Dalam sebuah rapat dengar pendapat antara Komisi VIII DRI RI dengan Kementerian Agama, Wakil Menteri KH. Zainut Tauhid Saadi menekankan bahwa semua elemen bangsa sepakat bahwa radikalisme dengan menggunakan kekerasan dan pemaksaan kehendak harus dihapuskan dari bumi Indonesia karena hal itu tidak sesuai dengan kepribadian bangsa yang toleran, majemuk dan inklusif.
Pemberantasan radikalisme menjadi program pemerintah, terutama di periode kedua pemerintahan Joko Widodo 2019-2024.
Dalam rangka memberantas radikalisme itu, lembaga pendidikan, khususnya pesantren memiliki peran signifikan dalam membantu program tersebut. Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia tentu memiliki pengalaman khusus dalam menanamkan semangat nasionalisme kepada generasi muda. Terbukti, pesantren dan santri memiliki andi besar dalam proses Bangsa Indonesai meraih kemerdekaan.
Ada dua versi pendapat mengenai asal usul dan latar belakang berdirinya pesantren di Indonesia, yaitu:
Baca Juga: Khutbah Jumat: Kewajiban dan Hak dalam Pandangan Islam
Pertama. Pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tarekat. Pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Hal ini ditandai oleh terbentuknya kelompok organisasi tarekat yang melaksanakan amalan-amalan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin tarekat yang disebut Kiai itu mewajibkan pengikutnya untuk melaksanakan suluk, selama empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama, sesama anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk melaksanakan ibadah-ibadah di bawah bimbingan Kiai.
Untuk keperluan suluk ini para Kiai menyediakan ruangan khusus untuk penginapan dan tempat-tempat khusus yang terdapat di kiri kanan masjid.
Di samping mengajarkan amalan-amalan tarekat, para pengikut itu juga diajarkan agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan agama Islam. Aktifitas yang dilakukan oleh pengikut-pengikut tarekat ini kemudian dinamakan pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga Pesantren.
Kedua. Ada pula yang berpendapat, Pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan pengambilalihan dari sistem pesantren yang diadakan orang-orang Hindu di Nusantara. Kesimpulan ini berdasarkan fakta bahwa jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia, lembaga pesantren sudah ada di negeri ini. Pendirian pesantren pada masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan agama Hindu dan tempat membina kader. Anggapan lain mempercayai bahwa pesantren bukan berasal dari tradisi Islam alasannya adalah tidak ditemukannya lembaga pesantren di negara-negara Islam lainnya, sementara lembaga yang serupa dengan pesantren banyak ditemukan dalam masyarakat Hindu dan Budha, seperti di India, Myanmar dan Thailand.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Menggapai Syahid di Jalan Allah Ta’ala
Pesantren di Indonesia baru diketahui keberadaan dan perkembangannya setelah abad ke 16. Pesantren-pesantren besar yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fikih, teologi dan tasawuf. Pesantren ini kemudian menjadi pusat-pusat penyiaran Islam seperti; Syamsu Huda di Jembrana (Bali), Tebu Ireng di Jombang, Al Kariyah di Banten, Tengku Haji Hasan di Aceh, Tanjung Singgayang di Medan, Nahdatul Watan di Lombok, Asadiyah di Wajo (Sulawesi) dan Syekh Muhamad Arsyad Al-Banjar di Matapawa (Kalimantan Selatan) dan banyak lainnya.
Defenisi Radikal
Sebelum membahas lebih jauh tentang pemberantasan radikalisme, mari kita lihat definisi radikal itu sendiri agar tidak salah dalam mengambil kesimpulan, sikap dan tindakan.
Istilah radikal memiliki makna yang cukup beragam. Bisa dimaknai sebagai fundamental, esensial, mendasar, reformis dan terbuka. Dan juga bisa dipahami sebagai ekstrem, militan, parsial dan sikap yang keras dalam memperjuangkan sesuatu. Isme yang dilekatkan pada istilah radikal lebih mengacu pada suatu paham yang ekstrem dan berlebih-lebihan sampai melampaui batas.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Mempersiapkan Generasi Pembebas Masjid Al-Aqsa
Makna radikal memiliki makna dua arah, yakni positif sekaligus negatif. Makna positif dari radikal biasanya mengacu pada suatu pandangan keterbukaan dan sikap moderat dalam memahami segala sesuatu, sikap ini bisa terjadi dan dilakukan dalam konteks pemahaman terhadap apa saja, karena ia merupakan sebuah sudut pandang.
Makna positif dari radikal menjadi kecenderungan terhadap kemajuan, merumuskan sebuah jawaban dari problem-problem yang dihadapi sampai pada akar-akarnya. Kelompok radikal yang positif ini lebih mengedepankan sikap jalan tengah dan juga mencari titik temu antara dua hal yang anggap sering berlawanan. Sebagai contoh posisi antara agama dan politik, sekular dan konservatif, atau modern dan tradisional. Mereka percaya bahwa setiap dua hal yang berbeda tidak selalu harus dipertentangkan.
Sedangkan radikal dalam konteks negatif mengarah pada satu pemahaman tentang sikap dan pandangan yang keras dalam memperjuangkan pendapatnya. Pemahamannya mengarah pada gerakan politik yang menjadikan agama sebagai basis ideologis. Mereka tidak mau menerima nasihat, kritik dan bahkan memaksakan pendapatnya kepada orang lain. Untuk menerapkan keyakinannya itu, mereka menggunakan kekerasan, kriminal dan teror.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Jalan Mendaki Menuju Ridha Ilahi
Sebagian orang menganggap pesantren adalah tempat yang subur dalam menanamkan paham radikalisme karena pesantren adalah satu-satunya tempat yang paling identik dengan kajian keislaman secara ketat.
Pandangan ini menunjukkan pemahaman yang sangat sempit tentang nilai-nilai Islam yang berkembang di Nusantara.
Pesantren adalah tempat mencetak kader ulama berkualitas yang mampu memperjuangkan agama, bangsa dan masyarakatnya. Di pesantren, para santri digembleng dengan kajian keagamaan yang begitu luas, tidak hanya tentang fikih dan syariah, tapi juga nasionalisme, pengabdian dan akhlak mulia.
Maka, jika di pesantren ada kader ulama, calon pemimpin masyarakat, maka pesantren memiliki peranan yang penting dalam menanamkan nilai-nilai Islam yang damai dan sejuk. Islam sudah dikenal secara luas sangat bercirikan inklusif, yakni suatu sikap keagamaan yang terbuka dan moderat. Prinsipnya adalah satu selalu mengambil jalan tengah terhadap segala persoalan yang sedang dihadapi.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Akhir Kehancuran Negara Zionis
Menangkal radikalisme hendaknya menjadi perhatian tersendiri di pesantren. Ini merupakan tugas yang harus dilaksanakan oleh para santri, yaitu memberikan pelurusan terhadap pemahaman akan sejarah. Maka di pesantren, hendaknya diajarkan pemahaman yang menyeluruh tentang Islam yang kaffah, sekaligus menghadapi orang-orang dengan pemahaman keliru tentang ajaran agamanya.
Kita semua telah sepakat bahwa Indonesia adalah negara Negara Kesatuan Republik Indonesia berasaskan Pancasila. Maka pesantrenlah yang menjadi garda depan bagi penjagaan nilai-nilai keislaman yang mengedepankan nasionalisme, sudah sepatutnya memiliki peranan yang lebih penting dalam menangkal radikalisme agama. Jika ada sebagian pemahaman keagamaan ini keliru dan mengarah kepada radikalisme, maka pesantrenlah yang dapat meluruskan.
Peran pesantren sangat dinanti masyarakat dalam upaya pencegahan tindakan radikalisme sekaligus menjadi cermin Islam yang damai, santun rahmat bagi semesta alam.
Di samping itu, pesantren justru lebih dekat dengan masyarakat ketimbang pendidikan formal, karena pesantren lebih mengedepankan kultur atau budaya. Itu artinya bahwa pesantren justru lebih dapat berinteraksi secara langsung dengan masyarakat dalam hal mensosialisasikan Islam yang terbuka dan selalu waspada terhadap bahaya radikalisme ini.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Memberantas Miras Menurut Syariat Islam
Pesantren mengembangkan kajian keislamaan yang begitu kaya dan selalu menanamkan sikap yang inklusif dalam memahami Islam. Jika dalam pemahaman fiqih saja para ulama banyak berbeda pendapat, maka dengan sikap inklusif inilah Islam dapat menjadi contoh agama yang mampu menerima argumentasi tanpa mempertentangkan satu sama lain asalkan memiliki dasar yang kuat sesuai syariah.
Tiada ada yang lebih indah dalam kehidupan masyarakat yang majemuk ini, selain kita semua dapat mengakui dan menghargai perbedaan. Hak-hak mengeluarkan pendapat haruslah dilindungi, betapapun berbedanya orang lain atau kelompok lain dengan kita, tidak ada alasan apapun yang dapat menjustifikasi atau menyalahkannya.
Melalui peran pesantren, Islam dapat dihadirkan sebagai agama yang cinta damai, menghargai perbedaan, dan meletakkan perbedaan sebagai rahmat dari Tuhan yang Maha Esa. Dengan mengamalkan Islam yang kaffah, maka keharmonisan hidup bermasyarakat akan tercinpta dan Bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang adil makmur, baldatun thayibatun wa rabbun ghafur (negeri yang diberkahi dan mendapat ampunan serta ridha Allah subhanahu wa ta’ala).
Nasihat Untuk Penguasa
Baca Juga: Khutbah Jumat: Menyongsong Bulan Solidaritas Palestina
Dalam Undang-undang Terorisme, definisi terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Jika ditinjau dari definisi di atas, menurut pendapat penulis, yang paling layak disebut teroris adalah mereka yang melakukan aksi pembakaran rumah, toko dan gedung-gedung pemerintah, membunuh, dan mengusir pada pendatang seperti yang terjadi di Wamena, Jayapura dan beberapa daerah lain di Papua. Tindakan itu dikomandoi oleh gerakan Papua Merdeka (OPM).
Bahkan jelas-jelas mereka ingin mendirikan negara sendiri, mengganti mengganti ideologi Pancasila dan UUD 1945.
Akan tetapi, justru yang kita saksikan di masyarakat, mereka yang dianggap radikal adalah pihak oposisi, yang suka mengkritik pemerintah. Stigma radikal itu saat ini mengarah kepada masjid, ustadz, dan isi ceramah-ceramahnya. Padahal mereka hanya ingin menuntut pemerintah untuk menegakkan keadilan tanpa pandang derajat, dan pangkat dan aliansi seseorang.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Perintah Berhati-hati dalam Menyebarkan Informasi
Contoh nyata adalah Ustad Abdul Shomad yang dikategorikan sebagai ustadz radikal. Beberapa jadwal ceramahnya di Jawa ditolak, aparat tidak berbuat banyak. Di Bali, ia dipersekusi, sampai saat ini tidak ada kejelasan di pengadilan, bagaimana keputusannya. Bahkan di sebuah universitas ternama di Yogyakarta, ceramahnya dibatalkan oleh pihak kampus dengan alasan tidak sesuai dengan kepribadian mereka. Sungguh ironis.
Maka kami mengimbau kepada pemerintah, aparat penegak hukum untuk menegakkan hukum dengan seadil-adilnya. Ingatlah, kekuasaan di dunia hanya sebentar saja, diakhirat kita akan diminta pertanggungjawabannya. Nabi Muhammad Saw bersabda, tidak akan mencium baunya surga, seorang pemimpin yang menipu rakyatnya, tidak menegakkan keadilan, berbuat curang dan mendzalimi rakyatnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا رَاعٍ غَشَّ رَعِيَّتَهُ فَهُوَ فِي النَّارِ
“Siapapun pemimpin yang menipu rakyatnya, maka tempatnya di neraka.” (HR. Ahmad).
Wahai para pemimpin bangsa, tegakkan keadilan kepada semua orang, jangan tebang pilih dalam menegakkannya. Bangsa Indonesia akan aman dan damai jika keadilah ditegakkan kepada semua orang. Dekatlah kalian kepada para ulama agar senantiasa mendapat nasihat.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Memperkuat Pembelaan terhadap Masjid Al-Aqsa dan Palestina
Ustadz Haikal Hassan menyampaikan, mengutip perkataan ulama: Seburuk-buruk penguasa adalah yang jauh dari ulama dan seburuk-buruk ulama adalah yang mendekati pintu kekuasaan. (A/Gun/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Khutbah Jumat: Menjadi Umat Unggul dengan Al-Qur’an