Oleh : Deni Hendra, Alumni Universitas Negeri Padang (UNP), jurusan Ekonomi Pembangunan.
Aceh merupakan kota serambi mekah yang terkenal dengan penegakan syariat islamnya. Kota yang kaya akan minyak bumi dan gas alam ini sejak dahulu kala dan Belanda tidak pernah berhasil menaklukannya. Namun siapa yang menduga bahwa 10 tahun yang silam tepatnya tanggal 26 Desember 2004 Aceh tak mampu membentengi wilayahnya dari terjakan tsunami. Tsunami telah berhasil menghancurkan pertahanan Aceh dan menghancurkan wilayahnya.
Menurut Koordinator Bantuan Darurat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) jumlah korban tewas akibat badai tsunami di 13 negara mencapai 127.672 orang. Dan menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional kerugian akibat gempa dan gelombang tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam mencapai US$ 4,5 miliar. Lalu mengapa bancana ini terjadi di Aceh?
Terkadang kita harus melihat yang tersirat di balik yang tersurat. Tak semua hal bisa di terjemahkan oleh akal pikiran. Bukankah ALLAH SWT telah berfirman
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (QS Al Hadid : 22)
Maka kita tidak perlu mengutuk atau menyalahkan siapa bersalah dalam musibah ini. Tugas kita harus bersabar dan bangkit dari musibah ini. Akan ada Intan di bawah lautan yang dalam dan akan ada keindahan di atas puncaknya gunung. Mungkin ALLAH meminta kita untuk berenang sampai dasar laut atau berjalan sampai ke puncak gunung untuk memperoleh nikmat-Nya. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (Al-Insyirah: 5-6)
Mari kita telusuri hikmah bencana dalam rahasia waktunya sebagaimana digambarkan Allah swt dalam Qs al-A’raf: 97-98 yang artinya sebagai berikut:
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
“Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur?”
“Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain?”
Dalam dua ayat di atas, Allah memilih waktu malam untuk mendatangkan azab kepada manusia dimana mereka dalam keadaan tidur. Tidur merupakan puncak ketenangan manusia dan semua persoalan kehidupan terlupakan saat itu, tetapi pada saat yang sama Allah menimpa azab.
Rahasia di balik itu ini adalah tidak ada satu pun manusia yang dapat menyelamatkan dirinya sendiri apalagi untuk menyelamatkan orang lain.
Aceh sebuah ujian yang Allah berikan kepada kita, supaya sadar akan kebesaran Allah, Alhamdulillah aceh saat ini sudah mulai membaik, 10 tahun yang lalu adalah pelajaran untuk kita akan hidup yang sementara ini, masih ada kiamat yang lebih besar, kiamat akhir zaman.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Pada Qs Al-A’raf 98 Allah menerangkan bahwa waktu dhuha (matahari sepenggalan naik) juga merupakan moment diturunkan azab-Nya. Posisi waktu ini adalah waktu kesibukan dan aktivitas yang menghabiskan daya pikir untuk melaksanakan berbagai hal atau di hari libur merupakan melepaskan penat dan lelah dengan bermain, berolah raga, santai dan seterusnya.
Tidak banyak manusia menduga azab dan bencana datang saat – saat seperti itu. Kalau kita reflesikan kejadian tsunami di kawasan kita, memang musibah datang ketika manusia sedang asik dengan olah raga, santai dan seterusnya. Banyak di antara mereka yang tidak percaya kalau air laut naik ke darat dan datang dalam waktu sekejap.
Hikmah di atas mengharuskan kita memberikan sebuah catatan penting bahwa tidak ada satupun manusia yang merasa aman dari azab dan bencana dari Allah swt. “Tidak merasa aman” maknanya semua manusia baik secara individu maupun kolektif berpeluang besar untuk menghadapi azab dan bencana. Dengan perasaan demikian, manusia harus menjaga dan waspada terhadap amal perbuatan dalam kesehariannya.
Bencana Merenggut Harta, Cinta dan Nyawa
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Sisi lain yang perlu diperhatikan adalah bencana datang untuk menjemput harta, cinta dan nyawa. Harta yang dibanggakan dan kerap menjadi lambing kesombongan dan keangkuhan menjadi sasaran penting bencana dan azab itu.
Bencana menjemput cinta dengan kata lain bentuk kasih sayang akan sirna dan diputuskan bencana. Seorang ayah yang sangat sayang kepada anaknya ternyata harus berpisah selamanya. Sekuat apapun manusia, ternyata harus pasrah dan bertawakkal kepada Allah swt. Hilanglah sifat keangkuhan, kesombongan selama ini. Bukanlah harta dan tahta menjadi salah satu factor berbangga dan membuat kita berbeda. Ternyata di hadapan Yang Kuasa sama, antara si miskin dan si kaya, si hina dan yang mulia, si cantik dan hitam durja.
Tidak ada yang paling sengsara selain kehilangan orang yang disayangi. Anak-anak yang pergi untuk selamanya merupakan permata hati yang Allah anugerahkan kepada kita, ternyata diberikan sementara diambil kembali.
Hikmah dibalik peristiwa ini adalah mengembalikan manusia ke alam fitrahnya yakni ketawadhua’an, rendah hati, merasa bagian dari orang lain dan memberikan terbaik untuk kemaslahatan sesama. Musibah tidak ada yang sia-sia. Orang yang bersabar dengan kepergian anaknya maka Allah menganjarkan dengan balasan yang besar. Ketika anak dicabut nyawanya oleh sang Izrail, Allah bertanya: bagaimana engkau tinggalkan hamba-KU. Malaikat menjawab: Ya Allah mereka bersaabar dan mengucapkan Innnalillahi”Allah berfirman: bangunkan istana untuknya di surga.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Berikutnya, musibah datang menjemput nyawa. Semua orang ingin hidup. Keinginan manusia tidak selamanya sejalan dengan keinginan Allah swt. Manusia pasti kalah, Allah lah Yang Maha Menang.
Peristiwa ini semoga semakin mendekatkan diri kita kepada Allah swt. Bahagia atau sengsara hakikatnya tergantung tingkat kedekatan (taqarrub) makhluk dengan Khaliqnya. Gempa dan tsunami sepuluh tahun lalu adalah secuil di antara bencana yang dicoba, drama kehidupan ini memang belum berakhir, berbuatlah yang terbaik untuk kebahagian yang abadi.
Sepuluh tahun pasca tsunami, Aceh seolah-oleh tak pernah mengalami kerusakan. Pembangunan Infrastruktur di Aceh semakin membaik. Bahkan sekarang Aceh memiliki Bandar Udara baru yaitu Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda dengan bangunan utama seperti bangunan Masjid. Sekarang Aceh merupakan salah satu Daerah wisata dengan kekayaan sejarah yang ia miliki, ke khasan Daerah nya dan keindahan Kota nya.
Dan siapa yang menduga pasca terjadinya bencana mendorong terciptanya perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sehingga perang saudara sudah mulai redup, perekonomian rakyat sudah mulai membaik. Dan semoga Kota Serambi Mekah ini semakin baik dan mampu mempertahankan jati diri nya. (P007/R03)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang