penuh kesederhanaan. Namun ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk perbaikan kedepannya, khususnya bagi keluarga pak Jokowi sebagai public figure, umumnya bagi semua umat Islam untuk bisa melaksanakan walimatul urusy secara Islami.

Secara prinsip, sebagai seorang Muslim tentu semua tindak, tanduk, perbuatan, apalagi sebuah acara perhelatan, hendaklah tidak melanggar syariat Islam. Perlu difahami juga bahwa syariat Islam tidak bermaksud mengekang seseorang untuk berbuat sesuatu, namun syariat itu sifatnya memberi rambu-rambu petunjuk agar suatu acara bisa lebih bermanfaat (tidak mubadzir), efisien sehingga Allah ridha dengan acara itu.

Pertama, masalah waktu shalat yang harus menjadi perhatian serius. Waktu shalat Dhuhur, Asyar dan Isya biasanya lewat dari perhatian dalam sebuah perhelatan pernikahan. Kalau Magrib memang sudah umum orang-orang beristrirahat. Adanya petugas atau MC yang memandu para tamu untuk menunaikan shalat lima waktu (bagi yang Muslim) sangat diperlukan dalam acara-acara seperti ini. Selain itu, adanya petunjuk arah lokasi masjid, mushala dan tempat shalat lain juga sangat diperlukan mengingat para tamu mayoritas belum tahu lokasi-lokasi tersebut. Jika toilet saja disediakan dengan fasilitas bagus, sudah barang tentu, masjid dan mushala di sekitar juga dilengkapi fasilitasnya.

Kedua, akan lebih Islami jika antara tamu laki-laki dan perempuan tidak bercampur. Hal itu selain sejalan dengan perintah Allah dalam surah An Nur 30-31, juga pastinya dirasakan lebih tertib, masing-masing bisa menjaga pandangan dan lebih menjauhkan diri dari fitnah.

Konsep pemisahan antara tamu laki-laki dan perempuan dalam resepsi pernikahan Islami sudah banyak dipraktekkan di berbagai daerah dan mayoritas komentar para tamu lebih senang karena lebih tertib, teratur dan tidak mengurangi kekhidmatan acara. Tamu non-Muslim pun juga tetap bisa menyesuaikan diri dengan konsep itu karena pada dasarnya memang hal itu tidak menyalahi fitrah manusia yang menginginkan ketertiban dan keteraturan.

Kedua, dalam sebuah resepsi pernikahan, para tamu hendaknya tidak makan dan minum sambil berdiri. Di Indonesia, saat ini banyak orang-orang yang menyelenggarakan resepsi dengan konsep standing party, atau pesta dengan berdiri. Hal ini memang mengingat banyaknya tamu yang diundang dan keterbatasan area lokasi. Solusinya adalah disediakan kursi dan tempat duduk lainnya yang cukup sehingga para tamu tidak merasa kesulitan menemukan tempat yang nyaman untuk menyantap hidangan yang tersedia.

Dalam adat ketimuran, makan-minum dengan sambil berdiri juga tidak direkomendasikan oleh norma kesopanan. Meskipun dalil larangan makan-minum sambil berdiri diperdebatkan, namun mayoritas ulama tetap merekomendasikan makan-minum dengan duduk. Selain dirasakan lebih bisa menikmati cita rasa makanan/minuman itu, makan dengan duduk juga lebih bagus dari sisi kesehatan. (A/P2/RS3)

 

 

Mi’raj News Agency (MINA)