POLITIK PRAGMATIS INDIA, ANTARA KEMERDEKAAN PALESTINA DAN BISNIS ISRAEL

india ke palestina anadolu
Kunjungan Presiden Pranab Mukhrejee ke , Senin (12/10). (Foto: Anadolu)

Kantor Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pertama di New Delhi, ibu kota India, dibuka pada tahun 1975. Hampir 20 tahun kemudian, pada tahun 1993,  untuk pertama kalinya berhasil membuka kedutaan besar di New Delhi.

Sejak merdeka dari Inggris pada tahun 1947, dukungan untuk Palestina telah menjadi landasan kebijakan luar negeri India. Namun menyusul kunjungan Presiden Pranab Mukhrejee ke Palestina pada Senin (12/10), menjelang perjalanan yang lebih lama ke Israel, sejumlah kalangan berpendapat arah kebijakan luar negeri New Delhi dapat berubah, terutama soal Palestina.

“Saya pikir kunjungan ini adalah (sesungguhnya) ke Israel. Ke Palestina hanyalah kunjungan sebatas penghargaan. Seperti telah terjadi untuk sementara waktu sekarang dengan India, masalah Palestina hanyalah sebatas pemanis bibir (lip service),” ungkap Seema Mustafa, seorang wartawan India yang telah mengikuti isu Palestina sejak 1980-an, kepada Anadolu Agency.

“Ini sebuah tragedi karena ketika India menjadi negara bebas dan memutuskan untuk mengikuti kebijakan luar negeri tertentu, itu didasarkan pada mendukung semua perjuangan dunia,”tegasnya.

Ia menambahkan bahwa sekarang India telah mengadopsi apa yang mereka sebut sebagai’kebijakan luar negeri pragmatis’. ‘Negeri Hindustan’ hanya mengejar atau menjalin hubungan dengan negara-negara yang bisa meningkatkan taraf ekonomi India.

Mustafa mengatakan arah kebijakan India telah diterjemahkan ke dalam suatu hubungan yang berkembang dengan Israel. Lawatan Mukherjee ke Israel akan menjadi pemimpin negara India pertama yang pernah mengunjungi ‘Negeri Yahudi’.

Sebagai catatan, nilai perdagangan antara kedua negara telah berkembang siginifikan, darihanya US$200 juta (Rp2,7 triliun) ketika mereka menjalin hubungan penuh pada 1992 menjadilebih dari US$5 miliar (Rp68 triliun) pada 2013.

Data itu dikeluarkan oleh kepala perdagangan luar negeri pada kementerian ekonomi Israel, Ohad Cohen, seperti yang dia tulis di Times of Israel awal tahun ini.

Mustafa menambahkan bahwa dunia India telah menginvestasikan jutaan dolar ke perusahaan Israel dan kedua negara telah patungan dana US$40 juta (Rp544 miliar) untuk kerja sama pengembangan teknologi.

Di samping itu, ia menggarisbawahi bahwa India juga menjadi pembeli terbesar peralatan militer Israel, menurut data Federasi Kamar Dagang dan Industri India (FICC), sekitar US$10 miliar peralatan Israel selama dekade terakhir.

India telah membeli sistem surveilans Israel yang digunakan di perbatasan dengan negara saingannya, Pakistan, dan dilaporkan membeli drone (pesawat nirawak) ‘Negeri Yahudi’. New Delhi juga berkerja sama mengembangkan sistem rudal dengan Israel.

Lebih jauh, Israel juga membantu India dengan operasi pengawasan dan menyokong artileri selama perang dengan Pakistan pada tahun 1999. India, di sisi lain, telah lama tidak aktifmendorong resolusi pro-Palestina di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Pemerintahan Palestina sempat marah tahun lalu ketika India memilih abstain dari pemungutansuara di PBB. Padahal pemungutan suara itu ditujukan untuk mengutuk operasi Israel di Gaza, yang menewaskan lebih dari 2.200 orang. Sikap tidak bersahabat itu sekaligus menandai untukpertama kalinya India tidak mendukung Palestina di PBB.

Namun Duta Besar Palestina untuk India, Adnan Abu Alhaija, mencoba ‘membesarkan hati bangsa Palestina’ dengan mengatakan bahwa dia yakin kunjungan Mukherjee berarti India masih mendukung perjuangan bangsa yang telah puluhan tahun dijajah oleh Israel itu.

“Hubungan India dengan Israel sejauh tidak berdampak buruk pada persahabatan lama India dengan Palestina. Kami tidak memiliki alasan untuk memiliki sedikitpun keraguan tentang tentangdukungan India untuk Palestina yang merdeka,” kilahnya.

Analis Palestina Mahdi Abdul Hadi mengatakan tidak jelas apakah India akan meninggalkan sikap historisnya, yang katanya didasarkan pada “posisi etis” dan perannya yangterkemuka dalam Gerakan Non-Blok selama Perang Dingin.

“Saat ini sudah ada kekuatan hubungan keamanan India-Israel. Itu yang khusus, komponen ini akan tercermin dalam sisa kunjungan presiden India. Pidato seperti apa yang akan ia sampaikankepada Knesset (parlemen) Israel?” kata Abdul Hadi.

Mengacu pada meingkatnya protes oleh pemuda Palestina terhadap Israel, Hadi menambahkan,”Waktunya sangat penting. Dia (Mukherjee) bisa membawa sebuah pesan etika, atau apakah ia datang mencari senjata dan kerjasama, dan mendukung sistem apartheid.?”

Saat mengunjungi Yordania pada Ahad (11/10) lalu, Presiden Mukherjee mencoba meredakan kekhawatiran Palestina dengan menegaskan bahwa ‘dukungan tradisional India untuk Palestina tetap teguh dan tak tergoyahkan’.

Dia juga mengutip Mahatma Gandhi, dengan menambahkan, “Palestina milik orang-orang Arab dalam arti yang sama bahwa Inggris milik bangsa Inggris.”

Pertanyaan besarnya adalah: apakah kata-kata Mukherjee itu akan diimplementasikan ke dalam sikap dan aksi yang nyata oleh para pemimpin India? Tentu hanya India yang bisa menjawabnya. Dan masyarakat internasional patut malu melihat realitas bahwa masih ada bangsa tertindas dan belum merdeka di abad moderen ini. (T/P022/P4)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0