Jakarta, MINA – Presiden OIC Youth Indonesia Astrid Nadya Rizqita menegaskan bukan hal yang tabu untuk membahas hal-hal yang merupakan isu keumatan yang jarang dibahas, termasuk isu mengenai Uyghur.
“Bukan hal yang tabu untuk membahas hal-hal yang merupakan isu keumatan, yang jarang dibahas. Justru kalau kita tahu bahwa ada saudara-saudara kita yang ditindas, bukan hanya diskriminasi, bukan hanya korban islamofobia tapi juga menjadi korban persekusi, kerja paksa, penahanan secara paksa, sterilisasi secara paksa dan hal-hal lain, itu justru kita harus mempertanyakan di manakah sense of humanity kita,” kata Astrid saat berbicara dalam dialog tentang ‘Tantangan Uyghur dan Situasinya saat ini” yang digelar oleh OIC Youth Indonesia dan Center for Uyghur Studies di Jakarta, Selasa (19/12).
“Hal yang perlu ditekankan juga adalah kita tidak perlu takut untuk membahas isu Uyghur. Justru tugas kita masing-masing untuk terus mengedukasi diri kita sendiri dengan berbagai frame. Apakah (yang terjadi terhadap Uyghur) sesuai dengan HAM atau prinsip-prinsip dasar dan hak kedaulatan,” ujarnya.
Untuk itu, Astrid mengatakan sebagai warga negara Indonesia, salah satu yang dapat dilakukan terkait isu Uyghur ini adalah dengan meningkatkan kesadaraan lewat mekanisme dialog.
Baca Juga: Iran dan Arab Saudi Tegaskan Komitmen Perkuat Hubungan di Bawah Mediasi Tiongkok
OIC Youth Indonesia dan Center for Uyghur Studies menggelar beberapa seminar dan kegiatan di sejumlah kota mulai dari Yogyakarta, Makassar, Bandung, Medan dan Jakarta untuk menyampaikan kondisi Uyghur melalui pendekatan sejarah, budaya, kemudian HAM dan pembahasan soal islamophobia.
Astrid mengatakan, seminar-seminar ini digelar karena masih jarang referensi lengkap yang holistik dan aktual terkait Uyghur.
Menurutnya, keadaan di Uyghur harus banyak disuarakan dan dibahas karena jika merujuk pada HAM, kebebasan beragama ataupun hak-hak dasar, banyak sekali pelanggaran yang dilakukan terhadap etnis Uyghur.
Dikutip dari BBC, ada sekitar 12 juta warga Uyghur, sebagian besar Muslim, yang tinggal di Xinjiang, yang secara resmi dikenal sebagai Daerah Otonomi Uyghur Xinjiang (XUAR).
Baca Juga: Kemlu Yordania: Pengeboman Sekolah UNRWA Pelanggaran terhadap Hukum Internasional
Suku Uyghur berbicara dalam bahasa mereka sendiri, mirip dengan bahasa Turki, dan menganggap diri mereka dekat secara budaya dan etnis dengan negara-negara Asia Tengah. Jumlah mereka kurang dari setengah populasi Xinjiang.
Beberapa dekade terakhir telah terjadi migrasi massal warga Tionghoa Han (etnik mayoritas Tiongkok) ke Xinjiang, yang diduga diatur oleh negara untuk melemahkan populasi minoritas di sana.
Tiongkok juga dituduh menargetkan tokoh agama Muslim dan melarang praktik keagamaan di wilayah tersebut, serta menghancurkan masjid dan makam.
Aktivis Uyghur mengatakan mereka khawatir budaya kelompok tersebut terancam dihapus.
Baca Juga: Parlemen Arab Minta Dunia Internasional Terus Beri Dukungan untuk Palestina
Kelompok hak asasi manusia percaya Tiongkok telah menahan secara paksa lebih dari satu juta warga Uyghur selama beberapa tahun terakhir dalam jaringan besar yang disebut negara sebagai “kamp pendidikan ulang”, dan menjatuhkan hukuman penjara kepada ratusan ribu orang. (L/R7/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Ribuan Warga Yordania Tolak Pembubaran UNRWA